Salah satu naskah True Story Challenge ke-3 Narasipost.com.
Naskah sesuai asli si penulis(tanpa editan dari admin NarasiPost.Com)
Oleh : Ummu Aufa
NarasiPost.Com-Malam itu terasa begitu menyakitkan. Tidak tega rasanya melihat belahan jiwa merintih kesakitan. Tubuhnya mengalami demam dan kesadarannya hilang. Saat, itu pernikahanku masih seumur jagung. Suamiku diuji dengan sakit. Nafasnya terlihat sesak dan dadanya katanya seperti ditusuk-tusuk. Malam itu juga, suamiku dilarikan ke rumah sakit paru-paru di kota Bandung. Aku merasa langit terasa runtuh. Jika hanya fisik yang sakit mungkin merawatnya tidak terlalu menjadi beban. Tak pernah terpikirkan terlintas dalam benakku bahwa aku akan menghadapi kondisi seperti ini.
Dalam ketidaksadarannya, suami berlari-larian di lorong rumah sakit. Ia berhalusinasi dan mengalami delusi atau wahan. Artinya kondisi dimana kejadian yang tidak terjadi, namun seperti terjadi dihadapannya. Suamiku, menganggap saat itu sedang terjadi peperangan. Ia melihat diriku disiksa dan guru-gurunya dibantai secara tidak manusiawi. Suara dentuman peluru dan bom-bom terasa nyata ditelinganya. Ia pun berujar “Khilafah akan tegak, Ya Allah tolonglah, kirim bala tentara-Mu”. Suamiku mengalami paranoid yang parah, terkadang ia ingin bertemu denganku. Namun, tidak lama ia membentak dan menyakiti fisikku. Aku hanya menangis melihat kondisi suamiku yang kian hari sudah tidak bisa dikendalikan.
Pasca operasi paru-paru yang suamiku jalani, kondisi psikisnya belum membaik. Halusinasi dan delusinya kian parah. Tidak ada, jalan lain yang terpikirkan olehku kecuali membawanya ke rumah sakit khusus menangani sakit psikis dan fisik sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, hanya dari pihak keluargaku saja yang menghadapi kondisi suamiku.
Kondisi suamiku, makin lama makin memburuk. Waktu itu, suami sudah tidak merasakan lagi rasanya bau, ataupun ‘maaf’ buang air besar ataupun buang air kecil. Parahnya, makin lama, suami selalu merasa kesal setiap kali melihatku.Ingin rasanya aku membantunya membersihkan diri, namun ayahku melarangnya. Karena setiap kali aku menghampiri, ia selalu menyakitiku. Sehingga biar ayah saja yang mengurusnya semuanya.
Pihak rumah sakit khusus paru-paru sudah angkat tangan menangani kondisi psikis suamiku. Suamiku dirujuk ke rumah sakit yang ada dokter psikiater berikut dokter spesialis paru-paru. Dalam keadaan tanpa busana suamiku digiring masuk ke ruangan gelap dan dingin. Aku hanya duduk terdiam menangis tersedu-sedu melihat kondisiku yang kian memburuk. Ingin rasanya aku menjerit-jerit agar hati ini bisa lega. Tidak ada yang menyangka bahwa suamiku yang seorang ustaz adalah mantan pasien rumah sakit jiwa.
Aku mengingat dengan jelas bagaimana pihak rumah sakit memperlakukan suamiku yang menurut aku tidak manusiawi. Keluarga dan sanak saudaraku tidak ada yang diizinkan untuk menjenguknya. Aku hanya bisa menangisi suamiku dan meminta pihak rumah sakit agar aku bisa mendampinginya. Namun pihak rumah sakit pun mempunyai peraturan sendiri demi kebaikan pasien dan keluarganya.
Tak terbayangkan aku harus menghadapi kenyataan bahwa suamiku mengidap penyakit yang sama dengan kedua pamannya yaitu skizofrenia akut. Aku selalu datang setiap hari mengunjunginya, namun pihak rumah sakit melarangnya. Sudah hampir satu minggu suami diisolasi sendiri, hanya makanan dan suntikan yang suamiku dapatkan.
Delapan hari telah dilewati, tiba saatnya aku diizinkan bertemu suamiku. Rindu yang membuncah dalam dada ini dan senyuman pertamaku saat itu adalah momentum senyuman tercantikku, menurut penuturan suamiku. Suamiku hanya memandangiku dengan tatapan mata kosong serta senyuman yang seperti dipaksakan. Tenggorokanku terasa ada yang mengganjal, tidak mampu berbicara apapun, lidah pun terasa kelu. Aku hanya menangis dalam hati, namun aku harus bisa menahan ekspresiku dan tetap ingin terlihat tersenyum yang meyakinkan bahwa aku juga baik-baik saja.
Kami hanya saling menatap peluh. Dalam batinku, terhenyak kapankah ini akan berakhir. Aku ingin segera kembali berkumpul bersama. Suamiku hanya bisa memelukku dengan erat, seperti tidak ingin melepaskan pelukannya.Pertemuan pertamaku hanya sebentar. Dan aku hanya mengingatkannya agar selalu berdoa dan bersabar.
Dokter mendiagnosis suamiku mengidap penyakit skizofrenia akut. Hal ini karena, suamiku mengalami gangguan halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Dan tidak hanya itu, suamiku juga merasa kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikirannya sendiri. Suamiku ditangani oleh dua dokter. Satu dokter mengobati paru-parunya yang terendam air. Dan satu lagi mengobati psikisnya. Menurut penuturan dokter, psikisnya sakit saat kondisi fisiknya sakit. Memang, sakit dada yang selama ini suamiku derita tidak diberitahukan kepadaku.
Dalam penjelasannya, dokter psikiater memberitahukan bahwa penyakit yang suamiku alami adalah penyakit psikis genetik. Karena dalam silsilah keluarganya, ada dua orang pamannya mengalami hal serupa. Hal ini disebabkan ketika seseorang dari keluarga penderita skizofrenia, yaitu sekitar 10% lebih berisiko mengalami kondisi yang sama. Risiko akan menjadi 40% lebih besar bila kedua orang tua sama-sama menderita skizofrenia. Pada orang yang memiliki saudara kembar dengan skizofrenia, risiko meningkat hingga 50%.
Tekanan dan himpitan berat yang dialami suamiku memberi pelajaran sendiri. Aku tidak menyangka aku mengalami hal ini. Namun, aku harus bersabar menerima kondisi suamiku saat itu. Prediksi dokter bahwa suamiku akan pulih dalam kurun waktu paling cepat 2 tahun. Namun, suamiku tepis, karena hanya Allah SWT yang mampu membolak-balik hati dan menyembuhkan siapa saja yang Allah kehendaki. Tekanan hidup yang selama ini menimpaku, bagai awan hitam yang menutupi langit, seakan-akan hujan besar akan segera datang. Rasanya seperti tidak ada hari esok lagi. Namun aku selalu meyakinkan diri bahwa akan ada hari indah yang akan datang.
Semua itu adalah masa laluku, yang tidak aku lupakan hingga akhir hidupku. Memang, langit tak selamanya mendung. Matahari akan bersinar menepiskan awan gelap yang menyelimuti kehidupanku. Semua akan indah pada waktunya. Dukungan keluarga, teman-teman yang selalu mengingatkan akan ketentuan takdir baik dan buruk yang datangnya dari Allah SWT.
Puji syukur tak lupa aku panjatkan karena disisiku banyak yang mendukungku. Ayah, ibu dan adikku mendukungku sepenuhnya. Dan ditengah ujian ini, banyak bisikkan agar diselesaikan sampai sini saja. Sedangkan pihak keluarga suami menyerahkan sepenuhnya tanggung jawabkan kepulihannya kepadaku sebagai istrinya.
Namun, beruntungnya diriku dan suamiku yang memiliki teman-teman yang shalih. Bukan hanya dukungan dana yang ditopang, tetapi kesadaran akan adanya Allah disetiap helaan nafas pun tak lelah mereka sampaikan. Aku mencoba membuka file-file tentang materi qadha dan qadar yang telah aku terima dari guruku. Menimbang dan merenungi setiap liku kehidupan dengan mengaitkannya kepada Islam. Hanya dalam kurun waktu satu tahun suamiku pulih seperti sediakala. Terimakasih Ya Allah atas segala karunia-Mu.
Wallahu a’lam bishshawab[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]