"Berkali-kali gagal itu tak masalah, tapi ambilah ia sebagai salah satu kesempatan untuk memperbaiki diri!"
Oleh: Irsad Syamsul Ainun
NarasiPost.Com-Beberapa bulan ini, kucoba menulis apa yang ditugaskan oleh tim. Tak terasa sudah memasuki bulan Maret 2021, itu artinya sudah hampir setahun aku bergabung.
Aku bagai seorang bayi yang sedang tumbuh dan berkembang. Tidak tanggung-tanggung kasih sayang yang diberikan oleh tim. Bimbingan dan suportnya begitu luar biasa.
Aku sadar, bahwa seorang penulis pemula harus banyak membaca, melihat fakta di lapangan, membaca karya orang lain, mengikuti event, dan yang terpenting harus siap dikoreksi. Aku tidak boleh baper. Ini adalah ujian sebagai seorang pelajar. Jika tidak dikoreksi, mana tahu letak kesalahannya?
Aku merasa senang saat mengetahui bahwa tulisanku tayang di media. Namun, saat membaca kembali tulisan tersebut, aku berpikir bahwa kekuatan bahasa dan analisisnya kurang. Kucoba bertanya pada rekan satu tim. Jawabannya sama, yaitu kurang analisis.
Suatu hari, kucoba menyampaikan ke tim agar mengoreksi tulisan itu dari segi kekurangannya. Namun, sampai detik ini belum ada jawaban. Segera kuluruskan pikiran. Mungkin ketua tim dan anggota lain sedang sibuk, jadi tidak sempat merespon permintaan tersebut.
Waktu begitu cepat berlalu. Aku berusaha untuk selalu menulis. Kubuat note di hp, dinding kamar, dan buku, "Writing everday". Setiap kali melihat note tersebut, selalu muncul pertanyaan, "Sudahkah aku menulis hari ini?"
Kupajang juga penyemangat yang lain. Salah satunya,
"Jika kamu bukan anak raja, bukan pula anak seorang ulama, maka menulislah!"
Pernyataan Imam Al-Ghazali ini betul-betul kutancapkan ke dalam sanubariku.
Namun, namanya manusia, ternyata beginilah, lebih banyak lalainya. Hal ini berawal ketika aku pulang kampung. Saat itu, kuputuskan untuk refreshing bersama para sahabat. Hal itu ternyata membuatku lalai dan kembali pada kesenangan hingga lupa dengan note dan tugas menulis.
Aku tak lagi mengirimkan tulisan ke tim. Terakhir, aku mengirimkan tulisan dan tak sesuai. Rasanya enggan sekali untuk memperbaiki.
Waktu terus berjalan, namun, egoku tak mau menghilang. Padahal, dunia sedang merintih dan menangis akibat kebiadaban manusia. Umat butuh pencerahan.
Akhirnya, seseorang menghubungi dan menanyakan kabarku melalui chat.
[Afwan, Dek, saya Ummu Zainab. Gimana kabar tulisannya? Kayaknya lama belum setor tulisan lagi?] Tanya Ummu dalam chat.
[Iya, Mbak, lagi vakum] balasku lewat chat pula.
[Apa Ada kendala, Dek?]
[Ada] jawabku singkat.
[Kendalanya gimana, Dek? Mungkin bisa dicari solusi sama-sama] tanya Ummu.
[Masalah pribadi dan terkendala juga di referensi untuk tulisan opini.]
Kucoba menjawab sesingkat mungkin.
[Maasyaallah..
Permasalahannya mungkin hampir sama dengan teman-teman yang lain, Dek. Saya pun juga begitu]
Terkadang, ketika ada masalah pribadi, entah itu urusan rumah tangga, anak, teman-teman seperjuangan yang bermasalah, dan lain-lain, kadang membuat kita nggak bisa fokus untuk nulis, seakan mau berhenti saja
Tapi, kembali lagi, ini amanah kita yang akan dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah]
[Kalo masalah direferensi, mungkin bisa cari di Muslimah.news. Banyak tsaqofah-tsaqofah di sana. Banyak tulisan-tulisan opini yag bisa dimodifikasi] kata Ummu masih dalam chat.
[Saya teringat nasihat Mba Kholda Najiyah, bahwa yang membuat kita tidak menulis salah satunya karena kita yang berangan-angan terlalu tinggi, ingin tulisannya serperti tulisan para penulis hebat. Padahal, tulisan mereka tidak langsung bagus-bagus seperti itu, ada proses panjang yang mereka lalui.] lanjut beliau.
[Intinya, jam duduk akan mempengaruhi kualitas tulisan, maka sering-seringlah menulis. hehhe.]
[Ini nasihat untuk saya juga. Saya pun juga masih banyak hutang menulis. Yuk bangkit lagi! Keluar dari zona nyaman …. Semangat, ya, nulisnya ….] sambungnya.
[Afwan, ya, Dek. Bukannya menggurui atau saya lebih hebat menulisnya karena permasalahan kita pun hampir sama. Jadi, kita saling menyemangati.]
[Semoga dengan jejak-jejak aksara yang kita tulis akan menjadi penimbang berat amalan kita kelak. Aamiin.]
Itu tadi adalah chat dari Ummu. Panjang nian nasehat beliau. Aku terlarut membacanya. Mungkin salah satu faktornya bisa jadi karena aku seperti yang Ummu katakan, menginginkan tulisan terbaik, tapi tidak ingin melewati proses. Aku memang egois.
Aku pun mulai menulis lagi, mengirim ke media lokal. Meski tak dimuat, itu tak masalah. Hal ini terus berlanjut, sampai kutemukan media yang tidak hanya memuat tulisan opini, tapi juga yang lainnya, seperti masalah kesehatan, story telling, puisi, dll.
Suatu hari kucoba mengirimkan tulisan. Alhasil, tulisanku dimuat. Wah-wah, ini kabar baik buatku! Senangnya sungguh tak terbayang. Tidak muluk-muluk, bagiku, menulis memang menyenangkan. Terlebih, aku bisa berkenalan dengan orang luar meski tak pernah bertemu secara offline.
Aku menulis lagi dan lagi. Ada pajangan di kamar yang selalu mengingatkanku, "Berkali-kali gagal itu tak masalah, tapi ambilah ia sebagai salah satu kesempatan untuk memperbaiki diri!"
Akhirnya, dua tulisanku dimuat lagi oleh media itu.
Kucoba menulis lagi. Sayangnya balasannya seperti ini, "Tulisannya bagus, tapi ada perawi hadis yang tak disebutkan."
Aku pun berusaha mencari di mana perawi hadisnya. Aku pun pasrah. Jikapun tulisan kali ini tak dimuat, ya sudah, tak masalah, yang penting aku harus semangat menulis.
"Jaga dulu ritme hatimu!" batinku.
Lagi-lagi kucoba mengirim, bukan hanya sekali, namun, berkali-kali. Di sinilah titik dimana aku merenungi diri, apa kelemahan tulisanku?
Kucoba membuka chat salah satu admin media. Kurasa, orang ini sangat berbeda dengan yang sering kutemukan di media kepenulisan lain.
Kulihat bagaimana perhatiannya di grup, bahkan meski beliau sakit, ia masih saja memikirkan anggota dalam grupnya. Mungkin ini wajar, tapi bagiku, inilah pelajaran berharga yang harus klakukan. Bukan soal terbit-terbit saja yang harus membuat hati senang, kritik dan saran pun harus diterima dengan lapang.
Akhir pekan Februari 2021, aku mengirimkan satu tulisan yang judulnya, "Nikah Dini vs Mudah Hamil"
Kutulis mungkin setengah hati, atau bisa juga asal nulis saja dulu, nanti baru kukoreksi. Tulisan itu lalu kukirimkan ke admin. Ternyata ada balasan.
[Assalamualaikum wr. wb. Apa kabarnya, Mbak? Mau nggak, ya, ikut kelas menulis dengan sahabat saya, Mbak Fang? Insyaallah saya yang bayarin biaya kelas menulisnya.]
[Naskahmu sebenernya sangat bagus dalam tema, cuma cara penulisannya yang perlu dipoles agar lebih bagus, biar fakta dan alur serasi dan tidak loncat-loncat.]
[Saya sudah menghubungi sahabat saya tersebut untuk mengajarimu menulis lebih profesional.]
[Gimana, Mbak?]
[Tahukah, Mbak Nurjamilah? Beliau juga dulu seperti dirimu, empat kali naskahnya ditolak media, cuma satu yang layak bpublish. Akhirnya saya sarankan untuk ikut kelas menulis dengan Teh Qory. Alhamdulillah, beliau melesat progresnya. Beliau juga belajar dengan Mbak Fang]
Air mataku menetes tak tertahankan membaca pesan itu, Allahu Akbar!
Ibu yang satu ini benar-benar luar biasa, sampai biaya belajar pun ditanggung untuk menjadi penulis profesional.
Kuingat potongan surat Al Asr.
Allah Swt., berfirman:
وَالْعَصْرِۙ
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ
"Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran." (QS Al Asr: 1-3)
Masyaallah, ibu ini kok baik banget, ya? Tak habis pikir aku.
Waktu pun bergulir. Dan pagi ini, tepatnya 1 Maret 2021, kucoba membuka grup yang dikelola oleh beliau. Air mataku tak henti-hentinya menetes ketika membaca kalimat demi kalimat yang beliau utarakan.
Alangkah besarnya hati dan kesabaran beliau yang lebih banyak berjuang di belakang layar. Masyaallah, Buu! Mungkinkah aku bisa sepertimu?
Kesibukanmu luar biasa, tapi, kaubisa membagi waktu dengan baik. Bukan hanya itu, kebaikanmu bahkan disalahgunakan oleh orang lain. Yaa Allah, semoga keberkahan usia, rezeki, dan lainnya bersamamu, Bu ….
Aku kembali meraba-raba, apa yang telah kukerjakan selama ini, bahkan jauh dari kata baik. Jika dipredikatkan dengan A-D, bisa jadi aku berada di level D, saking sibuknya dalam kelalaian, tidak tepat waktu, dan segudang aktivitas yang terlewat begitu saja tanpa ibrah.
Aku masih tersedu. Mulai hari ini, aku akan berusaha menjadi lebih baik lagi, menjadi insan yang profesional.
Wanita hebat itu adalah Ibu Andrea. Syukron wa jazakillah khairan kuucapkan atas cinta yang telah Ibu ajarkan kepadaku.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]