Seperti halnya tanaman pare, nikmatilah pahitnya setelah menanam bibitnya. Kamu tahu, kebencian selalu membawamu ke lorong gelap, Kawan. Karena sebenarnya, itu semua memiliki ending yang menyakitkan.
Oleh : Nadhila Dhea Ulwan
NarasiPost.Com-14 Februari 2021
Ehhm, aku mempunyai sebuah kisah untukmu, kisah nyata. Yah, mungkin seperti acara televisi yang sering kamu tonton. Bedanya, ini betul-betul terjadi dua tahun lalu, tidak dengan rekaman berpuluh-puluh kamera, sutradara galak, atau pun kru-kru penuh keringat.
Kisah ini tentang sebuah penyesalan dari seseorang yang memiliki kebencian di hatinya. Kenapa tidak sejak dulu ia menurut? Tentu saja, karena dia terlanjur terbutakan oleh kebencian. Ia benci terkukung. Ia benci dengan peraturan. Tapi, kautahu, kebencian yang ia miliki merupakan kebencian yang salah. Dari kebencian yang tidak benar itu, ia kehilangan sesuatu, menjadi kenangan buruk, dihantui oleh penyesalan yang panjang, pahit.
Seperti halnya tanaman pare, nikmatilah pahitnya setelah menanam bibitnya. Kamu tahu, kebencian selalu membawamu ke lorong gelap, Kawan. Karena sebenarnya, itu semua memiliki ending yang menyakitkan.
"Aku menekan tombol kotak di tengah layar bagian bawah. Selesai. Detik berikutnya, video dengan kekuatan 15 megabyte itu tersimpan di memori handphone yang hampir penuh."
Two years ago, 23.30.
Aku menutup pintu gerbang rumah pelan, tanpa berniat sedikit pun menimbulkan bunyi. Sebentar, aku mengedarkan pandangan siaga ke seluruh halaman. Kurasa aku lebih mirip maling … atau sudah?
Hei, namaku Bryan. Kegiatanku sehari-hari, tentu saja menjadi seorang mahasiswa bandel ala-ala badboy. Tentu saja ideku itu langsung ditolak mentah-mentah oleh mama-papa. Begini-begini, aku dilahirkan di keluarga muslim yang taat. Pastinya dengan segala peraturan yang super ketat, menurut pemikiran dangkalku. Mulai dari harus sholat lima waktu dan mengaji, dilarang pacaran _terlalu eksklusif menurutku.
Kegiatan rutinku, selalu pulang malam tanpa sebab yang jelas. Tentu saja, itu rahasia terbesarku. Bisa-bisa, kalau papa tahu alasannya, aku dinasihati habis-habisan atau bahkan disita uang saku seabad. Horor juga, kan?
Tunggu! Aku tidak melihat papa sidak malam ini. Mungkin tadi langsung tidur, capek baru pulang tugas dari luar kota.
Yes! Ini kabar baik. Biasanya, aku teledor sekali sampai papa memergokiku baru pulang larut malam. Kautahu, adegan setelahnya? Yap, aku dinasihati panjang kali lebar. Lama-lama, kebal juga. Mending aku tidak berurusan dengan papa malam-malam begini, bisa kacau rasa kantukku.
"Glontang!"
Ouch, gawat! Aku tidak sengaja menyenggol kaleng kerupuk di dapur. Detik berikutnya, tanpa aba-aba, terdengar sempritan atau semacamnya. Lampu philip 12 watt di atasku menyala, menampakkan tubuhku dengan pose Superman keseleo. Aduh, kalau Bianca lihat, pasti ia akan meledekku sepanjang masa.
“Brian! Kamu pulang malam lagi? Papa udah bilang berapa kali, heh?”
Emosi papa meninggi . Aku hanya mendengarkan sampai papa selesai bicara, tidak berniat memotong ritual eksekusi ini. Setelah papa masuk kamar, tanpa banyak cincong, aku langsung naik ke lantai dua. Yeah, pastinya setelah papa mengancam menyita uang saku sebulan. Tidak masalah. Toh, aku bisa cari uang sendiri.
“ Ca, lo di dalem?”
Tanpa menunggu jawabannya, aku membuka pintu kamar bercat coklat itu. Tampak seorang cewek menggunakan headset yang langsung melongo melihatku masuk. Dia adikku, Bianca, kelas dua belas.
"Ngapain, lo?” tanyaku basa-basi. Cewek itu mendengus, menyodorkan laptopnya kepadaku.
“Liat, nih! Masak ujung-ujungnya si Bambang mutusin Painem gegara liat Paijo nolongin Painem di supermarket. Si Bambang baperan banget, si! Nggak jelas banget jadinya!”
Gini ni, punya adek super bawel, hobi menonton drakor pula.
“Yaa, lo juga nggak jelas, Ca!” jawabku. Yang diajak ngomong melotot, lalu nyengir.
“Eh, Kak, ketegur papa lagi, ya?” Aku melengos.
“ Lagian sih, kakak bandel banget jadi orang. Insaf, kek! Udah tua, lho!” lanjutnya.
"Enak aja! Nguping, kan?” todongku bete, menyisakan cengirannya yang menyebalkan.
“Tuh, kan, udah gue duga. Eh, nih, gue bawain bakso bakar kesukaan lo,” ucapku menyodorkan bungkusan yang kubawa. Wajahnya nampak sumringah. Dasar ada maunya.
“ Besok, gue ada party buat valentine-nan,” jelasku singkat.
"Hah? Lagi?" wajah polos menyebalkannya muncul.
“ Ya Ampyunnn, kagak ada kapoknya, ni orang. You nggak boleh ikut, Kakak tercintaa …. Valentine day itu nggak boleeh! Nanti, kalo ada masalah gimana?” protesnya. Aku menyeringai.
“Lama-lama, mirip emak-emak, lu!” pungkasku melambaikan tangan.
Sekarang Bianca yang bete dibilang mirip emak-emak. Ia menjulurkan lidahnya sambil memakai headset kembali. Aku tak mempedulikan nasihatnya, meski aku ingat, mama juga sering memberi nasihat.
“Bryan, meski seluruh dunia setuju hari Valentine, Nak, tetep aja itu nggak boleh. Meski semua warga dunia merayakannya, tetep aja dalil Allah nggak akan berubah. Itu tetep aja haram, Bryan. Man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian darinya.”
“ Gue cabut, Gengs!”
Aku melambaikan tangan pada teman-teman dan langsung disambut wajah sebal mereka. Aku menyeringai. Baru saja kuputuskan pulang dua jam lebih awal dari ‘acara inti’. Tentu saja teman-teman kecewa. Tapi, daripada ketahuan pulang malam lagi, lebih baik aku cepat-cepat cabut. Aku berpamitan pada lampu-lampu tumbler yang terpajang hampir di setiap sudutnya, selalu menjadi tempat rahasia yang nyaman untukku.
Untuk kesekian kalinya, aku bersiap melakukan acting terbaik. Apalagi kalau bukan menyelinap bak maling profesional? Tapi sial, belum sempat meluncurkan bakatku mengendap-endap, aku mendapati papa, mama, dan Bianca sudah berdiri di depan gerbang. Yeah, acting sisanya, aku bisa kok, mematung.
“Habis dari mana, Bray?" sambut papa datar, berusaha mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah.
"Nggak usah jawab. Papa udah tau, kok, kamu dari mana," berondong papa. Aku masih diam menahan nafas kesal.
“Kalo tadi Aca nggak merengek minta beli sepatu buat acara sekolahnya, Papa nggak akan melihat sendiri kamu rangkulan sama perempuan nggak bener.
Papa kecewa sama kamu. Berkali-kali kamu melanggar aturan, padahal, itu adalah aturan Allah, bukan sekadar aturan yang Papa-Mama buat sendiri. Papa selalu percaya, kamu pulang malem karena main ke rumah teman, belajar kelompok, atau cuma sekadar main game sampe lupa waktu. Tapi, ternyata kamu pergi ke tempat yang paling Papa dan Allah benci, tempat ngerayain Valentine. Iya, kan? Papa-Mama itu sayang sama kamu. Begini cara membalas kepercayaan Papa?” Aku menatap papa.
“Papa tau, Bryan benci semua ini. Bryan capek hidup dalam aturan Papa yang banyak larangannya itu.”
“ Itu buat kebaikan kamu, Bryan!”
“Kebaikan?” tanyaku lalu melengos.
Tanpa berlama-lama, aku meninggalkan papa, mama, dan Bianca. Nah, di sinilah acting baruku muncul, kabur. Bukankah ketika kaumuak dengan sesuatu, kabur adalah jalan terbaik? Aku hanya fokus pada egoku, sampai tidak sadar kalau Bianca berusaha mengejarku.
“Kak ….” panggilnya. Aku menoleh.
“Apa? Kalo lo mau mohon-mohon ke gue buat balik ke rumah, sorry, gue gak mau!"
“ Tapi, yang dibilang Papa bener, Kak. Itu semua buat kebaikan Kakak.” Aku menepis tangannya.
“Minggir!” Aku menepis tangannya, tapi Bianca tidak menggubris. Ia masih aja membuntutiku. Aku memikirkan cara lain. Dengan cepat, aku berbelok di tikungan paling ekstrem di perumahan, berniat menghindari kejarannya.
Saat itulah, sebuah Avanza maroon terbaru dengan plat B melaju dengan kecepatan cukup tinggi dari arah timur. Sejurus, aku yang sadar Bianca akan muncul dari arah berlawanan, langsung berteriak.
Saat itulah, "Braaak!"
Semuanya terlambat. Semuanya berakhir, menyisakan aku, yang hanya bisa mematung tak berdaya di ujung jalan. Inilah penyesalanku.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]