Demokrasi pula yang diyakini mampu mewujudkan keadilan di tengah masyarakat dan bernegara kini tampak kian ringkih, sakit, dan hampir sekarat.
Oleh. Yuliyati Sambas
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pada Rabu, (21-8-2024) telah menggema peringatan Darurat Garuda Biru di tengah masyarakat. Diawali dari viralnya gambar Garuda Pancasila dengan latar biru dan dengungan sirene pertanda bahaya. Berbagai media sosial seperti X, Instagram, dan Facebook ramai dengan unggahan yang sama. Di mesin pencarian Google pun tak jauh beda. Di hari itu tren pencarian dengan kata kunci “peringatan darurat Indonesia”, “peringatan darurat Pancasila”, “darurat Pancasila” meningkat tajam. (Kompas.com, 21-8-2024)
Hal tersebut sebagai bentuk respons warganet dengan langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seolah hendak menganulir keputusan yang dibuat MK sehari sebelumnya. MK sebagai lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia telah mengabulkan gugatan (judisial review) yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terkait syarat pencalonan di momen Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) 2024. Bersamaan dengan itu, muncul pula tagar lain berupa “kawal putusan MK”. Sehari berikutnya rakyat pun turun ke jalan. Warga biasa, mahasiswa, hingga pesohor tanpa dikomando, konsolidasi hanya melalui kekuatan jempol dan tagar netizen di medsos dalam waktu satu malam saja.
Patgulipat Para Elite
Masyarakat yang semula banyak yang apolitis mulai bergandeng bersama suarakan bahwa telah terjadi kondisi darurat dalam negara yang berdemokrasi. Kejadian demi kejadian yang dipertontonkan para elite menghadapi gelar Pilkada 2024 serentak yang tak lama lagi akan dihelat membuat rakyat muak. Riuh suara rakyat yang menyatakan bahwa para politisi dan penguasa saat ini terkesan menyangka mereka bodoh dan selalu manut dengan keputusan-keputusan zalim mereka.
Peringatan darurat negeri itu dimaksudkan untuk mengajak semua elemen rakyat untuk berdiri bersama mengawal apa yang menjadi hak mereka, keadilan. Baru sehari rakyat Indonesia merasa negara menjalankan amanahnya secara demokratis dengan penuh keadilan, ketika MK membuat beberapa keputusan berkenaan dengan peta kekuatan politik dalam ranah pilkada. Pertama, MK mengesahkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengatur ulang terkait ambang batas (threshold) untuk mencalonkan kepala daerah yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Kesimpulannya bahwa calon kepala daerah dapat diusung oleh partai politik yang tidak memiliki kursi sekalipun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Syarat threshold 20% kursi di DPR pun dianulir oleh MK melalui keputusan ini.
Kedua, berupa keputusan tentang syarat usia calon yang akan didaftarkan menjadi kepala daerah. MK mengetok palu bahwa batas terendah usia dihitung saat pasangan calon (paslon) ditetapkan oleh KPU, bukan di saat pelantikan. Hal ini berseberangan dengan apa yang disahkan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya. Putusan-putusan MK tersebut dipandang rakyat sebagai angin segar bahwa demokrasi masihlah bisa diharapkan di Indonesia. Namun, gembiranya rakyat tak berlangsung lama. Sehari pascaputusan, DPR justru melakukan rapat untuk merevisi UU Pilkada membebek apa yang diputuskan MA. Ya, hanya sehari!
Maka di sanalah kenapa rakyat bereaksi keras. Mereka muak dengan patgulipat yang dilakukan oleh para elite. Demokrasi yang mereka impikan mampu memberi keadilan dalam ranah pemilihan calon penguasa, dengan mudahnya diubah-ubah sekehendak hati sang pemilik kuasa, bahkan bisa dilakukan hanya satu hari saja.
Meski pada akhirnya putusan DPR batal disahkan, dengan alasan rapat paripurna yang sejatinya akan dilaksanakan Kamis, (22-8-2024) tak memenuhi kuorum (kuota forum). Juga dikarenakan penolakan yang luar biasa kuat dari rakyat yang sudah telanjur marah dengan penguasa. Mereka mampu merasakan bahwa permainan elite politik ini erat kaitannya dengan politik dinasti yang sangat kuat dipraktikkan oleh sang Raja Jawa. Aroma politik saling sandera, bagi-bagi kue kekuasaan, intimidasi dari pemilik kekuasaan tertinggi, dan kebusukan lainnya menguar demikian pekatnya dan mampu diendus nyata oleh masyarakat luas. Tak ketinggalan inkonsistensi elite terkait dukungan dan merapatkan diri ke kubu mana dan betapa cairnya logika hukum di percaturan politik dalam negeri mengikuti nalar mereka yang duduk di bangku kekuasaan.
Krisis Konstitusi Demokrasi Mencungkil Kesadaran Rakyat
Karut-marut yang terjadi dipandang para tokoh, mulai dari ahli ketatanegaraan Bivitri Susanti, pengamat politik Yunarto Wijaya, jurnalis Najwa Shihab, hingga Komika Panji Pragiwaksono sebagai krisis konstitusi. Apa yang terjadi sudah bukan lagi ada di ranah persoalan urusan pilkada saja. Saling adu kekuatan antarlembaga pemerintah dalam trias politika terjadi, mencungkil kesadaran rakyat. Demokrasi yang dielu-elukan sebagai sistem terbaik dan final di negeri ini kini tampak bopengnya di sana-sini. Demokrasi pula yang diyakini mampu mewujudkan keadilan di tengah masyarakat dan bernegara kini tampak kian ringkih, sakit, dan hampir sekarat.
Sejarah negeri ini hingga pada akhirnya mengambil demokrasi sebagai sistem bernegara karena dirasa sangat mengakomodasi aspirasi seluruh rakyat. Dengan prinsip trias politikanya, keadilan pun diyakini akan terwujud karena kekuasaan tidak akan berjalan secara absolut.
Trias politika sendiri pertama kali digagas oleh Montesquieu dari Prancis. Gagasan politik bernegara ini muncul akhir abad 19 dan menandai betapa kemerdekaan individu, kesamaan hak, hingga hak pilih warga negara terangkum sebagai wujud dari keadilan di tengah rakyat.
Pembagian kekuasaan berlaku pada tiga ranah: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif adalah lembaga negara yang menjalankan fungsi legislasi, kontrol, dan budgeting. DPR dan DPRD dalam hal ini berperan sebagai legislatif. Lembaga eksekutif posisinya adalah sebagai penguasa dan pelaksana tugas pemerintahan. Ia diampu oleh presiden beserta para menteri dan staf-stafnya. Adapun lembaga yudikatif semisal MA dan MK diberi wewenang menegakkan aturan yang berlaku di sebuah negara.
Idealnya bahwa ketiga serangkai di ranah pemerintah tersebut melaksanakan perannya masing-masing, terlarang untuk tercampur aduk, dan tidak boleh dikontrol oleh salah satu pihak. Namun, begitulah dengan asas sekuler yang berjalan membersamai sistem pemerintahan yang diimpor dari Barat ini, demokrasi memiliki cacat bawaan dari sejak kelahirannya. Demokrasi sebagai sistem politik yang membawa prinsip trias politika, bahkan sejak masa Plato (filsuf Athena-Yunani Kuno) sudah mendapat kritikan tajam. Murid Socrates ini menyitir bahwa demokrasi berpotensi kuat menimbulkan sentimentalitas (semisal politik identitas) dan ketidakadilan.
Lebih lanjut, Plato pun menyebut betapa demokrasi dengan prinsip liberalismenya akan menghasilkan oligarki ephitumia. Ia dimaknai sebagai terpilihnya segelintir orang yang ditentukan oleh kekayaan. Hal tersebut ditujukan untuk bisa memegang kekuasaan dan meraih tujuan bersama dalam mengamankan kepentingan golongan. Maka Plato berkesimpulan demokrasi secara konseptual dan paradigmatis mengalami cacat bawaan yang menempatkan segelintir pihak pemuas nafsu dunia akan memegang kendali rakyat kecil. Maka tidaklah mengherankan, di banyak negara penganut demokrasi senantiasa dihinggapi penyakit berupa kemiskinan struktural, kejahatan yang terorganisasi, dan/atau kecurangan serta tipu daya yang membudaya. Bukti nyatanya ada di Indonesia. Serangkaian kejadian yang memicu terjadinya darurat garuda biru pun adalah satu dampak mengerikan yang diakibatkan oleh cacatnya demokrasi itu sendiri.
Ditambah dengan ideologi kapitalisme yang dianut menjadikan demokrasi yang penuh karut-marut berjumpa dengan pandangan yang senantiasa mengedepankan peraihan materi dan manfaat duniawi. Semakin klop kerusakan yang ditimbulkan.
Demokrasi Berbeda secara Diametral dengan Islam
Sayangnya rakyat Indonesia yang notabene adalah umat Islam kebanyakan memahami betapa demokrasi itu serasi atau bahkan berasal dari Islam. Dengan alasan ada kesamaan antara Islam dan demokrasi dalam urusan pengambilan keputusan dengan mekanisme musyawarah (syura) dan pemilu. Padahal sesungguhnya demokrasi senantiasa menjadikan pilihan mayoritas ketika merumuskan setiap persoalan, sementara Islam memandang bahwa tak semua problem hidup diputuskan dengan musyawarah jika berkenaan dengan urusan halal haram dan hukum syarak. Adapun pemilu yang ada dalam negara demokrasi adalah sistem baku dalam kontestasi penguasa, sementara Islam menempatkan pemilu sekadar salah satu uslub/kaifiyah pada ranah pilihan.
Terlebih jika ditelisik lebih mendalam, demokrasi dari asasnya pun telah memiliki perbedaan yang diametral dengan Islam. Demokrasi membawa asas sekularisme. Agama dipersilakan ada tapi tak diberi kesempatan untuk dilibatkan dalam tata berpolitik, bernegara, dan berkehidupan. Islam justru menempatkan bahwa pengaturan seluruh tata kehidupan diserahkan pada aturan Al-Khalik Al-Mudabbir. Ini yang pertama.
Kedua, ada prinsip kedaulatan di tangan rakyat dalam demokrasi. Betapa bertentangannya prinsip ini dengan Islam. Islam menempatkan bahwa assiyaadah (kedaulatan) di tangan Al-Hakam yakni Allah Swt.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 114, “Maka, apakah (pantas) aku mencari selain Allah sebagai hakim, padahal Dia-lah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (dengan penjelasan) secara terperinci? Orang-orang yang telah Kami anugerahi kitab suci mengetahui (bahwa) sesungguhnya (Al-Qur’an) itu diturunkan dari Tuhanmu dengan benar. Maka, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
Allah sebagai Al-Hakam atau Hakim bermakna Allah Maha Menetapkan Hukum di dunia dan akhirat. Allah Zat yang telah menetapkan hak dan batil, benar dan salah, baik dan buruk. Maka implementasi dari ini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya pihak yang berhak menetapkan hukum, bukan lainnya. Betapa tak pantas manusia yang hanya makhluk, berani mengambil posisi sebagai penetap keputusan dan hukum di antara sesamanya. Sebagaimana yang menjadi rujukan dari sistem pemerintah demokrasi bahwa kedaulatan di tangan manusia.
Baca: putusan-ma-kepentingan-siapa
Islam sejatinya adalah ideologi kehidupan yang berasal dari Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui kondisi terbaik bagi pengaturan kehidupan makhluk-Nya. Ketika pengaturan kehidupan manusia diserahkan kepada kehebatan akal manusia yang bersifat terbatas, maka tunggulah kehancurannya (QS. Thaha ayat 123-124).
Maka dari itu, jika negeri ini beserta umat yang ada di dalamnya menghendaki perubahan hakiki, ikutilah teladan manusia mulia pilihan Sang Pencipta. Demokrasi dengan ideologi kufurnya kapitalisme sekuler butuh segera ditinggalkan, dan menggantinya dengan menegakkan sistem hidup Islam di bawah naungan institusi pelaksana syariat yakni Daulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Wallahualam bissawab. []
Kecacatan demokrasi sudah sejak lahir, hanya karena para pengusungnya saja yang terus memoles demokrasi sedemikian rupa hingga selalu tampak elok dan menarik.
Yang paham kebusukannya sudah muak dengan sandiwara demokrasi, yang lain hilang rasa karena bosan akhirnya memilih apolitis. Sementara sebagian lainnya terus menikmati dan mendompleng kekuasaan hingga hilang akal dan rasa malu.
Sudah saatnya demokrasi dicampakkan dan diganti dengan sistem Islam.
Yang paham, yang bosan, dan tetep menikmati ya Mbak... Setuju dengan pendapatnya Mbak
Sudah saatnya ganti sistem. Buanglah Demokrasi pada tempatnya, waktunya kembali kepada jalan yang Allah rida.
Allahuakbar
Islam solusi perubahan hakiki