Ide-ide sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan nampaknya telah bercokol di hatinya.
Oleh: Solehah Suwandi
NarasiPost.Com-Rum tak menyangka, petaka benar-benar menimpanya. Tubuh gadis itu hampir limbung saat dua garis merah terpampang jelas di benda pipih itu. Ia mengerutkan kening. Kaki yang sudah lunglai itu dibiarkan selonjor tak berdaya. Ia menarik napas berat. Dadanya seolah dihimpit langit dan bumi.
“Ya, Allah, aku hamil?” Rum menutup mulut sambil menggelengkan kepala tak percaya.
Kejadian sebulan lalu seolah-olah berkelindan di ingatannya. Saat menghabiskan malam valentine di sebuah hotel, pacar Rum meminta bukti cinta hingga terenggut mahkota suci yang ia pertahankan selama ini.
Rum mengacak rambutnya kasar, dan memukul-mukul perut. Ia berharap, bayi dalam rahimnya segera mati.
“Arrrgg … Mati!” Rum menangis sambil terus memukuli perut.
Tiba-tiba terbayang wajah ibunya di desa. Tangis Rum semakin keras. Teringat dua tahun lalu, saat ibunya buruh siang malam, demi terkumpulnya ongkos Rum sekolah di kota. Ibu begitu bahagia, karena Rum mendapat beasiswa dan fasilitas hidup secara gratis.
Harapan ibu begitu besar pada Rum. Ia ingin Rum sekolah tinggi agar bisa mengubah kondisi mereka yang melarat karena ibu yakin, Allah akan menaikkan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.
Sejak kecil, Rum sudah menjadi yatim. Ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Rum, termasuk memberikan pendidikan agama hingga umum. Ibu hanya seorang kuli yang upahnya kadang hanya bisa untuk makan Rum dan biaya sekolahnya saja. Namun, ibu tetap tulus dan semangat.
Ajaran agama yang ibu berikan sejak kecil, yaitu berpegang teguh pada Al-Quran dan hadis hanya bertahan dua tahun pertama di SMA. Kehancurannya berawal dari sering alpa memgikuti kajian. Hobi barunya hangout bersama Angel dan Clara. Merekalah yang mengajak Rum pada kebahagiaan sesaat.
Penampilan Rum berubah, dari berkerudung syari, hingga lepas kerudung. Dengan tambahan makeup, Rumana semakin mempesona. Tubuhnya semampai dan kulitnya putih halus. Ia jadi semakin percaya diri mengumbar aurat.
Akhirnya Rum terperosok ke dalam jurang pacaran. Awalnya Rum ragu, tapi gemerlap dunia mengalahkan rasa takut kepada Tuhan. Rum jadi terbiasa dengan kemaksiatan yang terasa indah.
“Aku sudah besar, San. Mulai sekarang, jangan ikut campur masalahku!” tegas Rum saat Santi, teman sekelas yang sama-sama dari kampung, datang mengingatkan.
“Astagfirullah, inget dosa, Rum! Semua ini akan dihisab di akhirat. Ibumu pasti sangat kecewa melihat penampilanmu, macam perempuan yang gak bener.“
Mendengar itu, Rum sangat marah.
"Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipi Santi.
“Jaga, ya, mulut Lo!” kata Rumana.
“Astagfirullah, Rum!“ Santi menangis, lalu pergi meninggalkan Rum yang hatinya telah membatu.
Rumana juga masih sangat ingat, Santi kembali menasihatinya, saat akan merayakan hari valentine.
“Astagfirullah, Rum, kamu kan tahu, valentine budaya orang kafir? Rasulullah sudah memperingatkan, barang siapa yang mengikuti suatu kaum, alias tasyabuh bil kuffar, maka ia bagian dari kaum tersebut. Kamu gak takut, kalau kelak gak diakui sebagai umat Rasulullah?”
Rum tak peduli. Ide-ide sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan nampaknya telah bercokol di hatinya.
“Maafkan aku, Santi,“ sesal Rum penuh air mata. “Astagfirullah.”
Belum usai segala nestapa yang ia rasa, sebuah salam terdengar, suara yang tak asing baginya.
“Santi?” gumamnya pelan.
Rum kebingungan. Ia mengusap air mata. Dadanya berdegup kencang. Ia mengatur nafas, kemudian membuka pintu perlahan.
Betapa terkejutnya Rum, saat seraut wajah yang begitu ia rindu tersenyum di depannya, di sebelah Santi. Tubuh itu semakin kurus. Gurat lelah berpadu sempurna dengan keriput di tulang pipi.
“Ibu!”
Tenggorokan Rum mengering. Ibu tersenyum. Mata wanita itu berkaca-kaca.
“Rum!” Ibu memeluk Rum.
“Ibu!” Rum membalas pelukan itu erat sambil menangis keras.
Santi menyeka air mata, haru.
Mereka masuk ke dalam kamar kos yang luasnya 3x4 meter. Ibu sangat bahagia, melihat ruangan tampak rapi dan wangi.
“Rum, sekolah yang tinggi, biar nanti dapat kerjaan dengan mudah dan bisa membangun rumah tembok seperti ini,” ungkap ibu sembari mengusap-usap dinding bercat hijau itu.
Ibu lalu mengeluarkan sebuah benda kotak dari tas kusutnya. Ia meletakan di atas kasur empuk, berbeda sekali dengan kasur Rum di kampung yang lepek dan dekil.
“Ini laptop, Rum. Ibu mengumpulkan uang untuk beli ini, sebagai hadiah untuk Rum karena sudah jadi anak yang membanggakan ibu. Ibu rela puasa Daud supaya bisa membeli laptop ini.”
Ibu menjelaskan dengan wajah berseri-seri. Rum tak mampu lagi berkata-kata. Detik itu juga, ia tersungkur di kaki ibunya. Ia menangis, rasanya begitu sakit.
“Sudah … sudah, jangan begitu. Ibu mendoakan kamu setiap hari supaya jadi anak saliha yang sukses dunia akhirat.” Ibu mengangkat bahu Rum, lalu mendudukannya. Gadis itu termenung. “Seneng nggak, Nduk?“
Suara ibu menghentak kesadarnya. Rum nampak gelagapan. Ia tak bisa menyimpan kerisauan di hatinya.
“Kamu ada masalah? Cerita sama Ibu, ada apa, Nduk?“
Rum tak menjawab. Ia semakin erat menggenggam alat tes itu. Dalam hati, ia berjanji tak akan mengahancurkan kebahagiaan ibunya. Biarlah nanti dia akan menggugurkan saja kandungan ini. Toh klinik penggugur kandungan tersebar di mana-mana karena marak pelajar hamil.
Sesaat Rum merasa aman karena jejak kehamilnya pasti akan hilang. Dia ingat, Angel pernah menggugurkan kandungan juga. Rum tersenyum menang.
“Rum, kok senyum sendiri?“
Suara ibu tak dihiraukan Rum. Tanpa sadar, alat tes kehamilan itu tersingkap dari tangannya. Ibu yang memperhatikan Rum dari atas hingga bawah nampak curiga. Ia mengambil benda dari tangan putrinya. Rum tersadar saat alat itu berpindah tangan.
“Rum?“ lirih ibu.
Sekujur tubuh Rum mulai menghangat. Pikirannya sudah buruk. Tapi ibu tak mau mengedepankan prasangka sebelum klarifikasi.
Rum menelan ludah. Wajahnya mendadak pucat. Tatapan ibu seolah mencekik lehernya. Tangannya dingin. Santi yang melihat juga kaget dan penasaran.
“Rum, jangan bilang ini … ini … punyamu?“ Suara ibu tercekat.
“Eh, em, i … ini.“ Rum gemetar.
“Jawab, Rum!” ucap ibu sambil mengguncang pundak Rumana.
“Rum hamil, Bu. Hiks … Hiks … Hiks.” Rum berkata sambil terisak.
“Astagfirullah!”
Jawaban Rum bagai belati yang menohok hati wanita tua itu. Aliran darah yang memompa ke jantung seolah-olah berhenti bekerja. Ibu merasakan sakit yang luar biasa, melebihi sakit saat melahirkan. Sedangkan Santi, ia terduduk lemas.
“Maafkan, Rum, Bu, maafkan Rum!“
Gadis itu tergugu.
Ibu tak menjawab, hanya ada air yang mengalir deras dari netranya. Ia merasa kecewa, sakit, dan marah. Semua berlomba menyesaki hati. Harapannya hancur.
Sesaat, ibu merasa gagal dalam mendidik anak. Tubuh ibu mematung, tatapannya kosong, bibirnya pucat pasi, badannya dingin bagai es. Perlahan tubuh kurus itu terkapar di atas kasur.
“Ibuuu!” Rumana menjerit histeris.
“Bangun, Bu!”
Ibunya telah kembali pada-Nya. Allah tak ingin hati seorang ibu berlama-lama tersakiti oleh manusia tak tahu diri.
-Tamat-