Kebebasan bersuara pun seakan-akan tak memiliki ruang bagi media mainstream. Bukan rahasia lagi jika media mainstream kerap memberikan narasi keberpihakan kepada penguasa dan membentuk framing buruk pada lawan politiknya
Oleh. Irma Sari Rahayu
NarasiPost.Com-Saat ini, luasnya dunia seakan tak berjarak. Arus informasi terus bergerak cepat seiring dinamika perputaran hidup manusia. Apa yang terjadi di negeri Eropa, dalam sekejap mata dapat diketahui di negeri Asia dan Afrika. Kemudahan akan akses informasi saat ini tentu tak dapat dilepaskan dari peran media, baik media cetak maupun elektronik.
Saat menghadiri puncak peringatan hari Pers Nasional 2021 yang diselenggarakan secara virtual di Candi Bentar Hall, Ancol tanggal 9 Februari 2021, Presiden Joko Widodo mengucapkan terimakasih kepada seluruh insan pers yang telah membantu pemerintah dalam mengedukasi masyarakat untuk tindakan disiplin melaksanakan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran virus Corona. Tema peringatan Hari Pers Nasional 2021 sendiri mengambil tajuk "Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi dengan Pers sebagai Akselerator Perubahan." (presiden.go.id, 9/2/202)
Peran pers tak bisa dianggap sepele. Pemerintah sendiri menganggap insan pers bagaikan suluh yang menerangi. Bahkan sektetaris kabinet, Pramono Anung, mengatakan bahwa kebebasan pers wajib dijaga. Segala kritikan, saran dan masukan dianggap sebagai jamu yang menguatkan tubuh pemerintah. (m.caping.co.id)
Benarkah Demokrasi Menjamin Kebebasan Pers?
Pernyataan pemerintah bagai oase yang menyejukkan. Namun, apakah pemerintah bersungguh-sungguh melindungi kebebasan pers? Karena fakta di lapangan berkata lain. Sungguh jauh api dari panggang. Banyak kasus aktivitas yang bertujuan mengkritik pemerintah berujung kepada penangkapan atau peretasan akun media sosial milik seseorang. Terutama terjadi pada pihak yang bersebrangan secara politik dengan penguasa.
Kasus peretasan akun media sosial pernah menimpa ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono. Akun twitter Pandu @dpriono diduga diretas karena seringnya mengkritisi kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Peretasan juga dialami oleh laman Tempo.co seperti yang dituturkan oleh pemimpin redaksi Tempo, Satri Yasra.
Tak hanya kasus peretasan, kekerasan terhadap jurnalis pun kerap terjadi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merilis sebuah Catatan Akhir Tahun 2019 yang mengungkap sebanyak 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan 30 kasus diantaranya dilakukan oleh kepolisian. AJI juga mengungkapkan adanya ancaman lain kebebasan pers yang dapat menjerat jurnalis, yaitu diterbitkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kebebasan bersuara pun seakan-akan tak memiliki ruang bagi media mainstream. Bukan rahasia lagi jika media mainstream kerap memberikan narasi keberpihakan kepada penguasa dan membentuk framing buruk pada lawan politiknya. Kondisi ini dapat terindra saat pemilihan presiden periode pertama maupun kedua. Betapa media-media mainstrem tidak bersikap netral dan kental akan keberpihakannya pada pasangan capres tertentu.
Fakta-fakta tersebut dapat kiranya menjawab pertanyaan, apakah sistem demokrasi menjamin kebebasan pers? Bukankah sistem demokrasi menjamin hak berpendapat setiap warga negara?
Kondisi ini adalah wajar di alam yang dilingkupi sistem demokrasi kapitalisme liberal yang menempatkan media tak lagi sebagai penjaga masyarakat dalam bentuk pemberian informasi yang benar. Informasi yang diterima masyarakat kerap sarat dengan framing tertentu untuk sebuah tujuan tertentu. Saat ini media lebih ditempatkan sebagai penjaga kekuasaan rezim.
Pers dalam Pandangan Islam
Islam dengan segenap aturan yang diturunkan oleh Allah mengatur setiap perilaku manusia di dunia. Tak terkecuali dengan masalah media. Paradigma Islam memandang, media harus menjadi sarana yang mencerdaskan umat melalui pemberian informasi yang benar. Tidak boleh ada unsur kebohongan, hasutan atau propaganda negatif. Islam memosisikan media sebagai penjaga umat.
Negara dalam hal ini Lembaga Penerangan (I'lamiyah) akan memberikan kontrol ketat kepada media terkait konten-konten informasi. Negara melarang keras penyebaran konten yang melanggar hukum syara seperti pornografi, pornoaksi, menyebarkan hoax juga pemikiran kufur yang merusak. Negara tak akan segan memberikan sanksi berat kepada media jika melanggar aturan negara. Namun, kontrol ketat negara ini tidaklah menjadikan penguasa, yaitu Khalifah dapat mempergunakan media sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya secara semena-mena. Karena Khalifah terikat dengan bai'atnya sebagai pelaksana hukum syara.
Dalam sistem Khilafah, Lembaga Penerangan memiliki peran strategis sebagai alat propaganda tersebarnya dakwah Islam hingga ke seluruh alam. Lembaga ini juga sebagai sarana edukasi yang memberikan informasi tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum oleh negara sehingga keagungan sistem Islam dapat tersampaikan dan memudahkan bergabungnya negara-negara lain ke dalam wilayah daulah. Lembaga penerangan juga berperan sebagai propaganda dakwah dan jihad. Terkait dengan informasi jihad, akan diatur informasi-informasi yang terkait dengan militer seperti pergerakan pasukan, berita kemenangan dan kekalahan perang serta industri militer. Lembaga ini berada di bawah tanggungjawab Khalifah secara langsung untuk menetapkan mana informasi yang harus ditutupi dan mana yang harus disebarkan.
Dengan keterikatan terhadap hukum syara sebagai wujud konsekuensi ketaatan seorang muslim, baik khalifah maupun individu rakyat akan bersinergi dalam memanfaatkan media untuk kemaslahatan Islam dan umat Islam. Sudah bukan saatnya lagi untuk berdiam diri. Tapi jadilah bagian dari barisan yang berjuang menyongsong sistem yang akan meniscayakan keselamatan umat dunia dan akhirat. Wallahua'lam.[]
Photo : Pinterest