Membangun citra baik tak cukup dengan hitung-hitungan di atas kertas. Hal ini harus dibuktikan dengan memberi jaminan keamanan di tengah masyarakat
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com- Sorotan bertubi-tubi ditujukan pada lembaga penegak hukum, Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Berbagai kasus yang melibatkan anggota-anggotanya telah mencoreng citra Polri dan menurunkan kepercayaan publik. Menyadari hal itu, lembaga penegak hukum yang menjadi tumpuan masyarakat tak tinggal diam. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mengembalikan muruah dan membangun kembali kepercayaan publik.
Harapan tersebut tampaknya menuai hasil. Diberitakan oleh antaranews.com (24-6-2024), perbaikan citra positif Polri sebagai institusi penegak hukum tampaknya berhasil dilakukan. Hal ini berdasarkan hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 27 Mei hingga 2 Juni 2024. Hasil survei tersebut menempatkan Polri di urutan kedua tertinggi dengan angka 73,1 persen. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2022 yang hanya berada di angka 65,7 persen. Sementara di urutan pertama ditempati oleh TNI dengan angka 89,8 persen.
Lantas, apa sebenarnya upaya yang sudah dilakukan Polri hingga mendapatkan citra positif dari masyarakat? Jika citra positif diterima Polri, apakah hal ini juga sejalan dengan jaminan keamanan yang diberikan pada masyarakat? Lalu apa tupoksi Polri sesungguhnya?
Langkah Menaikkan Citra
Pencapaian positif Polri berdasarkan survei Litbang Kompas mendapat apresiasi banyak pihak. Salah satu yang ikut memberikan apresiasi terhadap hasil survei tersebut adalah Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Analisa Keamanan Indonesia (PUSAKA), Adhe Nuansa Wibisono. Adhe menyebut, Polri selama ini sudah melakukan pembenahan internal dan meningkatkan profesionalitas institusi di lembaga penegak hukum tersebut. Selain itu, keberhasilan itu terjadi karena Polri selama ini telah berupaya melakukan penegakan hukum dan mengutamakan kepentingan masyarakat. (liputan6.com, 22-6-2024)
Keberhasilan mengembalikan citra Polri di mata publik disebut tak lepas dari peran besar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Di antara arahan kapolri adalah memberikan kepastian hukum terhadap semua perkara yang ditanganinya. Kepastian hukum yang dimaksud adalah tegas tanpa pandang bulu. Misalnya, kapolri memerintahkan untuk menindak tegas anggotanya yang telah melakukan pelanggaran kode etik maupun terjerat pidana seperti korupsi, narkoba, judi online, dll.
Tak hanya memberi sanksi tegas, kapolri juga mengapresiasi para anggotanya yang berhasil mendulang prestasi. Mekanisme reward (hadiah) dan punishment (hukuman) yang telah diterapkan Polri selama ini, dianggap mampu mengembalikan muruah lembaga itu di tengah masyarakat. Mekanisme tersebut juga disebut berdampak pada perbaikan dalam segi lainnya, di antaranya transparansi keuangan. Selain itu, kapolri juga menggaungkan sebuah konsep yang bernama PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).
Tupoksi Polri
Langkah Polri dalam memperbaiki citranya yang mulai hilang tentu patut diapresiasi. Apalagi jika melihat dua periode survei sebelumnya (Oktober 2022 dan Januari 2023), di mana citra Polri benar-benar anjlok. Tak hanya kinerjanya yang disorot, kritikan juga datang bertubi-tubi karena kasus-kasus besar yang menjerat institusi penegak hukum tersebut.
Sebut saja tentang keterlibatan sejumlah anggota Polri dalam beberapa kasus besar, seperti kasus Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, hingga penyalahgunaan barang bukti narkoba yang dilakukan oleh mantan Kepala Kapolda Sumatra Barat, Teddy Minahasa. Kritikan juga datang karena banyak kasus besar yang belum mampu dituntaskan hingga saat ini. Karena itu, citra positif Polri memang harus diwujudkan, mengingat betapa urgennya peran lembaga itu di tengah masyarakat.
Jika melihat kedudukannya sebagai institusi penegak hukum, sejatinya Polri memiliki tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yang sangat penting dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat 4, yang pada intinya menyebut bahwa Polri merupakan alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memiliki tugas mengayomi, melindungi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. (polri.go.id)
Mahalnya Rasa Aman dalam Sistem Kapitalisme
Tupoksi Polri sebagai lembaga penegak hukum yang melindungi, mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum seharusnya seiring sejalan dengan terwujudnya rasa aman dalam masyarakat. Sayangnya, fakta justru berbicara sebaliknya. Keamanan di negeri ini masih menjadi barang mahal yang sulit didapatkan. Tingkat kriminalitas tinggi, bahkan terus melonjak dari waktu ke waktu.
Mengutip data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas), di sepanjang tahun 2023, terdapat 434.768 kasus kejahatan. Dari jumlah tersebut terdapat tiga kasus dengan kejahatan tertinggi, yaitu pencurian dengan pemberatan (63.355 kasus), penganiayaan (51.312 kasus), dan penipuan atau perbuatan curang (49.007 kasus). Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kejahatan di negeri ini masih tinggi dalam setiap bulannya.
Jumlah tersebut baru hitungan selama satu tahun. Bayangkan saja jika digabungkan selama beberapa tahun ke belakang maka jumlah kasus kejahatan pasti membeludak. Tingginya tingkat kriminal mengindikasikan bahwa kejahatan terus terjadi hanya dalam hitungan detik. Pada 2020 misalnya, rentang waktu terjadinya tindak kejahatan adalah setiap 2 menit 7 detik. Artinya, setiap 2 menit lebih 7 detik, ada satu kasus kejahatan yang terjadi.
Namun yang mengherankan, tingginya kasus kejahatan nyatanya tidak sebanding dengan tingkat pelaporan korban pada pihak Polri yang justru sangat rendah. Selama rentang 2019–2020 misalnya, orang yang melaporkan tindak kejahatan tidak lebih dari 25 persen. Artinya, jumlah kejahatan yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak.
Minimnya Jaminan Keamanan di Tengah Citra Baik
Tingginya angka kejahatan yang terjadi di negeri ini menunjukkan minimnya jaminan keamanan dari negara. Negara adalah pihak yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi seluruh rakyat. Sayangnya, realitas justru berkata lain. Berita tentang pencurian, pembegalan, hingga pembunuhan wira-wiri mewarnai pemberitaan di berbagai media.
https://narasipost.com/opini/09/2022/duhai-polri-tubuhmu-kian-keropos/
Akibatnya, rasa waswas terus membayangi masyarakat karena kejahatan mengintai di mana pun, baik saat berada di rumah maupun di tempat umum. Tak hanya itu, kasus-kasus kejahatan yang masih menjadi misteri atau belum terungkap juga tidak sedikit. Hal ini tentu saja turut menggerus kepercayaan publik terhadap Polri sebagai lembaga penegak hukum.
Publik tentu belum lupa kasus pembunuhan sadis yang menimpa siswi SMK Baranangsiang di Bogor pada 8 Januari 2019, yang masih menjadi misteri. Juga pembunuhan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di danau UI pada Maret 2015 dan mutilasi sadis Setiabudi 13 pada November 1981 silam, dll., yang juga belum mampu diungkap hingga kini (liputan6.com, 4-6-2024). Ini artinya, tupoksi Polri sebagai pelindung dan penegak hukum belum berjalan semestinya.
Jaminan Keamanan, Tanggung Jawab Negara
Negara adalah penanggung jawab seluruh urusan rakyat. Tanggung jawab tersebut meliputi semua aspek, termasuk memberi jaminan keamanan pada seluruh rakyat. Inilah yang menjadi salah satu tugas negara dalam sistem pemerintahan Islam.
Dalam Islam, kekuasaan itu ada untuk mewujudkan dua hal, yaitu menegakkan hukum Allah dan mengurusi rakyat. Karena itu, kekuasaan dalam Islam tegak di atas prinsip pelayanan dan perlindungan. Di sisi lain, penerapan syariat Islam oleh negara akan memberikan perlindungan terhadap beberapa hal yakni agama, akal, harta, darah, jiwa, dan kehormatan manusia.
Demi mewujudkan jaminan tersebut, negara menerapkan seperangkat hukum yang wajib dipahami dan bersifat mengikat bagi setiap warga negara. Karena itu, siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak manusia, apalagi sampai menumpahkan darah maka akan diberikan sanksi tegas. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Ibnu Majah: "Sungguh, hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim."
Tupoksi Kepolisian dalam Islam
Institusi yang diberikan tugas menjaga keamanan dalam negeri Kekhilafahan Islam adalah kepolisian. Kepolisian dalam Islam hadir sebagai pelindung umat yang memberikan rasa aman dan tenteram, bukan untuk menakut-nakuti atau mengancam masyarakat.
Dalam Islam, kepolisian (syurthah) sudah dikenal sejak lama yakni saat Rasulullah saw. memimpin Daulah Islam di Madinah. Syurthah sendiri secara bahasa diartikan sebagai pembantu khalifah, sedangkan secara istilah syurthah berarti pasukan yang dibentuk oleh khalifah atau wali (gubernur). Syurthah memiliki tugas untuk menjaga keamanan, melindungi aturan, menangkap para pelaku kejahatan, dan beberapa tugas lainnya demi menjamin keselamatan dan ketenangan seluruh rakyat.
Dalam kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam karya Syekh Abdul Qadim Zallum, disebutkan bahwa kepolisian merupakan kekuatan utama bagi negara untuk menjaga keamanan dari berbagai gangguan dan ancaman. Ancaman tersebut bisa berupa perampokan, zina, murtad, pencurian, dan sebagainya. Dalam menunaikan tugasnya, polisi diberi wewenang menggunakan senjata untuk menghadapi para pemberontak maupun separatis yang mengganggu keamanan umum, seperti mengancam aset-aset umum, mengancam harta warga, dan sebagainya.
Meski memiliki beberapa wewenang sebagai penjaga keamanan dalam negeri, polisi wajib menjalankan seluruh tugasnya sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Mereka tetap dilarang memata-matai rakyat, meretas (baik ponsel, nomor telepon, maupun email), menyadap, dan aktivitas yang sejenisnya hanya demi alasan mencegah kejahatan.
Aktivitas memata-matai oleh polisi hanya boleh dilakukan terhadap ahlur-riyab (orang-orang yang sudah memiliki gelagat kuat akan memberi bahaya pada masyarakat maupun negara). Polisi juga dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat sehingga menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran, contohnya memukuli warga, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan syariat, dan sebagainya.
Khatimah
Membangun citra baik Polri tak cukup dengan hitung-hitungan di atas kertas. Hal ini harus dibuktikan dengan memberi jaminan keamanan di tengah masyarakat. Saat rasa aman dalam berbagai aspek sudah terjamin, niscaya citra lembaga penegak hukum akan baik di masyarakat.
Namun, lembaga penegak hukum hanya akan menjalankan tupoksinya secara sempurna jika berada di bawah sistem sahih yakni Khilafah. Saatnya umat kembali pada Islam dan menjadikan seluruh syariatnya sebagai solusi. Wallahu a'lam bishawab.[]