Kita juga harus memikirkan solusi jangka panjang untuk tragedi di Gaza, memilih solusi yang benar-benar menyentuh akar masalah di Gaza itu sendiri.
Oleh. Ummu Khaizuran
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Keputusan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengangkut korban perang Gaza ke Indonesia telah menarik perhatian publik dan media. Apa yang dilakukan TNI terlihat sebagai langkah penuh empati yang menunjukkan solidaritas Indonesia terhadap krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di Gaza.
Namun, jika dicermati ternyata keputusan mengangkut seribu korban perang Gaza ke Indonesia ini memunculkan pertanyaan tentang seberapa efektivitas langkah ini. Benarkah dengan mengangkut seribu korban di Gaza ke Indonesia adalah solusi terbaik untuk masalah di Gaza ?
Pro dan Kontra Keputusan TNI
TNI Angkatan Udara (AU) telah menyiapkan tiga pesawat untuk evakuasi warga Gaza, di antaranya adalah jenis Boeing-737 400/500 serta Hercules C-130 tipe J dan Tipe H. Adapun pesawat Boeing yang disiagakan dapat menampung 41 kru, 86 penumpang, dan logistik yang beratnya mencapai 10.000 kg. Sementara untuk perawatan Hercules tipe J dapat menampung penumpang dan kru sebanyak 51 orang, sedangkan tipe H sebanyak 55 orang. (Liputan6.com, 14-6-2024)
Terlihat keputusan ini menunjukkan kepedulian terhadap nilai kemanusiaan global. Apalagi, mengangkut korban perang ke Indonesia dapat memberikan mereka akses ke perawatan medis yang lebih baik dan kesempatan untuk pulih dari trauma dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
Namun, ada beberapa hal yang juga harus dipikirkan ulang. Seperti, apakah sudah dipastikan keputusan ini adalah yang paling efektif yang bisa dilakukan oleh sebuah negara? Atau sebenarnya ada solusi lain yang lebih baik?
Penting juga untuk memikirkan bahwa tindakan seperti ini harus dilakukan dengan memikirkan kebutuhan dan keinginan korban itu sendiri. Apakah mereka ingin meninggalkan Gaza? Bagaimana mereka akan beradaptasi dengan kehidupan baru di Indonesia? Pada faktanya, orang-orang Gaza lebih memilih tinggal di sana, berjuang untuk mempertahankan dan membebaskan tanah mereka.
Jadi, meskipun pengangkutan korban perang Gaza oleh TNI adalah tindakan yang penuh kasih sayang, kita harus memikirkan aspek-aspek lainnya untuk memastikan bahwa hal itu benar-benar membantu mereka. Kita juga harus memikirkan solusi jangka panjang untuk tragedi di Gaza, memilih solusi yang benar-benar menyentuh akar masalah di Gaza itu sendiri.
Akar Masalah Perang Gaza
Perang Israel-Palestina sudah terjadi sangat lama dan kontroversial. Akar dari masalah yang ada di sana, dapat ditelusuri kembali pada awal abad ke-20, ketika gerakan Zionis mulai mendorong pembentukan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina.
Pada tahun 1917, Deklarasi Balfour dikeluarkan oleh pemerintah Inggris, yang menyatakan dukungan untuk pembentukan “Rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina, yang saat itu masih di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah. Setelah Perang Dunia I dan kekalahan Khilafah Utsmaniyah, Mandat Britania untuk Palestina dimulai, dan imigrasi Yahudi ke wilayah tersebut meningkat secara signifikan.
Peningkatan jumlah Yahudi menimbulkan ketegangan dengan penduduk asli Palestina. Ketegangan ini meningkat saat deklarasi kemerdekaan Israel pada 14 Mei 1948. Pendirian negara Israel di wilayah milik Palestina telah menjadi akar masalah dari masalah yang terus berkelanjutan hingga hari ini. Bahkan beberapa pengamat mengatakan, yang dilakukan Israel hari ini di wilayah Gaza dan Rafah, bukan hanya menjajah dan menjarah, tapi genosida dan kejahatan perang.
Perang di Gaza melibatkan banyak pemain internasional dengan berbagai upaya perdamaian, namun hasilnya nihil. Bahkan serangan Israel semakin brutal dan korban dari kalangan anak-anak dan perempuan semakin banyak berjatuhan. Semua ini menunjukkan bahwa hari ini solusi yang ditawarkan oleh dunia sama sekali tidak menyentuh akar masalah genosida dan kejahatan perang yang terjadi di Gaza.
Pun solusi yang ditawarkan oleh TNI yaitu mengangkut seribu korban di Gaza ke Indonesia, meskipun sarat dengan nilai kemanusiaan, nyatanya bukan itu yang paling dibutuhkan oleh Gaza yang sedang menderita karena menjadi korban genosida dan korban kejahatan perang. Jika akar masalah di sana adalah keberadaan penjajah Israel, maka solusinya penjajahan itulah yang harus dienyahkan.
Islam Solusi Nyata Untuk Gaza
Berharap pada negara internasional untuk menyelesaikan masalah di Gaza dengan seadil-adilnya adalah sebuah kemustahilan. Apa pun solusi yang ditawarkan oleh dunia tidak akan sepenuhnya berdampak baik kepada muslim Gaza. Keputusan TNI untuk mengangkut korban Gaza ke Indonesia, pun itu jika disetujui oleh PBB sebagai gawang dari setiap keputusan internasional. Indonesia juga berniat untuk mengirimkan pasukan militer ke Gaza, pun menunggu gencatan senjata sudah terjadi dan tentu itu atas restu PBB terlebih dulu. Benar saja, bagaimana bisa mengharapkan dunia internasional dan PBB untuk mengusir penjajah Israel sedangkan merekalah yang mengizinkan penjajahan itu terjadi di Gaza?
https://narasipost.com/world-news/01/2024/nestapa-bayi-di-neraka-gaza/
Islam, agama yang sempurna dan sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan Islamlah yang memberikan penghargaan tertinggi di saat nyawa manusia hari ini tidak lagi berharga.
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasa’i 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani).
Karena kesempurnaan Islamlah, ada syariat jihad fi sabilillah yang akan mampu menyelesaikan masalah seperti di Gaza hari ini. Ada dua bentuk jihad di dalam Islam, yang pertama disebut jihad defensif. Jihad defensif adalah tindakan membela diri dan tempat tinggalnya dari agresi atau serangan yang datang dari luar. Ini adalah respons terhadap ancaman langsung terhadap kehidupan, kepemilikan, dan kehormatan. Dalam Al-Qur’an dan hadis, ada dalil yang mendukung hak untuk membela diri ketika diserang, dengan batasan tertentu untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang tidak diinginkan. Islam juga menetapkan aturan etika dalam berperang, termasuk perlindungan bagi anak-anak dan perempuan, juga larangan merusak tanaman dan hewan, dan perlakuan yang adil terhadap tawanan.
Adapun jihad yang kedua disebut jihad ofensif. Jihad ini dilakukan sebagai inisiatif untuk menghapuskan penghalang fisik dalam rangka mendakwahkan Islam. Jihad ofensif dilakukan ketika langkah-langkah diplomasi sudah ditempuh dan tidak membuahkan hasil. Jihad ini dilakukan dengan niat dan tujuan untuk menyelamatkan manusia dari penghambaan kepada selain Allah, menuju penghambaan hanya kepada Allah semata. Sayangnya, jihad ofensif ini bisa dilakukan jika ada komando Khalifah untuk mengirimkan pasukan penyelamatan dan mengusir penjajahan dari negeri-negeri muslim yang terjajah.
Hari ini, perang di Gaza sudah melewati batas nilai-nilai kemanusiaan dan juga melewati batas hubungan internasional yang seharusnya. Gaza sudah berjuang melawan kejahatan perang yang brutal, itu adalah bentuk jihad defensif. Upaya diplomasi sudah banyak dilakukan tapi hanya membuahkan hasil pahit untuk Gaza. Melakukan evakuasi seribu korban di Gaza ke Indonesia, pun hasilnya akan sama. Tidak akan ada perubahan yang berarti. Saatnya pemimpin negeri-negeri muslim bersatu dalam satu komando, mengirimkan pasukan militer untuk mengusir penjajah Israel dan membebaskan Gaza dari penderitaan yang dialami selama ini. []
Risiko sebuah negara terikat hukum internasional. Mau menolong saudara seakidah saja harus dapat izin dari PBB. Sudah saatnya para pemimpin muslim sadar dan bersatu untuk membebaskan Palestina
Sampai kapan Palestina harus menderita? Dimana para penguasa muslim sejati?
Saatnya umat Islam bersatu untuk menerapkan aturan Allah dibawah penguasaan yang memimpin negara hanya dengan aturan Islam
Sudah puluhan ribu nyawa saudara kita melayang. Mereka dibantai. Ternyata belum cukup mengetuk hati para penguasa. Padahal, derita meraka berseliweran setiap hari di medsos. Ya Rabb, sudah separah ini ikatan di antara kaum muslimin.