Pemilihan presiden oleh MPR sama sekali tidak akan menghilangkan praktik politik uang. Ini karena permasalahannya bukanlah pada mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung, melainkan penerapan demokrasi.
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Wacana pemilihan presiden lewat MPR kembali berembus. Gagasan ini disampaikan oleh Amien Rais selaku ketua MPR periode 1999-2004 saat silaturahmi ke pimpinan MPR periode saat ini. Amien berpandangan bahwa MPR yang terdiri dari orang-orang berpikir pasti akan memiliki banyak pertimbangan saat memilih presiden. Ia juga beranggapan bahwa cara ini merupakan jalan untuk menghilangkan praktik politik uang yang selalu terjadi saat pemilu berlangsung.
Amien juga mengaku naif lantaran pernah ikut mengubah aturan pemilu. Saat itu ia berpikir jika presiden langsung dipilih rakyat, tidak akan terjadi politik uang. “Dulu kita mengatakan, kalau dipilih langsung, one man one vote, mana mungkin ada orang yang akan menyogok 127 juta pemilih, mana mungkin, butuh ratusan triliun, ternyata mungkin,” ujar Amien Rais kepada awak media. (Detiknews.com, 9-6-2024)
Terang saja, gagasan Amien Rais ini menuai penolakan dari berbagai kalangan. Beberapa pihak menilai gagasan Amien merupakan perwujudan sikap pragmatisme politik dan penyimpangan dari semangat reformasi 1998. Pemilihan presiden yang dilakukan secara tidak langsung juga dianggap akan mengebiri hak rakyat untuk menentukan pemimpin pilihan mereka.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet) sendiri juga membantah pihaknya telah memutuskan pemilihan presiden akan dipilih MPR. Bamsoet menegaskan bahwa pihaknya hanya menerima masukan Amien. Namun, tampaknya media menyalahartikan penerimaan itu.
Peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch), Yassar Aulia juga menolak gagasan Amien Rais jika benar presiden akan dipilih MPR. Menurut ICW, praktik politik uang tidak akan selesai hanya dengan mengotak-atik metode pemilihan presiden langsung atau tidak langsung. Menurut pihaknya, politik uang merupakan imbas dari rusaknya pengaturan tata kelola pemilu dan partai politik yang jamak menciptakan persaingan logistik dan sumber daya hingga rentan terjadi politik uang. (Detiknews.com, 8-6-2024)
Lalu, apa sebenarnya penyebab politik uang begitu masif dalam pemilu negeri ini? Apakah ketika pemilihan presiden diserahkan kepada MPR kondisi negeri akan lebih baik? Atau justru sama saja.
Praktik Politik Uang
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan bahwa ada persoalan dalam tata kelola demokrasi yang berakibat pada maraknya praktik politik uang di Indonesia, yakni tingginya biaya politik. Kondisi ini rentan mengakibatkan politik oligarki. Para oligarki akan menjadi bandar yang bisa mengatur kepentingan politik.
Selanjutnya, bandar-bandar oligarki ini akan melahirkan interlocking politic atau politik saling kunci karena masing-masing bandar pasti memiliki target pencapaian. Politik saling kunci ini juga akan berujung pada involuted politic, yakni politik yang hanya melibatkan para elite. Jika para elite menginginkan sesuatu, akan terealisasi dengan cepat. Sedangkan jika rakyat yang membutuhkan, penanganan akan sangat lamban.
Demokrasi Biang Politik Mahal
Praktik politik uang yang terjadi di Indonesia adalah buah dari penerapan sistem politik demokrasi. Bukan dari segi pemilihan langsung atau tidak langsung seorang presiden sebab demokrasi telah menghalalkan segala cara untuk mencapai takhta kekuasaan.
Dalam demokrasi, siapa saja boleh menjadi pemimpin selama ia memiliki modal untuk berkampanye agar dirinya dikenal oleh masyarakat luas. Proses kampanye ini jelas tidak murah dan butuh modal besar. Mulai dari biaya pencalonan dirinya, biaya cetak spanduk, brosur, segala macam pernak-pernik kampanye seperti kaos, kalender, baliho, dan lain-lain. Biaya ini belum termasuk bahan-bahan logistik yang sering dibagi-bagikan selama masa kampanye. Jangka waktu kampanye yang panjang juga turut memperbesar biaya yang akan dikeluarkan oleh seorang calon.
https://narasipost.com/opini/12/2022/politik-uang-bukti-mahal-dan-gagalnya-sistem-demokrasi/
Mahalnya praktik politik dalam demokrasi mengakibatkan sering terjadi kongkalikong antara kader partai dengan para pengusaha. Akhirnya, saat kader partai menjabat, rakyat tidak lagi jadi sahabat, yang ada hanya para pengusaha yang menjadi kerabat. Para pejabat tidak lagi memikirkan nasib rakyat karena mereka berfokus untuk mengembalikan modal yang telah terkuras selama masa kampanye.
Dalam demokrasi, calon pemimpin yang maju dalam pemilu tidak lahir dari keinginan rakyat, melainkan dari kesepakatan partai-partai yang berkoalisi. Tanpa rakyat tahu kriteria apa yang mendasari pencalonan orang tersebut. Rakyat hanya dipaksa untuk memberikan suara kepada calon yang telah disediakan.
Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Berbeda dengan demokrasi. Ketentuan syariat dalam memilih pemimpin telah menghilangkan praktik politik uang. Islam menetapkan bahwa seorang pemimpin atau khalifah harus memiliki syarat wajib yang terdiri dari muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu (mampu mejalankan amanah kekhalifahan). Sedangkan syarat keutamaan akan diberlakukan jika memang didukung oleh nas yang sahih, seperti diutamakan dari suku Quraisy, harus seorang mujtahid, ahli senjata, dan syarat lain yang memiliki dalil yang tegas.
Adapun pengangkatan khalifah adalah dengan metode baiat, kaum muslim membaiat calon khalifah untuk memerintah mereka dengan Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan Rasul saat menerima baiat dari kaum muslim saat akan mendirikan Daulah Islam pertama di Madinah.
Masalah baiat ini tercantum dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12. Allah berfirman,
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا جَاۤءَكَ الْمُؤْمِنٰتُ يُبَايِعْنَكَ عَلٰٓى اَنْ لَّا يُشْرِكْنَ بِاللّٰهِ شَيْـًٔا وَّلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِيْنَ وَلَا يَقْتُلْنَ اَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِيْنَ بِبُهْتَانٍ يَّفْتَرِيْنَهٗ بَيْنَ اَيْدِيْهِنَّ وَاَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِيْنَكَ فِيْ مَعْرُوْفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang lain maka terimalah janji setia mereka.”
Pemilihan Khalifah pada Masa Khulafaurasyidin
Prosedur pencalonan khalifah pada masa khulafaurasyidin berbeda-beda, tetapi tetap dengan metode baiat. Pascawafatnya Rasulullah, kaum muslim berdiskusi di Saqifah Bani Saidah, mereka berdiskusi siapakah calon pengganti Rasul, adapun orang yang dicalonkan pada waktu itu, yakni Saad, Abu Ubaiah, Umar, dan Abu Bakar. Namun, Umar dan Abu Ubaidah mundur karena tidak mau bersaing dengan Abu Bakar hingga tersisalah Abu Bakar dan Saad. Atas hasil diskusi dari kaum muslim, dipilihlah Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Rasulullah. Keesokan harinya, kaum muslim berkumpul di Masjid Nabawi dan membaiat Abu Bakar.
Saat Abu Bakar sakit dan merasa sakitnya akan mengantarkan kepada ajal, Abu Bakar mulai meminta pendapat kaum muslim terhadap calon khalifah selanjutnya, pengumpulan pendapat ini berlangsung selama tiga bulan sampai akhirnya Abu Bakar mendapat kesimpulan atas pendapat mayoritas. Abu Bakar pun mencalonkan Umar. Saat Abu Bakar wafat, kaum muslim pun membaiat Umar.
Pada akhir masa kepemimpinan Umar. Umar menunjuk enam calon yang akan menjadi pengganti dirinya. Umar menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan memimpin enam orang tersebut hingga terpilih seorang khalifah dalam jangka waktu tiga hari.
Abdurrahman bin Auf kemudian mengundurkan diri dan bertanya kepada calon lain, siapakah di antara mereka yang lebih berhak menjalankan amanah kekhalifahan. Lalu mengerucutlah pencalonan kepada dua orang, yakni Utsman dan Ali. Kemudian Abdurrahman mulai meminta pendapat kaum muslim, mendatangi mereka baik pada pagi, siang, maupun malam dan terpilihlah Utsman menjadi khalifah. Bakda subuh pada esok harinya, sempurnalah pembaiatan Utsman oleh masyarakat.
Saat Utsman wafat, mayoritas kaum muslim condong kepada Ali. Lalu dibaiatlah Ali oleh kaum muslim untuk menjadi khalifah.
Dari meneliti kisah para khulafaurasyidin, jelas terlihat bahwa seluruh calon khalifah telah memenuhi syarat wajib seorang pemimpin. Kemudian, diambillah pendapat dari orang-orang yang merepresentasikan kaum muslim. Siapa saja yang dikehendaki mayoritas penduduk maka ia yang akan dibaiat oleh kaum muslim untuk menjadi khalifah.
Saat Khilafah Islamiah tegak kembali di muka bumi nanti, mekanisme pemilihan khalifah bisa merujuk pada kisah khulafaurasyidin, yakni memilih mereka yang memenuhi syarat wajib ataupun syarat keutamaan. Lalu, masyarakat akan dimintai pendapat atas calon-calon khalifah yang ada. Pendapat mayoritas akan menentukan siapa khalifah terpilih. Jangka waktu pemilihan pemimpin ini sangat singkat, yakni tiga hari.
Khatimah
Pemilihan presiden oleh MPR sama sekali tidak akan menghilangkan praktik politik uang. Ini karena permasalahannya bukanlah pada mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung, melainkan penerapan demokrasi.
Berbeda dengan demokrasi, pemilihan pemimpin yang diatur oleh syariat Islam telah mencegah praktik politik uang dalam sistem pemerintahannya, baik dari sisi kriteria calon maupun batas waktu kekosongan pemimpin. Oleh karena itu, jika ingin terbebas dari praktik politik uang, umat harus beralih dari demokrasi menuju penerapan Islam kaffah di bawah panji Khilafah Islamiah.
Wallahua'lam bishawab. []
#MerakiLiterasiBatch2
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah
Amien Rais pernah juga melontarkan gagasan Indonesia menjadi negara federasi. Beliau seharusnya kembali merujuk pada Islam, lengkap di dalamnya. Mulai dari syarat, proses, dan peranannya. Tetap tidak akan mengubah meski pemilihan kembali ke era orla.