Istilah tertiary education mencuat, dampaknya merembet ke hal paling pokok dari pendidikan itu sendiri, yakni sebagai hak asasi warga negara.
Oleh. Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Kontributor NarasiPost.Com, Dosen, dan Pemerhati Sosial)
NarasiPost.Com-Publik dibuat ramai oleh ungkapan seorang pejabat tinggi negeri yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier atau tertiary education. Ungkapan ini pun menjadi trending topik di semua platform media sosial. Terlontar di saat masyarakat heboh terkait meroketnya UKT di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Beraneka problem pendidikan akhirnya terkuak satu demi satu. Ada apa dengan sistem pendidikan saat ini?
Banyak pihak angkat bicara terkait hal ini. Beragam tanggapan terus menggelinding di ruang-ruang publik. Banyak yang kontra, tetapi tidak sedikit pula yang pro. Diksi tersier ditarik ke sana kemari sesuai pemahaman dan kepentingan masing-masing. Istilah tertiary education pun akhirnya menjadi bahasan yang menarik untuk dikaji. Dampaknya merembes ke hal paling pokok dari pendidikan itu sendiri, yakni sebagai hak asasi setiap warga negara.
Apa yang terjadi hari ini adalah akumulasi dari semrawutnya pengelolaan sistem pendidikan di negeri ini. Tujuan pendidikan nasional dan implementasi di lapangan, seolah disconnect. Kondisi ini tidak bisa dimungkiri. Realitas sulitnya akses pendidikan, makin hari kian tampak jelas. Baik itu terkait prasarana dan sarana, maupun dari aspek pembiayaan. Rakyat harus menelan pil pahit dari penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalis di bawah asuhan sistem kapitalisme.
Bukan Tertiary Education
Jika merujuk pada Undang-Undang 1945 alinea ke-4, terdapat kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan tujuan pendidikan nasional yang menggambarkan cita-cita bangsa Indonesia untuk mendidik dan menyamaratakan pendidikan ke seluruh penjuru Indonesia agar tercapai kehidupan berbangsa yang cerdas. Namun, ibarat pungguk merindukan bulan adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Pendidikan yang menjadi hak dasar setiap rakyat, seyogianya diwujudkan oleh negara dalam bentuk pelayanan yang murah dan mudah. Terlebih Indonesia akan menyongsong bonus demografi. Generasi emas 2045 yang dicanangkan penguasa, jangan sampai hanya utopis. Bagaimana tidak, berbagai kebijakan dalam sistem pendidikan hari ini seakan hanya untuk kalangan berduit. Menyiutkan nyali rakyat jelata. Misal UKT yang melonjak hingga 500 kali lipat.
Diperparah dengan polemik tertiary education. Walau penguasa berdalih istilah tersier bermakna bahwa PT adalah pendidikan tersier setelah pendidikan dasar dan menengah. Namun, fakta tak terbantahkan bahwa pendidikan saat ini adalah barang mewah selayaknya kebutuhan tersier. Indikasi tersebut sudah dirasakan jauh hari sebelumnya. Mahalnya biaya pendidikan menegaskan kondisi tersebut.
Dikutip dari laman https://www.eposdigi.com/2024/03/11/opini/menelanjangi-problematika-mahalnya-biaya-pendidikan-di-indonesia/, kalkulasi data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, rata-rata biaya pendidikan per siswa per tahun di Indonesia adalah Rp6.345.000 untuk SD, Rp8.712.000 untuk SMP, Rp11.895.000 untuk SMA, Rp24.354.000 untuk perguruan tinggi. Kalkulasi biaya ini belum termasuk biaya transportasi, biaya seragam, buku, dan kebutuhan hidup lainnya.
Inilah potret buram sistem pendidikan dalam sistem kapitalisme. Sistem yang lahir dari rahim sekularisme meniscayakan berbagai kerusakan yang berujung kesengsaraan. Bahkan, jika dianalisis secara mendalam akan ditemui beragam kemaksiatan. Solusi pragmatis yang ditempuh penguasa malah menimbulkan petaka. Misal dengan opsi student loan yang sangat jelas menyengsarakan karena melanggar aturan Sang Pencipta.
Sistem Pendidikan Mumpuni
Islam memiliki seperangkat aturan yang sangat detail dan unik, termasuk di dalamnya pengelolaan sistem pendidikan. Tujuan pendidikan berdasar akidah Islam yang melahirkan generasi berkepribadian Islam, memiliki pola pikir dan pola sikap islami. Hal ini terbukti dengan lahirnya ilmuwan muslim dengan kualitas emas, seperti Muhammad bin Idris Asy Syafi’i atau lebih masyhur dengan nama Imam Asy Syafi’i, Al-Khawarizmi , Ibnu Sina, Ibn al-Haytham, Al-Zahrawi, dan segudang ilmuwan hebat lainnya.
Kondisi di atas dimungkinkan karena pendidikan dalam Islam merupakan salah satu kebutuhan dasar publik (selain kesehatan dan keamanan) yang wajib dipenuhi negara. Artinya, negara wajib memaksimalkan seluruh support system untuk memenuhinya. Di antaranya adalah memastikan pos keuangan di baitulmal kaum muslimin aman dan tercukupi.
Instrumen negara terkait biaya pendidikan. Negara akan memungut biaya yang sangat murah bahkan gratis. Hal ini karena paradigma pendidikan dalam sistem Islam bahwa ilmu bukan komoditas, tetapi ilmu adalah jiwa kehidupan. Paradigma tersebut terimplementasi dalam keseluruhan perangkat pendidikan; mulai dari prasarana dan sarana, kurikulum, kesejahteraan pendidik/guru, dll.
Terkait pembiayaan, negara mengelola harta kepemilikan umum berdasar syariat. Tersebab semua aktivitas harus terikat dengan hukum syarak, termasuk muamalah. Sumber daya alam yang melimpah di negeri-negeri muslim akan dikelola secara mandiri dan berdaulat. Hasilnya akan dikembalikan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi.
Inilah sekelumit gambaran pengelolaan sistem pendidikan dalam Islam. Kondisi ini akan tercapai jika sistem Islam diterapkan oleh sebuah negara. Negara super power yang pernah dicontohkan oleh Rasullullah saw. dan para sahabat sepeninggal Beliau. Terukir dengan tinta emas sepanjang sejarah selama 1300 tahun melingkupi 2/3 belahan dunia.
Allah Swt. sudah mengingatkan dalam QS. Al-Ma’idah ayat 50 yang artinya: Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?
Wallahu a’lam bish-showaab. []
Hmmm, bagaimana generasi muda Indonesia mau maju, kalau pendidikannya justru makin dimahalkan. Sudah ini mhe dibilang bahwa pendidikan hanya bagi mereka yang berduit, rakyat menengah ke bawah harus gigit jari. Makin rindu dengan sistem Islam