Mereka hendaknya memahami dan mengaplikasikan hakikat ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari, yaitu persatuan umat dan taat syariat.
Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Berduyun tamu Allah memenuhi undangan-Nya. Semua berharap ibadahnya mabrur, maka kemaksiatannya pun dikubur. Namun, bukankah ada kewajiban berjuang sekembalinya pulang?
Dilansir dari wonosobokab.go.id (14-5-2024), rombongan Calon Jemaah Haji (CJH) Kabupaten Wonosobo telah diberangkatkan oleh Bupati Wonosobo pada tanggal 13 dan 14 Mei 2024 dari halaman Pendopo Bupati. Saat pelepasan CJH, Bupati Wonosobo Afif Nurhidayat berharap agar semua sehat walafiat, pulang kembali juga sehat, dan menjadi haji yang mabrur. Ia juga berpesan agar CJH Kabupaten Wonosobo dapat mengikuti aturan yang ada sehingga dapat menjalankan ibadah haji dengan sempurna.
Berkenaan dengan itu, Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Wonosobo, Slamet Faizi, menyebutkan bahwa rombongan CJH Wonosobo berjumlah 19 bus. Sembilan belas bus ini terdiri dalam 3 kloter, yaitu kloter 11 berjumlah 3 bus yang berangkat Senin, 13 Mei 2024 pukul 10.00 WIB. Setelah itu, kloter 12 sebanyak 9 bus berangkat Selasa, 14 Mei 2024 pukul 01.00 dini hari, sedangkan kloter 13 ada 7 bus, dan berangkat di hari yang sama pukul 03.45 dini hari.
Ibadah Haji
Ibadah haji bukan sekadar ibadah yang membutuhkan kekuatan mental dan keimanan yang sempurna, tetapi juga harta yang banyak, serta fisik yang sehat. Tak heran, ibadah haji memiliki keutamaan yang besar, bahkan haji yang mabrur disejajarkan dengan jihad fi sabilillah. Sebuah riwayat mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang amal yang paling utama. Nabi saw. pun menjawab,
إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Mengimani Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, 'Kemudian apa lagi?' Beliau menjawab, 'Jihad di jalan Allah.' Ada yang bertanya kembali, 'Kemudian apa lagi?' Beliau kembali menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu, wajar jika setiap jemaah berharap bisa kembali menjadi haji yang mabrur. Sebaliknya, betapa ruginya seseorang yang menjalankan ibadah haji, sudah mengeluarkan banyak harta, waktu, dan tenaga, tetapi sia-sia atau tidak mendapat predikat mabrur.
Haji Mabrur
Haji mabrur itu, bahwasanya ketika saat di Arafah mampu menguliti segala kemaksiatan dan kemungkaran yang ada pada diri sendiri. Kemudian, ia pun akan melakukan lempar jumrah sebagai refleksi dari melemparkan segala kemaksiatan dan kemungkaran di masa lalu. Setelah itu, ia pulang dengan jiwa yang baru. Dengan kata lain, predikat mabrur hanya bagi orang yang tidak bermaksiat ketika berhaji maupun setelahnya. Setelah selesai melakukan ibadah haji, ia akan zuhud terhadap dunia, dan hidup semata-mata untuk menggapai surga dengan bertakwa kepada Allah Swt..
Oleh sebab itu, tidak pantas seseorang mendapatkan predikat haji mabrur jika selama menunaikan ibadah haji melakukan tindakan kemungkaran, seperti berangkat dengan uang haram, misalnya hasil riba, suap, korupsi, mencuri dan lain-lain. Ia pun tidak patut mendapatkan status haji mabrur jika sekembalinya ibadah haji, justru berulang menceburkan diri dalam kemaksiatan.
Di antara kemaksiatan itu adalah acuh terhadap syariat, tidak peduli pada hukum-hukum Allah Swt., Juga abai terhadap halal haram. Tak hanya itu, kemaksiatan juga bisa berupa memusuhi ajaran Islam, berpihak pada orang-orang yang mendiskreditkan Islam dan ajarannya, menghalang-halangi dakwah penerapan syariat Islam. Bahkan, kemaksiatan bisa dengan berkolaborasi dengan korporasi dalam menguasai aset-aset yang sejatinya milik rakyat seperti hutan, hasil tambang, dan sumber daya alam lainnya.
Haji dalam Dimensi Politik
Menjalankan ibadah haji tidak sekadar menunaikan rukun Islam yang kelima atau yang terakhir, tetapi ibadah haji sarat dengan aktivitas politik. Hal ini sesuai dengan pesan-pesan Rasulullah pada saat melakukan haji wada. Dalam haji wada, Rasulullah saw. menyampaikan beberapa pesan politik.
Di antaranya pada Hari Nahr, Rasulullah saw. berkhotbah dengan nasihat yang mendalam. Dari Ibnu Abbas Ra. dan yang lainnya, Rasulullah saw. mengatakan,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فَأَعَادَهَا مِرَارًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian, haram seperti sucinya hari kalian ini di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini. Beliau ulang beberapa kali. Kemudian beliau mendongakkan kepalanya dan berdoa, Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan?" (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini mengingatkan pada kaum muslim bahwa harus memiliki pemimpin yang menjaga jiwa-jiwa kaum muslim agar tidak terbunuh, dan menjaga kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) milik rakyat. Pemimpin itu juga harus mampu menjaga kedaulatan dan kehormatan bangsa dan negara dengan tidak tunduk pada aturan-aturan dan standar penilaian dari asing.
Selain itu, kaum muslim harus menjaga persatuan dan kesatuan berdasarkan ideologi Islam. Hal ini karena persatuan dan kesatuan bagi umat muslim adalah berlandaskan akidah Islam. Walaupun berbeda-beda bangsa, warna kulit, beda bahasa, beda budaya, etnis, golongan, organisasi, atau bahkan berbeda mazhab, tetapi tetap satu, yaitu berakidah Islam dengan satu kepemimpinan. Hal ini tercermin ketika kaum muslim salat, walaupun berbeda-beda tetapi harus meluruskan dan merapatkan shaf, kemudian mengikuti gerakan imam.
Selain itu, kita bisa melihat bagaimana jamaah haji melakukan tawaf. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, mereka melakukan gerakan yang sama, yaitu searah berlawanan dengan jarum jam. Bahkan, lafaz yang diucapkan dan pakaian yang dikenakan pun sama. Ketika ada satu saja yang menyelisihi aturan Islam tersebut, tentu akan terjadi kekacauan dan kerusakan yang besar. Jemaah haji juga akan berada di tempat dan waktu yang sama, yaitu pada 9 Zulhijah di Padang Arafah. Ketika seseorang tidak melakukannya, artinya ia tidak menyempurnakan ibadah hajinya.
Demikianlah sejatinya persatuan umat Islam, yaitu tunduk pada satu aturan yang sama, yang berasal dari Allah Swt., juga memiliki satu pemimpin yang menerapkan seluruh hukum-hukum Islam. Rangkaian ibadah haji menjadi pelajaran penting bagi umat Islam bagaimana mestinya bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Walaupun latar belakangnya berbeda-beda, tetapi umat muslim memiliki satu ikatan yang tidak bisa ditawar, yaitu mesti memiliki pemikiran dan perasaan yang diikat akidah Islam, serta hidup semata-mata untuk mengabdi kepada Allah Swt., yakni menegakkan syariat atau hukum-hukum Allah Swt..
Adapun dalam pelaksanaan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tentu harus sesuai dengan aturan dan standar dari Allah Swt. semata. Oleh karenanya, tak heran ketika ada kebijakan yang tidak sesuai dengan syariat, maka kekacauan dan berbagai permasalahan kehidupan akan terus bermunculan di masyarakat.
Penyematan Gelar Haji
Gelar haji atau hajah merupakan kebanggaan bagi umat Islam di Indonesia, bahkan tak jarang ada yang tidak terima jika tidak dipanggil dengan sebutan haji. Namun, gelar haji tentu tidak ada dalam tuntunan Islam, bahkan tidak ada juga dalam tradisi agama Islam. Dikutip dari http://cnbc.com (30-5-2023), mulanya gelar haji dipopulerkan oleh kolonial Belanda atau pemerintahan Hindia Belanda saat itu.
Di balik penyematan gelar haji, sejatinya ada sejarah kelam bagi umat Islam. Pada abad ke 18 yang lalu, kolonial Belanda yang saat itu menguasai Nusantara senang jika banyak yang akan melakukan ibadah haji ke Makkah. Hal ini karena mereka diuntungkan dengan kapal-kapalnya yang makin laris. Namun, kolonial Belanda melihat bahwasanya setiap orang yang pulang dari ibadah haji, mereka mampu memobilisasi rakyat di akar rumput untuk melakukan pemberontakan terhadap penjajahan Belanda.
Oleh karena itu, pemerintahan Hindia Belanda melakukan pembatasan dengan mempersulit syarat-syarat yang ditetapkan bagi siapa saja yang akan melakukan ibadah haji. Tak hanya itu, mereka menaikkan tarif kapal. Sayangnya, peminat ibadah haji justru makin banyak.
Akhirnya, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan sertifikasi bagi orang-orang yang pulang dari Makkah. Mereka diuji perihal ibadah haji dan pemahamannya tentang Islam. Jika lulus, mereka diberi label haji di depan namanya. Mereka juga diharuskan memakai baju putih, jubah ihram, dan sorban putih dalam kesehariannya.
Bagi kolonial Belanda, semua itu bertujuan untuk mengidentifikasi siapa saja orang muslim yang memiliki kesadaran anti penjajahan atau kolonialisme. Belanda juga mudah mengenali orang-orang yang memiliki kesadaran, bahwa umat Islam di seluruh dunia harus terikat pada satu ikatan akidah yaitu akidah Islam, atau satu ideologi, yaitu ideologi Islam sebagaimana dalam praktik ibadah haji. Dengan demikian, jika ada pemberontakan anti penjajahan dan kolonialisme, maka Belanda berasumsi bahwa tidak perlu mencari biang keroknya. Belanda tinggal menciduk para haji di daerah tersebut.
Amal Perjuangan Setelah Berhaji
Dari ulasan di atas, maka sudah seharusnya seseorang yang pernah melakukan ibadah haji, tidak sekadar bertobat dan meninggalkan maksiat tetapi lebih dari itu. Mereka hendaknya memahami dan mengaplikasikan hakikat ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari, yaitu walaupun umat Islam berbeda-beda tetapi tetap menjalin satu ikatan, yakni akidah Islam, satu misi yaitu memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Islam.
Hal ini akan mudah direalisasikan jika umat memiliki pemimpin yang mendukung gerakan perjuangan Islam. Namun, karena pemimpin saat ini justru mendukung ide-ide penjajah, maka menjadi kewajiban setiap muslim untuk terus mendakwahkan agar hukum syariat tegak terlaksana. Inilah amalan yang sejatinya tidak kalah keutamaannya dari haji mabrur. Rasulullah saw. bersabda,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
"Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim." (HR. Abu Dawud)
Selain itu, sepulang dari ibadah haji, seseorang juga mesti menyadari bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh. Jika ada satu yang disakiti atau dijajah, maka yang lain wajib membela. Ketika umat Islam dari seluruh penjuru dunia tidak bersatu dalam kepemimpinan, peraturan, maupun perjuangan berdasarkan syariat Islam, maka umat muslim hanya akan menjadi bulan-bulanan kaum penjajah.
Demikianlah makna ibadah haji. Bahwasanya, pergi dengan membuang maksiat, dan pulang untuk memperjuangkan tegaknya syariat.
Wallahua'lam bisshawab.
Tulisan yang bagus. Ternyata ada sejarah di balik penyematan gelar haji di Indonesia.
MaasyaaAllah, judulnya nyundul. Pergi membuang maksiat, pulang pejuang syariat. Betul, haji bukan sekadar ibadah ritual melainkan harus berdampak setelah pulang berhaji. Menjadi penyeru amar makruf nahi munkar
Masyaallah tabarakallah
Haji sejatinya menjadi ajang persatuan dan kesatuan umat dalam ikatan yg satu. Satu pemikiran, satu perasaan dan satu ikatan akidah. Haji menjadikan seorang hamba makin tunduk pd ketaatan hukum syarak secara totalitas. Pergi haji buang maksiat pulang haji perjuangkan syariat. Sepakat mb Indrarini. Mencerahkan naskah kerennya. Sukses dunia akhirat.