Korupsi menjerat DPR merupakan buah dari ideologi kapitalisme, sebab semua kebijakan disandarkan pada kekuasaan tertinggi yakni akal manusia.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Korupsi masih menjadi masalah yang terus menggurita di negeri ini. Hampir tidak ada tempat yang bersih dari aktivitas ini. Kabar terbaru kasus korupsi datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah lima lokasi yang berbeda dan sekaligus kantor Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI atas dugaan penggelapan dana barang dan jasa pada rumah dinas anggota DPR RI.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan bahwa dalam penggeledahan tersebut, KPK menemukan sejumlah barang bukti, mulai dari dokumen dan transaksi keuangan. Bukti ini diduga berkaitan dengan pengerjaan proyek, bukti elektronik, serta bukti transfer keuangan yang diduga berkaitan erat dengan dugaan kasus penggelapan dana rumah dinas (kompas.com, 02/05/2024).
Korupsi Membudaya
Korupsi seakan telah membudaya di kalangan para pejabat negeri ini. Bagaimana tidak, dari Indonesia dalam bentuk Nusantara yang terbagi-bagi menjadi beberapa kerajaan sampai saat ini, masalah korupsi masih terus dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Dahulu, pada masa pemerintahan Pangeran Diponegoro banyak terjadi praktik penyelewengan kontrak dan mark up lewat penjarahan hasil bumi. Para pribumi mulai memperkaya diri sendiri dengan melakukan korupsi. Puncaknya Pangeran Diponegoro marah kepada patih Yogya Danurejo karena menjual tanah kepada orang Eropa. Hal ini dilakukan untuk memperkaya dirinya.
Kini, Indonesia menjadi negara berkembang, perilaku tersebut makin menjadi-jadi, bahkan kasusnya terus menggurita bak jamur di musim hujan. Hampir sebagian besar pejabat negeri ini tidak lepas dari kejahatan tersebut. Bahkan, kejahatan ini dianggap sebagai perilaku yang biasa bagi sebagian mereka, padahal korupsi merupakan sebuah kejahatan yang dapat merugikan seluruh negeri ini dan membuat negara bangkrut.
Sebuah data dari Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bahwa sejak 2004 sampai Juli 2023, kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan DPRD sebanyak 344 kasus. Kategori ini menempati urutan ketiga setelah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta yaitu 399 kasus dan pejabat eselon I-IV yaitu 349 kasus (kpk.go.id, 23/10/2023).
Sungguh miris melihat wakil rakyat yang harusnya mengurusi urusan rakyat, menciptakan kesejahteraan, dan harusnya menjadi contoh bagi masyarakat agar berperilaku baik dan jujur justru terjerat dengan kejahatan yang merugikan negara. Mereka berusaha untuk memperkaya diri sendiri dan tega mengorbankan nasib rakyatnya sendiri. Mereka hidup dengan bergelimang harta, sedangkan rakyat harus terlunta-lunta karena kelaparan. Lantas, apa jadinya negeri ini ketika wakil rakyatnya justru menjadi dalang sebuah kejahatan? Di mana para penegak hukum yang harusnya menegakkan keadilan justru mereka yang harus diadili akibat sebuah kejahatan.
Mengapa Korupsi Terus Terjadi?
Jack Bologna merangkum sebuah teori yang menjadi faktor dari penyebab seseorang melakukan korupsi, teori tersebut yakni Gone Theory atau Teori GONE. Teori GONE sendiri merupakan kepanjangan dari Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Teori ini pun memang benar adanya, apalagi didukung dengan diterapkannya sistem kapitalisme yang tidak mampu memberantas korupsi, tetapi justru menyuburkannya. Sebagaimana disebutkan pada teori GONE di atas, korupsi terjadi karena adanya Greedy (keserakahan) pada diri manusia. Sistem kapitalisme yang berasas pada materi membuat para pemimpin negeri ini justru memiliki sifat tamak dan serakah.
Sifat serakah ini mendorong seseorang untuk tidak lagi memperhitungkan halal dan haram untuk mencari rezeki. Dalam benak mereka hanya ada pikiran bagaimana cara mendapatkan harta yang banyak dengan berbagai cara. Alhasil, amanah kepemimpinan yang harusnya untuk meriayah urusan rakyat justru dijadikan sebagai ladang untuk mencari cuan. Mereka tidak pernah puas dengan besaran gaji yang diberikan oleh negara. Padahal, menurut berbagai sumber gaji para pemangku kebijakan sangatlah besar, bahkan ditambah dengan berbagai tunjangan yang begitu fantastis. Namun, tetap saja masih mencari harta rakyat untuk memperkaya diri.
Kemudian, sifat serakah inipun juga terjadi karena adanya sebuah Opportunity (kesempatan). Sistem kapitalisme memberikan peluang besar bagi seseorang untuk melakukan tindak kejahatan korupsi. Sebab, pengawasan dalam sistem ini begitu lemah dan terbatas. Alhasil, kesempatan dalam melakukan korupsi terbuka lebar.
Sifat serakah dan adanya peluang besar telah menciptakan katalisator untuk melakukan korupsi itu juga diakibatkan karena adanya sebuah Need (kebutuhan). Namun, kebutuhan di sini bukanlah kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (sandang, pangan, papan) secara wajar, melainkan lebih kepada gaya hidup yang konsumtif seperti membeli barang-barang mewah, jalan-jalan ke luar negeri, dan gaya hidup glamor lainnya. Gaya hidup ini tanpa dibarengi adanya pemasukan yang banyak akan membuat seseorang melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan kekayaan. Lagi-lagi dorongan tersebut juga akibat adanya sistem kapitalisme yang membuat individu masyarakat lebih mencari kesenangan dunia yang fana tanpa mempedulikan halal dan haram. Mereka tidak lagi takut akan dosa di akhirat kelak. Alhasil, tindakan korupsi pun dilakukan untuk memperkaya diri.
Kemudian yang terakhir adanya Exposure (pengungkapan) dari negara yang begitu lemah dan tidak memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun orang lain. Penindakan kasus korupsi sering kali hanya berakhir dalam jeruji besi. Bahkan, terungkap kehidupan mereka di balik jeruji besi begitu mewah, bak hidup di hotel bintang lima. Penjara mereka dipenuhi dengan fasilitas mewah seperti adanya sofa, tempat tidur mewah, AC, toilet, dan sebagainya. Makanan mereka pun berbeda dengan para tahanan lainnya. Lantas, bagaimana para koruptor dan orang lain bisa jera akan hukuman tersebut?
Jamak diketahui bahwa hukuman dalam sistem kapitalisme memang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sistem hukum bisa dimainkan oleh siapa pun yang memiliki harta, tahta, dan kekuasaan. Oleh karena itu, wajar saja sistem sanksinya tidak bisa membuat efek jera bagi pelaku kriminalitas dan kejahatan. Hukuman tersebut justru menyumbang mengguritanya kriminalitas dan kejahatan, termasuk kasus korupsi.
Sistem Islam Mencegah Korupsi
Kehadiran Islam sebagai agama terakhir di bumi ini sejatinya bukan hanya sebagai agama ritual saja. Akan tetapi, dia juga sebagai seperangkat aturan untuk mengatur urusan manusia dan memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang membelit mereka, termasuk korupsi.
Islam yang diterapkan dalam seluruh sendi kehidupan manusia dalam bingkai Khilafah Islamiah mampu membawa manusia pada kehidupan yang sejahtera dan penuh berkah. Sebagaimana Allah berfirman:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan atas mereka sebuah keberkahan dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-Araf: 97)
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh Khilafah untuk mencegah mengguritanya korupsi, yakni sebagai berikut:
Pertama, negara selaku penanggung jawab urusan rakyatnya wajib mendorong setiap individu rakyatnya agar memiliki ketaatan kepada Allah Swt. Kesadaran akan keberadaan Allah yang selalu mengawasi mereka dan kesadaran akan setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak adalah benteng utama untuk manusia dalam berperilaku. Mereka akan senantiasa menimbang setiap perbuatan yang mereka lakukan, apakah itu wajib, sunah, mubah, makruh, atau justru haram.
Di sisi lain, dengan pembentukan kepribadian Islam dalam diri individu, maka masyarakat tidak akan mengikuti gaya hidup hedonis dan tidak tergila-gila dengan kesenangan dunia yang fana. Kehidupan mereka hanya fokus menggapai rida Allah sebagai bekal menuju kepada kehidupan yang kekal, yakni surga atau neraka. Dengan ini akan terbentuk orang-orang yang mengemban amanah rakyat dengan adil dan jujur.
Kedua, pemilihan para pemangku kebijakan berdasarkan pada syariat Islam. Kriterianya yakni orang-orang yang taat kepada Allah (muslim), laki-laki, berakal, adil, jujur, dan amanah. Pemilihan dalam sistem Islam tidak ruwet seperti pemilihan dalam sistem kapitalisme. Standar kepemimpinan dalam Islam adalah kesejahteraan rakyat. Kepemimpinan adalah sebuah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat, sehingga para penguasa akan mengemban amanah tersebut dengan baik, karena sedikit saja terjadi kesalahan maka akan membuat mereka tergelincir ke dalam kemurkaan Allah.
Ketiga, khalifah akan membentuk badan pengawas yang menghitung harta kekayaan para pejabat negara sebelum dan sesudah menjabat. Ketika terjadi selisih dari harta tersebut, maka akan diselidiki dan dimintai kejelasan asal harta tersebut. Apalagi terbukti terjadi penyelewengan dana, khalifah akan memberikan sanksi sesuai syariat Islam.
Pengawasan ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Al-Khattab yang menunjuk Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas kekayaan para pejabat negara sebelum dan sesudah mereka menjabat.
Keempat, ketika semua hal itu dilakukan dan masih terjadi korupsi, maka khalifah akan menegakkan sistem sanksi yang menjerakan, baik bagi pelaku maupun orang lain. Sistem sanksi ini tidak pandang bulu, entah mereka elite politik, kerabat khalifah, maupun siapa pun yang terbukti melakukan korupsi akan mendapatkan hukuman.
Hukuman bagi pelaku korupsi dalam Islam yaitu takzir. Hukuman ini diserahkan kepada ijtihad khalifah atau seorang qadhi. Hukuman ini bisa berupa penjara hingga hukuman mati sesuai dengan peninjauan hukum Islam. Kemudian, selain mendapatkan sanksi melalui qadhi atau khalifah, seorang koruptor juga mendapatkan sanksi sosial yakni dipublikasikan bahwa dia seorang perampok uang negara. Ini sebagai bentuk efek jera, bagi dirinya dan orang lain. Dengan penerapan Islam dalam segala sendi kehidupan, korupsi akan dapat diberantas secara tuntas.
Khatimah
Korupsi menggurita di negeri ini dan menjerat DPR merupakan buah dari ideologi kapitalisme, sebab semua kebijakan disandarkan pada kekuasaan tertinggi yakni akal manusia. Padahal, akal manusia adalah lemah, terbatas, dan serba kurang. Bahkan, cenderung mengikuti hawa nafsunya.
Oleh karena itu, tiada yang mampu memberantas korupsi kecuali ditegakkannya Islam secara kaffah dalam sendi kehidupan manusia ini.
Wallahu a'lam bissawab. []
Miris sekaligus kesel ya dengan perilaku korup para pejabat. Yang lebih heran, gak ada kata kapok dalam kamus hidup mereka
Saya juga baru tahu ada teori GONE
Yang ga habis pikir itu sdhlah korupsi eh sik dibelani sama rakyat. Subhanallah...piye ya pikirane
Baru tahu ada teori GONE 🙂 Korupsi memang harus di babat habis sampai ke akar²nya !
Sudahlah merampok uang rakyat menyejajarkaan diri sebagai Tuhan membuat hukum ....Astagfirullah
Dikasih tau ngeyel lagi
Wakil Rakyat, ternyata ketahuan menggarong uang rakyat. Miris
Iya mbak. Terus rakyat harus ke mana mengadunya kalau wakil rakyatnya justru yang merampok.