Habis Zara Terbitlah Zita, Secularism Their Inspires

Habis Zara Terbitlah Zita,Secularism Their Inspires

Mereka mudah melepaskan identitas keislamannya adalah hasil dari pendidikan Barat dengan kurikulum sekulernya

Oleh. Ika Misfat Isdiana
(Kontributor NarasiPost.Com & Staf pengajar HSG BIM Aliyah Jember)

NarasiPost.Com-Suasana pasca Lebaran memang penuh dengan gempita kebahagiaan. Orang-orang kembali berjibaku dengan rutinitas hariannya. Bulan April yang tanggal 21-nya membawa spirit Kartini, semakin tersulut dengan kemunculan publik figur yang sensasional. Pasalnya mereka sama-sama perempuan seperti halnya ibunda Kartini dan mereka juga mem-publish spirit kebebasan. Semangat yang menurut versi sekularisme harus ditumbuhsuburkan di momen tersebut.

Kebebasan individu dalam berekspresi tidak boleh dibatasi, dikekang, apalagi dimusnahkan. Karena negara sekuler menjamin penuh keberadaan spirit tersebut.

Nama Zara seorang anak pejabat daerah di Indonesia mencuat karenanya. Dia adalah seorang mahasiswi yang memutuskan untuk kuliah S-1 Arsitektur di Newcastle University, Inggris. Kabar yang membuatnya menjadi perbincangan publik adalah karena menanggalkan penutup kepala yang diklaim sebagai kerudung. Zara pun mem-publish keputusannya untuk kembali memperlihatkan rambut dan kepalanya. Menurutnya hal itu adalah hasil pemikiran panjang yang cukup pelik baginya. Akhirnya tindakan tersebut menuai sorotan banyak pihak.

Tak berselang lama, setelah tampak memperlihatkan rambut yang disemir kala momen Idulfitri. Zara kembali disorot. Saat ia memamerkan kudapan bermerk McD ke sosial medianya. Produk yang diboikot oleh mayoritas muslim dunia bahkan nonmuslim itu Zara unggah tanpa rasa sungkan. Tindakan Zara yang notabene muslim tersebut melukai solidaritas ukhuwah di tengah-tengah umat muslim Indonesia.

Selain persoalan pakaian dan makanan yang Zara konsumsi. Publik juga pernah dikejutkan saat gadis itu menunjukkan buku bacaannya, buku Sapiens yang ditulis oleh Yuval Noah Harari, penulis dari Israel. Buku itu sarat dengan pemikiran ala Barat yang bertentangan dengan paradigma Islam secara mendasar.

Zara Bukan Satu-Satunya

Benar sekali, Zara bukanlah satu-satunya muslimah yang terciduk melepas identitas muslimnya. Bahkan setelahnya ada Zita yang juga melakukan hal yang sama, yakni melepaskan kerudungnya pasca momen pemilu. Kerudung tidak lagi memiliki makna sakral. Ia tidak lebih hanya selembar kain yang bebas dipakai atau tidak oleh empunya. Bahkan, kerudung hanya dianggap salah satu mode penutup kepala yang bisa dikenakan sesuai keadaan dan kepentingan.

Perilaku melepas kerudung tersebut bukanlah hal aneh di negara sekuler liberal saat ini. Karena secara fakta, memang negara Indonesia bukan institusi yang berlandaskan Islam. Negeri ini adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan bahkan yang bertentangan dengan Islam sekalipun. Karenanya tragedi lepas kerudung adalah hal biasa yang terulang.

Bahkan sosok Zita Anjani lebih sarkas lagi, karena ia mempublish foto kopi Starbucks saat ia sedang umrah ke baitullah. Postingan tersebut juga masih bertengger diakun medsosnya. Postingan sensasional tersebut juga tidak kunjung diklarifikasi atau dihapus (viva.co, 28/4/2024).

Sosok Zara dan Zita memiliki karakter yang sama. Yaitu sama-sama menganggap kerudung bukanlah identitas yang wajib dipertahankan, serta minimnya kemampuan empati sosial sebagai seorang publik figur. Yaitu kemampuan untuk menempatkan dirinya pada situasi kekinian yang terjadi, dan merespons situasi yang sensitif tersebut dengan bijak.

Alumni Kurikulum Barat

Kesamaan karakter antara publik figur tersebut, di mana mereka mudah melepaskan identitas keislamannya dan tidak memiliki kemampuan empati sosial terhadap komunitas muslim, adalah hasil dari pendidikan Barat dengan kurikulum sekulernya. Kita ketahui bersama bahwa ZA adalah lulusan Universitasy College London (UCL) Tahun 2014. Sementara Zara juga sedang menempuh pendidikan di Newcastle, Inggris.

Inggris adalah negara kampiun sekularisme dan sempat merajai dunia internasional pada abad 18 M. Inggris menjadi imperium yang berseberangan dengan Turki Ustmani, yang pada masa itu menjadi representasi kekuatan muslim. Bersama dengan Prancis, Inggris menjadi lawan kekuatan muslim dunia.

https://narasipost.com/opini/10/2021/lukisan-buram-wajah-pendidikan-dalam-sistem-kapitalisme/

Dalam sejarah, Prancis berulang kali mencoba melecehkan simbol-simbol Islam dan kemuliaan Islam. Dengan berdalih kebebasan berekspresi, mereka membiarkan aksi teror, sentimen agama, dan diskriminasi terhadap komunitas muslim. Sebagai contoh, berulang kali karikatur melecehkan Rasulullah Muhammad saw. terjadi dan pelakunya dilindungi atas nama HAM. Adanya aksi pembakaran Al-Qur'an, pelecehan terhadap lafaz Allah, pengekangan terhadap muslimah untuk mengenakan hijabnya, bahkan pelarangan aktivitas ibadah ritual tertentu menjadi rahasia umum. Barat menyimpan kebencian terstruktur terhadap umat Islam dan simbol-simbolnya. Karena secara ideologis, sekularisme bertentangan dengan Islam.

Walau saat ini kekuatan Inggris dan Prancis telah tergantikan. Namun, jejak kekuasaan mereka masih ada di bumi Eropa. Seperti penguasaan bahasa Inggris atau Prancis sebagai syarat kuliah di Eropa. Dan kurikulum pendidikannya yang mengacu pada paham liberalisme sekuler. Paham yang bertolak belakang dengan Islam. Dan paham ini masih diemban oleh AS sebagai penguasa dunia setelahnya.

Produk Kurikulum Liberal

Sejatinya dua selebgram di atas adalah produk kurikulum ala Barat, yang secara mendasar dididik menjadi generasi liberal dan sekuler. Sehingga wajar jika mereka menjadi muslim yang tidak menganggap ajaran Islam wajib mereka taati. Karena sikap mereka yang melukai solidaritas ukhuwah tadi adalah kesuksesan didikan kurikulum Barat terhadapnya.


Tentu hal ini menjadi kabar buruk bagi kita semua. Bagaimana mungkin, generasi yang dilahirkan oleh bapak ibu muslim menjadi pembela agenda penjajah? Bagaimana mungkin, generasi yang dibesarkan di lingkungan muslim menjadi sosok yang tidak bangga terhadap agamanya? Tentu hal ini tidak bisa kita biarkan terus-menerus. Tidak sepatutnya kita menjadikan pendidikan di Barat menjadi kiblat pendidikan kita. Sudah seharusnya kita mengupayakan sistem pendidikan Islam yang komprehensif kepada putra putri kita. Agar mereka nantinya bangga dengan keislamannya, bangga dengan identitasnya sebagai muslim. Membanggakan simbol-simbol Islam, menjadi pembela kepentingan umat Islam dan agamanya. Wallahu a'lam. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ika Misfat Isdiana Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pemutus Kelezatan Dunia
Next
Hari Buruh : Berharap Lari pada 'si Lumpuh'?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

5 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
6 months ago

Miris ya pemikiran yang lahir dari sistem sekuler. Kebebasan tanpa batas membuat banyak perempuan melakukan apa pun demi kesenangannya, termasuk membuka aurat.

Netty al Kayyisa
Netty al Kayyisa
6 months ago

Berbangga-bangga dengan maksiat. Jadi contog pulak. Dosa investasi

Siti Komariah
Siti Komariah
6 months ago

Sangat miris melihat kondisi perempuan saat ini. Banyak yang menganggap berhijab itu butuh waktu, padahal kan kewajiban muslimah. Hmmm, produk kapitalisme, kewajiban tak lagi dijadikan identitas mereka.

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
6 months ago

Sekularisme membuat kebebasan makin bebas dan kebablas.

Novianti
Novianti
6 months ago

Miris, ya. Iman memang tudak bisa diwariskan..Kesedihan orang tua tatkala menyaksikan anak-anaknya lepas dari agama disaat tangan mereka sudah sulit menggapai karena langkah anak yang makin jauh.

bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram