Berpikir sebelum berbicara itu penting, sebab ada hal-hal yang perlu dihindari agar tidak terjebak pada kesalahan berbicara atau merespons lawan bicara kita.
Oleh. Bunga Padi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Berpikirlah sebelum berbicara
Apakah itu perlu? Apakah itu baik? Apakah itu benar? Dan lebih penting apakah Allah menyukainya? (Quote nasihat)
Terlepas siapa penulisnya, tapi kalimat di atas sungguh dalam maknanya. Patutlah menjadi bahan renungan bagi kita agar berpikir dan berhati-hati dalam berbicara. Terutama menjadi pengingat bagi diri saya sendiri. Insyaallah.
Pada sebagian orang, bila dibandingkan menulis, berbicara jauh lebih mudah dilakukan. Setiap kata dalam pembicaraan pasti ada maksud dan tujuan yang hendak disampaikan. Baik pembicaraan secara langsung maupun melalui media elektronik atau dunia maya. Saking mudahnya berbicara terkadang lupa memperhatikan apa saja yang boleh dibicarakan. Di sinilah pentingnya berpikir sebelum menyampaikan yang hendak kita sampaikan pada lawan bicara kita.
Disadari atau tidak, terkadang saat berbicara menggunakan kalimat yang tidak pantas, kejadiannya begitu spontan. Ya, boleh dibilang asal jeplak atau asal bicara saja. Entah itu ditujukan kepada orang lain atau diri sendiri. Hal ini karena habits berpikir sebelum bicara tidak pernah dilakukan. Syukur-syukur jika perkataan itu baik, yang mendengarkannya pasti senang dan bahagia. Tetapi jika perkataan yang terlontar itu berupa perkataan buruk maka akan menyakitkan bagi yang mendengarnya. Tentu kita tidak ingin ‘kan terjadi?
Baiklah, berikut ada beberapa hal yang perlu dihindari agar tidak terjebak dalam merespons atau kesalahan berbicara.
Pertama, tidak semua hal yang kita dengar atau ketahui dibicarakan. Cukup diri sendiri saja yang tahu. Sebab, bisa jadi pembicaraan itu akan menjadi pintu dosa dan sumber fitnah. Sementara kita tidak tahu kebenaran berita. Apalagi bila tidak ada kepentingan atau perbaikan yang ingin dilakukan di dalamnya. Diriwayatkan dari hadis Muslim bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang, yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar.”
Kedua, tidak mengungkit-ungkit pemberian. Ilmu ikhlas memang sangat diperlukan dan bukan sekadar diucapkan atau dipelajari, tetapi betul-betul terpatri kuat dalam ruang keimanan seseorang. Yang kemudian diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu ikhlas, bagian yang tak terpisahkan dari setiap desahan napas, gerak langkah dan lintasan batin seorang hamba.
Dalam perkara sedekah misalnya. Ia merupakan perkara mulia yang sangat dianjurkan dan disukai Allah. Di dalam Al-Qur’an dan hadis banyak sekali kita menemukan ayat perintah tersebut. Orang yang bersedekah akan diganjar dengan pahala berlimpah dan dibalas dengan tujuh ratus kali kebaikan yang dilipatgandakan. Masyaallah. Terlebih di tengah kondisi keterpurukan ekonomi yang melanda bangsa ini. Jurang pemisah antara si kaya dan miskin begitu tampak terasa.
Di sinilah, membutuhkan orang-orang dermawan yang sudi mengulurkan tangan. Memberikan sebagian hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan. Namun, ada satu hal yang harus diperhatikan manakala harta milik kita berpindah tangan, maka itu bukan lagi milik kita. Tugas kita mengikhlaskannya tanpa mengingatnya lagi. Yakinlah, kedermawanan kita saat itu telah dicatat oleh malaikat pencatat amal kebaikan.
https://narasipost.com/challenge-kaleidoskop-2021/12/2021/berpikirlah-sebelum-berbicara/
Jika berada di suatu masa atau keadaan, bukan berarti pemberian kita di masa lalu itu boleh diungkap kembali kapan saja. Dibeberkan dan dibesar-besarkan di hadapan orang lain. Ilmu ikhlas kita akan terluka karenanya. Yang lalu biarlah berlalu, tidak usah dikenang lagi. Biarkanlah ia tetap menjadi kebaikan yang pahalanya terus mengalir meski diri telah terbenam di pemakaman.
Islam telah mewanti-wanti agar kita tidak terjebak dan mengungkit pemberian kita kepada orang lain. Selain dapat melukai hati orang yang kita santuni atau sumbang, sesungguhnya perilaku mengungkap kembali pemberian yang telah kita lakukan itu dapat menghapus pahala-pahala yang sudah terbangun indah untuk kita. Ironis bukan? Tentu kita tidak menghendaki menjadi ibadah zonk. Meski amalan ikhlas ini adalah perkara hati, hanya dia dan Allah saja yang tahu, tetaplah kita berpikir dan berhati-hati dalam berbicara.
Di surah Al-Baqarah ayat 264 Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًاۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْاۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
Artinya, “Wahai hamba-hamba yang beriman, janganlah engkau menghapus pahala sedekahmu dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada orang lain dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Diibaratkan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu disiram hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih. Kalian tidak memperoleh sesuatu pun dari apa yang telah usahakan. Sesungguhnya Dia tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”
Ilmu ikhlas yang cedera pahala pun melayang entah ke mana? Dalil di atas memberikan gambaran yang cukup jelas bagaikan tanah di atas batu nan licin yang terguyur hujan. Yang tersisa hanyalah tinggal batunya saja tiada yang lain.
Bahkan dikatakan termasuk dari tiga golongan orang yang mengalami kerugian. Tersebab Allah enggan menatapnya serta berbicara dengannya di hari kiamat kelak.
Pada riwayat hadis Muslim, Abu Dzar menuturkan,
“Ada tiga orang yang Allah tidak akan berbicara dan tidak melihat kepada mereka di hari kiamat. Allah tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang pedih. Rasulullah mengulangi hal ini tiga kali. Abu Dzar berkata, ‘Mereka itu orang yang merugi.’ Siapakah mereka itu ya Rasulullah? ‘Orang yang isbal, orang yang suka mengundat-undat pemberian dan menginfakkan dagangannya dengan sumpah palsu’.”
Ketiga, tidak menyematkan perkataan-perkataan buruk pada diri sendiri. Meski sekali pun hanya sekadar bercanda. Rasulullah saw. sangat melarang umatnya untuk mencela diri sendiri dengan bahasa “khobits” yang jika diartikan bermakna buruk atau jelek. Sebagaimana Rasulullah saw. telah menuturkannya,
“Janganlah kalian mengatakan, alangkah jeleknya (khobits) diriku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama Raghib mengatakan, “khobits” merupakan kata yang menunjukkan makna buruk atau jelek di dalam berkeyakinan, berbohong saat berbicara dan sangat buruk perbuatannya. Namun, Imam Muslim memperluas maknanya dengan segala hal yang diharamkan serta sifat-sifat tercela lainnya. Dengan kata lain, khobits dalam bahasa Arab menunjukkan arti yang tidak baik. Oleh karena itu, Rasulullah sangat melarang umatnya mencela diri sendiri.
Allah Swt. di surah At-Tin ayat 4 menjabarkan,
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Firman Allah di ayat tersebut merupakan jawaban telak bagi kita semua bahwa manusia itu pada hakikatnya telah diciptakan dengan sangat sempurna dan sangat indah, dengan kesempurnaan akal yang dipakai untuk berpikir. Jadi tidak elok bila kita justru mencela diri kita sendiri. Jangan sampai termasuk kategori kufur nikmat.
Bersikap optimisme dan membiasakan berkata atau berbicara dengan kalimat-kalimat yang baik dan tayibah jauh lebih nyaman untuk didengarkan. Seyogianya, ketika menisbahkan perkataan-perkataan yang bermuatan nilai-nilai kebaikan kepada diri sendiri sebenarnya telah mendoakan diri dan menghindarkan dari keburukan yang mungkin terjadi.
Apatah lagi, diketahui bahasa adalah ungkapan rasa yang bisa memberi pengaruh ke dalam jiwa seseorang. Kekuatannya bisa masuk dan memenuhi ruang kalbu yang berefek ke pikiran dan perbuatan seseorang. Apa yang diucapkan bisa menjadi kenyataan. Jadi penting bagi kita berpikir sebelum berbicara agar yang terucap hanya yang baik-baik seperti Islam perintahkan, sehingga bisa memompa semangat orang lain untuk bangkit. Pada akhirnya, marilah kita tetap berhati-hati dalam berbicara dengan siapa pun dan di mana pun berada.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Berpikir seribu kali sebelum berbicara.
Iya Mbak Mariyah sebelum melepaskan ucapan penting ditimbang2 dahulu. Syukron ya udah mampir sukses buat sahabat2ku semua. Aamiin
Banyak yang berbicara tanpa berpikir atau berpikir belakangan.. tidak sadar kalau lisannya menyakiti orang lain.. luka karena perkataan kadang kala jauh lebih menyakitkan dan butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh.
So, selalu hati2 dengan lisan kita..
Betul sekali mb Dena, lisan yg sdh terlontar bukan milik kita lagi. Itulah mengapa Rasul sangat mengingatkan soal menjaga lisan ini. Ya Allah mampukan terus kami menjaga lisan Aamiin
Banyak orang yang terpleset karena lisannya. Maka berpikir sebelum berbicara memang harus selalu diperhatikan bagi muslim. Barakallah untuk penulis
Bener banget lisan bisa jadi sumber petaka jika tak dijaga
Aamiin Ya Mujibassailinn
Maksih mb Firda udah mampir n komen
MaasyaaAllah. Betul m, mulut mesti belajar ngerem untuik hal-hsl tidak bermanfaat. Tulisan pengingat buat kita agar kendali harus dilakukan termasuk saat berbicara.
gak hanya sepeda mulut juga mesti di rem biar gak kepleset lidah. Makasih mb udah mampir n komen