Jemaah Aolia bukan yang pertama kali melakukan perbedaan perayaan Idulfitri di Indonesia. Perbedaan ini tentu dimulai karena adanya perbedaan metode dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.
Oleh. Firda Umayah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan Penulis Derap Dakwah Umayah)
NarasiPost.Com-Jemaah masjid Aolia yang merayakan Idulfitri beberapa hari lebih jauh menghebohkan masyarakat Indonesia. Jemaah yang berada di Yogyakarta itu sejak lama memang memiliki cara sendiri dalam menentukan awal dan akhir Ramadan. Bukan dengan metode hisab atau rukyatulhilal. Melainkan menanyakan langsung kepada Allah. Pemimpin jemaah tersebut yang bernama Raden Ibnu Hajar Pranolo atau mbah Benu sontak diserbu awak media. Ia mengaku bahwa diri dan pengikutnya mengikuti tarekat Syattariyah. (cnnindonesia.com, 06/04/2024)
Apa yang dilakukan oleh jemaah masjid Aolia di Gunung Kidul jelas bertentangan dengan dalil syarak. Lantas, bagaimana tanggapan pemerintah mengenai hal ini? Apa penyebab penentuan awal dan akhir Ramadan tidak sama dalam masyarakat Indonesia?
Respons Pemerintah
Mbah Benu menyebutkan bahwa tarekat Syattariyah tidak hanya terdapat di Yogyakarta. Jemaah ini juga tersebar di berbagai wilayah seperti Sulawesi, Kalimantan, Papua, hingga luar negeri. Penentuan awal dan akhir Ramadan ia lakukan berdasarkan laku spiritual antaranya dengan Allah. Bagi pengikut yang memercayainya, akan ia perlakukan baik. Pun hal yang sama dengan mereka yang tidak memercayainya.
Merespons perbedaan Idulfitri jemaah ini, Kepala Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah Yogyakarta, Jauhar Mustofa menyampaikan bahwa jemaah Aolia memiliki tata cara ibadah yang mirip dengan NU. Hanya saja, mereka memang memiliki cara sendiri dalam menentukan awal dan akhir Ramadan. Sebelumnya, perbedaan perayaan Idulfitri jemaah tersebut hanya selisih satu hingga dua hari saja dari yang ditetapkan pemerintah. Namun tahun ini, perbedaan yang terjadi cukup tajam karena selisihnya lebih dari tiga hari.
Diketahui jemaah Aolia telah melaksanakan salat Idulfitri pada Jumat, 5 April kemarin. Jemaah ini melakukan salat setelah melakukan puasa selama 29 hari. Tentu saja, awal puasa mereka juga jauh lebih dahulu dari puasa umat Islam di Indonesia yang lainnya.
Penyebab Perbedaan Idulfitri
Perbedaan perayaan Idulfitri seperti yang dilakukan oleh jemaah Aolia bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Hampir setiap tahun, umat Islam di Indonesia memiliki perbedaan dalam perayaan tersebut. Perbedaan ini tentu dimulai karena adanya perbedaan metode dalam menentukan awal dan akhir Ramadan. Ketika awal Ramadannya berbeda, besar kemungkinan akhir Ramadannya pun akan berbeda.
https://narasipost.com/story/05/2022/duka-di-hari-fitri-akibat-beda-hari/
Memang, dalam agama Islam, metode penentuan awal dan akhir Ramadan ada dua, yaitu dengan metode hisab (perhitungan) dan metode rukyatulhilal (melihat bulan secara langsung). Penulis meyakini bahwa yang paling rajih (kuat) dalam menentukan awal dan akhir Ramadan adalah dengan metode rukyah. Ini berdasarkan hadis Rasulullah saw.,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, jika kalian tertutup (tidak melihatnya) maka genapkan hitungan Syakban tiga puluh hari.” (HR. Mutafaq Alaih)
Makna melihat hilal di sini adalah melihat secara langsung tanpa memperhatikan letak astronomisnya. Hal ini karena dalam dalil di atas dijelaskan bahwa ada batasan sebab untuk menentukan awal Ramadan. Batasannya adalah terhalang mendung atau tidak.
Jika terhalang mendung (sesuai kasat mata) maka bulan Syakban digenapkan tiga puluh hari. Oleh karena itu, penghitungan astronomis tidak bisa dijadikan sandaran secara mutlak. Jika penghitungan astronomis sesuai dengan penglihatan langsung atau rukyat hilal, maka penghitungan tersebut sah untuk berpuasa. Sebab, yang jadi landasan utamanya tetap rukyatulhilal.
Umat Islam Butuh Khilafah untuk Penyatuan Idulfitri
Tak hanya karena perbedaan metode penentuan awal dan akhir puasa, hal lain yang menyebabkan perbedaan perayaan Idulfitri di Indonesia adalah pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap perbedaan tersebut. Ya, sebagai negara yang mengusung sistem pemerintahan demokrasi dan menjunjung tinggi HAM, pemerintah sering membiarkan masyarakatnya memiliki keyakinan tertentu sekalipun itu bertentangan dengan syariat Islam. Maka tak heran bahwa di Indonesia, banyak bermunculan aliran kepercayaan yang mengatasnamakan Islam padahal menyalahi syariat Islam.
Pembiaran terhadap jemaah Aolia adalah salah satunya. Meskipun jemaah ini tidak memiliki perbedaan dalam beribadah, tetapi keyakinan dan metode yang tidak sesuai dalam penetapan awal dan akhir Ramadan seharusnya tidak boleh dibiarkan. Ini merupakan perkara dasar dan bagian dari rukun Islam di mana negara memiliki peran penting untuk memahamkan masyarakatnya. Tak hanya itu, umat Islam juga membutuhkan kesatuan pemikiran dan pemahaman terkait dalil-dalil syarak yang kuat di bawah satu naungan institusi negara. Negara itu adalah Khilafah yang merupakan kewajiban (fardu kifayah) dan harus ditegakkan oleh umat Islam.
Dalam dalil syarak yang penulis tuliskan sebelumnya, menunjukkan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadan berlaku secara universal untuk muslim di dunia. Artinya, jika masyarakat di suatu wilayah negeri telah melihat hilal, maka puasa berlaku untuk wilayah negeri yang lain. Untuk menyatukan wilayah negeri yang satu dengan yang lain jelas membutuhkan negara yang satu yakni Khilafah.
Perintah yang disampaikan oleh seorang khalifah (pemimpin Khilafah) adalah hal wajib yang harus ditaati baik lahir maupun batin oleh seluruh warga negara. Perintah khalifah juga akan menghapus perselisihan karena khalifah adalah orang yang bertanggung jawab atas terlaksananya semua syariat Islam. Tanpa Khilafah, umat Islam akan sulit bersatu karena adanya sekat nasionalisme. Oleh karena itu, keberadaan Khilafah menjadi suatu hal penting dalam menyamakan awal dan akhir Ramadan.
Penutup
Perbedaan awal dan akhir Ramadan yang kerap terjadi di Indonesia tidak bisa terus dibiarkan. Ini merupakan perkara penting dan butuh penyatuan agar tidak terjadi perbedaan yang menyalahi syariat Islam. Penyatuan itu membutuhkan Khilafah sebagai institusi pemersatu umat. Sebab perintah khalifah wajib dilaksanakan oleh seluruh warga negara baik lahir maupun batin.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Miris ya, kejadian serupa terus berulang dan dibiarkan oleh pemerintah. Inilah buktinya jika umat butuh junnah.
Barakallah mbak
Benar. Wa barakallahu fiik mbak Sartinah
Betul sekali ka saya setuju harusnya ditegur pemerintah
Ya, sayangnya pemerintah malah membiarkan