Mental ibu kian rusak akibat sistem kapitalisme sekuler yang memberikan beban ganda (peran) pada ibu. Berbeda dengan Islam yang mengedepankan hifzunnafs dalam menjaga titipan-Nya.
Oleh. Mahganipatra
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kasus pembunuhan sadis dan biadab kembali terulang. Diwartakan oleh detik.com, 19/3/2024, seorang ibu berinisial SNF (24) tega membunuh anaknya yang baru berusia 5 tahun di kediaman mereka di perumahan elite kawasan Bekasi Utara, Jawa Barat. Diduga pelaku mengalami gangguan mental jenis skizofrenia. Pelaku membunuh anaknya yang sedang tertidur dengan cara menusuknya hingga 20 kali tusukan sampai tewas.
Sementara itu di tempat yang berbeda, kasus serupa juga terjadi. Di Lubuklinggau, Sumatra Selatan, seorang ibu bernama Ira Nirwana juga resmi ditetapkan menjadi tersangka karena tega membunuh bayinya dengan cara dibuang ke sumur. Motif Ira diduga mengalami stres karena gagal dua kali berumah tangga.
Miris, bagaimana bisa seorang ibu tega membunuh darah dagingnya sendiri?
Fakta Kesehatan Mental Ibu
Munculnya beberapa kasus kekerasan sampai menyebabkan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya, diduga akibat dari kondisi mental ibu yang terganggu. Lalu pertanyaannya, mengapa perempuan lebih rawan mengalami gangguan mental di dalam kehidupan berkeluarga dibandingkan laki-laki?
Menurut dr. Rilla Fitrina Sp. KJ, seorang dokter spesialis kedokteran jiwa, stres, dan depresi adalah dua masalah kesehatan mental yang sangat rentan terjadi pada ibu. Stres dan depresi merupakan kondisi ketika seseorang tidak mampu lagi mengatasi tekanan mental atau emosional yang dialaminya. Jika dibiarkan tanpa ada penanganan, akan menyebabkan terjadinya penurunan produktifitas kerja, gangguan hubungan sosial, hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri.
Namun demikian, dikutip dari databoks katadata.co.id, penderita tekanan mental hingga depresi para ibu jumlahnya sangat fantastik. Menurut data yang dihimpun oleh Our World in Data 2019, perempuan Indonesia lebih banyak terkena gangguan kesehatan mental daripada laki-laki. Untuk gangguan kecemasan atau anxiety disorder, prevalensi laki-laki Indonesia sebesar 2,7% pada 2019. Sementara perempuannya lebih tinggi, yakni 4,5%. Kemudian prevalensi gangguan depresi laki-laki Indonesia sebesar 2%. Sementara perempuannya lebih tinggi, yakni 2,9%.
Selanjutnya, gangguan bipolar, prevalensi laki-laki Indonesia sebesar 0,33%. Proporsinya sama dengan perempuan. Sementara untuk skizofrenia, dengan prevalensi 0,31% untuk laki-laki. Pada gangguan ini, proporsi perempuan lebih rendah, yakni 0,27%. Terakhir, adalah gangguan perilaku makan atau eating disorder dengan prevalensi sebesar 0,09% untuk laki-laki dan 0,13% untuk perempuan Indonesia.
Penyebab Rusaknya Mental Ibu
Di era modern saat ini, seorang istri atau ibu tidak cukup hanya bertugas mendampingi suami dengan perannya sebagai ibu yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengandung, melahirkan, merawat, menjaga, menyusui, dan mengasuh anak-anak saja. Akan tetapi, di dalam sistem kapitalisme sekuler yang sedang mencengkeram negeri ini, kedudukan dan peran perempuan bertambah semakin berat. Hal ini karena perempuan dipaksa agar mampu menyelesaikan setiap persoalan yang muncul dalam kehidupan rumah tangga.
Mulai dari problem tekanan ekonomi, karena suami tidak bekerja akibat mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau suami bekerja tetapi penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Sementara harga-harga komoditas kian membumbung tinggi tak terbeli. Ditambah lagi dengan perilaku suami yang ringan tangan, sehingga akhirnya berdampak pada ketahanan keluarga.
https://narasipost.com/challenge-dawai-literasi/12/2023/mendidik-anak-tanpa-luka-pengasuhan/
Kesulitan ekonomi telah menyebabkan keluarga terutama perempuan, mengalami tekanan yang lebih tinggi, rendahnya harga diri, dan berkurangnya kebahagiaan. Akibatnya, perempuan mengalami lebih banyak tekanan baik fisik maupun mental. Selanjutnya, berdampak pada ketidakmampuannya dalam praktik pengasuhan yang optimal untuk tumbuh kembang anak-anak mereka. Hal ini karena tuntutan ekonomi telah memaksa para ibu lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Akhirnya terpaksa harus memilih bekerja, padahal ketika memilih bekerja pun ternyata bukan solusi. Faktanya tenaga kerja perempuan dibayar dengan harga murah. Sementara tekanan di tempat kerja pun menjadikan mental ibu kian rapuh.
Demikian juga dengan faktor-faktor lainnya, seperti lingkungan keluarga besar baik dari pihak istri atau suami yang banyak turut campur dan dominan memengaruhi kehidupan rumah tangga mereka. Akhirnya memicu munculnya tekanan mental bagi ibu yang menyebabkannya depresi. Merasa tidak berharga, tidak mampu dan layak dalam menunaikan hak dan kewajibannya di dalam mengurus keluarga dan mengasuh anak-anaknya (hadanah). Jika sudah begini, siapa yang berhak mengasuh anak mereka?
Hak Pengasuhan (Hadanah) dalam Islam
Hadanah adalah menjaga anak kecil yang masih lemah akalnya dari berbagai bahaya yang akan menyebabkan anak terlantar. Mengasuh dan mendidik anak dengan cara memperhatikan apa yang baik dan dibutuhkan anak dengan penuh cinta dan kasih sayang sampai dia mampu hidup sendiri (mandiri).
Hadanah merupakan salah satu bentuk menjaga jiwa (hifzh al-nafs) di dalam Islam. Anak adalah amanah dan titipan dari Allah Swt. Sudah semestinya dididik dan diasuh sesuai dengan kehendak yang menitipkan, yakni mendidik anak agar memiliki ketaatan serta kepribadian yang sesuai dengan syariat Islam. Jiwa anak wajib dijaga dan dilindungi agar terhindar dari segala bahaya, agar selamat dari segala sesuatu yang akan menyebabkan kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, orang yang memiliki hak dan kewajiban dalam pengasuhan anak (hadanah) pertama kali dimiliki oleh keluarganya. Allah Swt. berfirman:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-tahrim: 6)
Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, ketika orang tua tidak layak menyelenggarakan hadanah, maka Islam memiliki aturan dan mekanisme dalam menentukan siapa yang memiliki kewajiban dan hak dalam masalah perwalian maupun di dalam masalah mengasuh anak (hadanah). Di dalam kitab Sistem Pergaulan Dalam Islam karangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, menjelaskan bahwa masalah hak dan kewajiban dalam hadanah tidak bersifat umum tetapi bersifat khusus.
Artinya bahwa di dalam masalah hadanah, Allah Swt. telah menetapkan secara khusus hak mengasuh diberikan kepada mereka yang secara pasti mampu mengasuh. Hadanah tidak akan diberikan kepada anak kecil atau orang yang kurang waras (sakit mental atau depresi). Jadi jika ayah dan ibu dinyatakan tidak layak untuk mengasuh baik karena dinyatakan sakit fisik atau karena terindikasi memiliki kelainan mental. Apalagi terbukti melakukan kekerasan yang dapat membahayakan jiwa anak.
Maka, hak dan kewajiban hadanah secara otomatis berpindah kepada kerabat dekat dari pihak ibu yang muslim. Seperti nenek dari ibu, jika nenek tidak mampu akan jatuh kepada saudara kandung ibu misalnya bibi (khaalah) dan seterusnya yang tampak nyata menyayangi anak tersebut sampai anak usia mumayiz (dapat membedakan baik dan buruk). Anak-anak muslim juga tidak boleh diasuh oleh kerabat nonmuslim.
Namun, jika kerabat dari pihak ibu tidak bersedia atau tidak layak, maka hak dan kewajiban hadanah jatuh kepada pihak keluarga dari ayah, seperti nenek/kakek dari ayah, ibu dari kakek, saudara perempuan kandung dari ayah, saudara seibu atau seayah, bibi dari ayah, dan seterusnya. Sampai kemudian anak tumbuh besar mencapai usia tujuh tahun dan sudah mumayiz, maka anak berhak memilih dengan siapa dia ingin tinggal sampai dia dewasa.
Akan tetapi, ketika dari pihak kerabat pun ternyata menolak atau dipandang secara hukum tidak layak menerima hak dan kewajiban hadanah, maka di dalam sistem Islam, negara wajib mengambil alih dan menetapkan otoritas pengasuhan. Negara Islam yakni Khilafah Islamiah harus benar-benar memastikan bahwa anak diasuh oleh orang-orang yang akan menyayangi, menjaga, dan memberikan kebaikan pada anak di dunia dan akhirat.
Negara wajib mengambil alih pengasuhan bagi seluruh anak-anak yang terlantar, mengalami kekerasan dalam keluarga, dalam perselisihan atau diperebutkan sehingga tampak nyata akan membahayakan, mengancam, merusak, dan membinasakan anak. Negara memiliki peran kunci untuk memastikan bahwa anak dalam masa tanggungan pengasuhan (hadanah), mereka harus terpelihara dan terjaga jiwanya hingga mereka mampu mandiri dan sejahtera.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Kejamnya penerapan sistem kapitalisme membuat mental sebagian ibu rapuh hingga tega melakukan tindakan keji kepada anak.