Setiap pembangunan yang dilakukan tidak boleh merugikan masyarakat sedikit pun, termasuk masyarakat adat. Negara tidak boleh mengambil paksa milik mereka, meskipun untuk kepentingan umum.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengirimkan surat kepada warga Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Surat itu berisi perintah kepada warga untuk segera membongkar rumah mereka karena tidak sesuai dengan aturan Tata Ruang Wilayah Pembangunan IKN. Hal itu karena wilayah tersebut akan menjadi kawasan inti pusat pemerintahan IKN.
Mereka yang tinggal di wilayah tersebut adalah Suku Balik dan Paser yang berada di Kampung Tua Sabut. Mereka telah menetap di sana sejak masa penjajahan Jepang. Mereka menyambung hidup dengan bercocok tanam dan mengandalkan hasil hutan. (tempo.co, 18/03/2024)
Pihak OIKN melalui Deputi Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat OIKN, Alimudin kemudian menyatakan bahwa surat itu telah ditarik. Dengan demikian, surat itu dinyatakan gugur. Namun, pihak kelurahan serta desa dari 300 warga yang mendapat surat itu meminta OIKN memberikan klarifikasi resmi mengenai hal tersebut. Dengan demikian, tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. (cnnindonesia.com, 18/03/2024)
Pendapat Tokoh
Beredarnya surat tersebut mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya berasal dari Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia. Ia mengatakan bahwa surat itu telah melecehkan hak masyarakat suku Balik dan warga Sepaku yang tinggal di daerah tersebut sekaligus membuat mereka terancam kehilangan tempat tinggal.
Tanggapan juga disampaikan oleh Guspardi Gaus, anggota Komisi II DPR. Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menyatakan bahwa upaya penggusuran itu merupakan hal yang memalukan serta memilukan. Ia mengatakan bahwa DPR menekankan kepada pemerintah bahwa IKN adalah kota untuk semua. (tempo.co, 20/03/2024)
Kasus ini ternyata juga menarik perhatian Pakar Hukum Adat Unair, Joeni Arianto Kurniawan, SH. MA. Ph.D. Ia menyatakan bahwa tidak seharusnya pemerintah melakukan penggusuran terhadap penduduk asli atau masyarakat adat di wilayah tersebut. Meskipun mereka mendapatkan lahan lain sebagai gantinya, tidak mudah bagi mereka untuk menerimanya karena adanya hubungan spiritual dengan tanah kelahiran.
Penggusuran terhadap masyarakat adat sering terjadi karena belum ada regulasi yang mengakomodir kepentingan mereka. Undang-undang yang ada justru mengharuskan pemilik tanah agar merelakan hak mereka untuk pembangunan demi kepentingan umum, yaitu UU No. 2 Tahun 2012. Memang, masyarakat adat dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 18B ayat 2. Namun, belum ada instrumen berupa undang-undang untuk melindungi mereka dalam kasus penggusuran. (unair.ac.id, 18/03/2024)
Pembangunan IKN dan Kepentingan Oligarki
Demokrasi digambarkan sebagai sistem yang memperhatikan kepentingan rakyat. Namun, fakta di IKN menunjukkan hal yang berbeda. Berbagai peraturan yang dibuat justru untuk kepentingan oligarki.
Para pemilik modal itulah yang akan mendapatkan keuntungan dari pembangunan IKN. Agar mendapatkan keuntungan yang besar, pemerintah telah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada mereka dalam periode yang sangat lama, yaitu 190 tahun. Selain itu, pemerintah juga memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun.
Di sisi lain, pembangunan IKN akan merampas ruang hidup rakyat kecil. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), keberadaan IKN akan menggusur 20.000 orang masyarakat adat. Jumlah itu belum termasuk masyarakat lokal yang kemungkinan juga terampas ruang hidup mereka.
Kapitalisme Penyebab Masalah
Penggusuran dapat dilakukan oleh penguasa terhadap rumah atau tanah penduduk. Atas nama pembangunan atau proyek strategis, mereka harus merelakan tanah kelahiran mereka. Tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka dan diperoleh dengan susah payah. Penggusuran itu telah merampas ruang hidup mereka.
Pembangunan dalam sistem kapitalisme memang tidak pernah mempertimbangkan kepentingan rakyat kecil. Yang diperhatikan justru kepentingan para pemilik modal karena merekalah yang membantu calon penguasa untuk menduduki jabatannya. Mereka pula yang membantu penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika rakyat kecil sering kali menjadi korbannya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terjadinya 212 konflik agraria selama tahun 2022 di 33 provinsi. Data KPA menyebutkan bahwa sektor perkebunan dan proyek pembangunan infrastruktur menjadi penyebab tertinggi terjadinya kasus penyerobotan lahan. Kasus yang sama juga terjadi pada sektor properti, pertambangan, fasilitas militer, serta bisnis pertanian.
Hal ini terjadi akibat diadopsinya prinsip kebebasan kepemilikan yang ada dalam sistem kapitalisme. Prinsip ini membebaskan siapa pun yang mampu untuk memiliki apa pun yang diinginkannya. Tak peduli dengan cara apa hal itu dilakukan, apakah cara yang halal atau haram.
Hak Memiliki Tempat Tinggal
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah rumah atau tempat tinggal. Mereka dapat beristirahat dan berlindung dari panas matahari, air hujan, serta gangguan binatang di dalam rumah. Oleh karena itu, Islam mewajibkan kepada negara untuk membantu warganya mendapatkan tempat tinggal.
Untuk mendirikan tempat tinggal dibutuhkan tanah atau lahan. Islam pun telah menetapkan bahwa orang yang pertama mengolah tanah adalah pemilik sah. Hal ini disebutkan dalam hadis Rasulullah saw. riwayat Thabrani.
مَنْ سَبَقَ إلَى مَا لَمْ يَسْبِقْهُ إلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ أحَقُّ
Artinya: “Siapa saja yang lebih dahulu sampai pada suatu tempat (tanah), sementara tidak ada seorang muslim yang sampai pada tanah itu sebelumnya, maka ia lebih berhak atas tanah itu.”
Oleh karena itu, siapa pun dia, termasuk penguasa, tidak boleh mengambil alih tanah yang telah dikuasai oleh seseorang. Ia hanya boleh memiliki tanah tersebut sesuai dengan aturan syarak, seperti pembelian, pemberian hadiah, hibah, atau pewarisan. Dengan demikian, hak setiap warga negara akan terus terjaga.
Karena rumah merupakan kebutuhan dasar setiap orang, negara dalam Islam berkewajiban untuk memfasilitasi rakyat untuk memilikinya. Hal itu bisa dilakukan dengan membangun perumahan yang bisa dibeli oleh rakyat dengan harga yang terjangkau dan proses yang mudah. Bahkan, negara dapat memberikan rumah secara gratis kepada masyarakat yang benar-benar tidak mampu.
Pembangunan dalam Islam
Pembangunan merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. Namun, Islam telah menetapkan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Bahkan, jika pembangunan itu dilakukan untuk kepentingan umum.
Seperti yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab. Karena kaum muslim yang melaksanakan salat berjemaah di masjid makin banyak, Khalifah Umar berniat untuk meluaskan bangunan masjid. Kebetulan, di sebagian lahan yang hendak digunakan untuk perluasan masjid itu terdapat rumah Abbas bin Abdul Muthalib.
Umar bin Khaththab kemudian memberi tiga opsi kepada Abbas bin Abdul Muthalib. Yaitu, menjual rumahnya dengan harga sesuai permintaannya, dibangunkan rumah, atau menyedekahkan rumah itu. Namun, Abbas bin Abdul Muthalib menolak ketiga opsi tersebut.
Khalifah Umar bin Khaththab kemudian meminta Abbas bin Abdul Muthalib untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan sahabat Nabi saw. yang dikehendakinya. Abbas bin Abdul Muthalib kemudian mengajak Khalifah Umar bin Khaththab untuk menemui Ubay bin Ka’ab.
Ubay bin Ka’ab kemudian membacakan sebuah hadis yang menceritakan kisah Nabi Dawud a.s. saat hendak membangun tempat ibadah. Sayangnya, pembangunannya terkendala dengan lahan yang dimiliki oleh seorang Bani Israil. Saat Nabi Dawud a.s. berniat untuk mengambil secara paksa, Allah Swt. mengingatkan dirinya bahwa tempat ibadah itu didirikan untuk mengingat Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt. melarang Nabi Dawud a.s. melarang mengambil paksa tanah itu untuk membangun tempat ibadah.
Khalifah Umar bin Khaththab pun memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk membacakan hadis itu di hadapan sahabat-sahabat lainnya agar makin banyak yang mengetahuinya. Beberapa dari mereka menyatakan ingat dengan hadis tersebut. Setelah itu, Khalifah Umar bin Khaththab meminta kepada Abbas bin Abdul Muthalib untuk pergi dan mengatakan bahwa ia tidak akan menawarkan apa pun. Mendengar perkataan Umar bin Khaththab, Abbas bin Abdul Muthalib menyedekahkan rumahnya untuk masjid itu.
Demikianlah, Islam menjaga hak milik setiap warga negara. Oleh karena itu, setiap pembangunan yang dilakukan tidak boleh merugikan mereka sedikit pun, termasuk masyarakat adat. Negara tidak boleh mengambil paksa milik rakyat, meskipun untuk kepentingan umum. Inilah keindahan aturan Islam yang hanya dapat kita saksikan jika kita menerapkan sistem Islam secara kaffah sesuai teladan Nabi saw. serta para khalifah pengganti beliau.
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab. []
Pembangunan untuk kemaslahatan rakyat. Kalau rakyatnya malah dirugikan, ya, berarti pembangunan bukan untuk kepentingan rakyat
Rakyat selalu terjepit ditengah kebijakan kapitalisme
Bagai buah simalakama. Kalau proyek IKN tidak dilanjutkan, semua dana yang dikeluarkan akan mubazir. Kalau tetap dijalankan, akan menzalimi rakyat sekitarnya dan merusak ekosistem yang ada.
Proyek yang akan selalu menimbulkan persoalan sejak awal karena bukan didasarkan untuk kepentimgan rakyat. Malahan ada usulan dari beberapa anggota dewan, mereka tetap di Jakarta. Pemerintah saja yang berkantor di IKN yang ditargetkan bisa pindah Juni tahun ini. Lihat saja ke depan, peliknya persoalan. Kasihan rakyat yang terabaikan.
Betul, rakyat selalu menjadi korban.