Penerapan hukuman kebiri pada pedofil tidak bisa mencegah mereka untuk melakukan kejahatan serupa. Pedofil sejatinya adalah tindakan kriminalitas yang berlatarbelakang pada nafsu syahwat pelaku yang ditimpakan kepada anak-anak.
Oleh. Ita Harmi
(Pengamat Sosial dan Politik)
NarasiPost.Com-Di sela-sela huru-hara penanganan Covid 19, serta masih belum selesainya kasus korupsi dana Bansos untuk rakyat yang terdampak Covid 19, pada akhirnya pelaksanaan hukuman kebiri bagi pelaku pedofil lolos juga sebagai Peraturan Pemerintah (PP) walaupun masih ada pro-kontra di tengah masyarakat.
Tampaknya dengan legalisasi hukum kebiri ini, lagi-lagi pemerintah menunjukkan sikap tingginya egoisme sepihak dalam kekuasaan. Padahal dalam teorinya, demokrasi mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam kebijakannya, sebagaimana yang termaktub dalam sila keempat pancasila. PP tersebut telah sah ditandatangani oleh presiden Republik Indonesia yang tertulis pada nomor 70 tahun 2020 per 7 Desember 2020, seperti berita yang diturunkan dari Viva.co.id pada 3/1/2021.
Sebelumnya diketahui bahwa sekitar 9 anak di Mojokerto terbukti telah diperkosa oleh seorang pemuda berinisial MA(20). Hal tersebut kemudian dilaporkan oleh para orangtua korban ke pihak kepolisian. Dalam pengadilannya, akhirnya MA divonis hukuman 12 tahun penjara dengan denda 100 juta rupiah subsider 6 bulan penjara. Tak sampai di situ saja, pengadilan juga menambahkan hukuman "kebiri kimiawi" kepada tersangka pedofil pada tahun 2019 yang lalu. Akan tetapi saat itu belum ada peraturan mengenai pelaksanaan hukuman kebiri ini, sehingga tersangka belum bisa dieksekusi sesuai keputusan pengadilan. (Merdeka.com, 25/8/2019)
Namun dengan disahkannya PP nomor 70 tahun 2020 ini bisa dipastikan bahwa tersangka akan segera menjalani hukuman kebiri kimiawi ini.
Kasus pedofil memang bukan sekali dua kali terjadi di Indonesia. Beberapa tahun yang lalu bahkan terjadi di sebuah sekolah elit bergengsi tingkat internasional di pusat ibukota negara Indonesia. Pelakunya justru adalah staf pengajar di sekolah tersebut yang merupakan tenaga pengajar asing dari luar negeri. Berita tersebut sempat menghebohkan Indonesia dan membuat ketar-ketir orangtua yang memiliki anak-anak usia sekolah dasar.
Tak hanya Indonesia, sejumlah kasus pedofil juga terjadi di beberapa belahan negara lainnya. Negara-negara tersebut juga memberlakukan hukuman kebiri pada pelaku pedofil. Di antara negara-negara yang mengadopsi hukuman kebiri ini adalah Amerika Serikat, Estonia, Belgia, Swedia, dan Jerman. Hukuman kebiri ini dianggap sebagai hukuman yang "ideal" bagi pelaku pedofil sehingga diberlakukan di sejumlah negara-negara besar dan maju. Kemungkinan ini pula lah yang menjadikan pemerintah Indonesia berinisiatif untuk mengadopsi hukuman yang sama dalam menekan terjadinya kasus pedofil.
Pedofil sejatinya adalah tindakan kriminalitas yang berlatarbelakang pada nafsu syahwat pelaku yang ditimpakan kepada anak-anak. Syahwat adalah naluri yang dimiliki oleh setiap jiwa, baik manusia maupun hewan. Naluri ini hadir kepada manusia hanya bila ada rangsangan dari luar. Bisa jadi sebelumnya pelaku terpapar konten pornografi yang banyak tersebar di dunia maya. Atau bisa juga setelah melihat bagian-bagian tubuh perempuan yang membuat nafsu pelaku muncul.
Masalahnya, pelaku pedofil ini terkadang belum mempunyai tempat yang halal untuk memuaskan nafsunya, seperti istri misalnya. Lalu untuk menyalurkan nafsu yang sudah tak mampu ditahannya tadi, jadilah pelampiasannya kepada apa saja yang dianggap mampu untuk memuaskan hasratnya tersebut, termasuk anak-anak. Sebab anak-anak tidak akan berani memberontak saat pelaku melakukan aksinya. Cukup ditakut-takuti atau diimingi uang dan jajanan. Tidak sesulit memperkosa perempuan dewasa yang biasanya akan melakukan perlawanan.
Menjadi pemuda zaman ini memang tak mudah. Seorang lelaki yang telah mengalami mimpi basah, secara alami sudah bisa dikatakan aktif secara seksual. Hasrat dan keinginan untuk menyalurkan nafsu syahwat sudah ada dalam dirinya. Makanya pada usia ini, bila nafsu memang sudah tidak bisa ditahan lagi, para pemuda dianjurkan untuk segera menikah. Masalahnya, di zaman kapitalisme dan hedonisme seperti sekarang, para pemuda merasa gamang dan enggan untuk memiliki komitmen dalam pernikahan. Pasalnya banyak kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dengan biaya selangit. Sementara mereka belum memiliki pijakan yang pas untuk menafkahi istri dan anak-anaknya kelak.
Sempitnya lapangan pekerjaan, apalagi hanya didukung dengan latar belakang pendidikan yang tidak memadai, maka tak jarang untuk menyelesaikan permasalahan nafsu tersebut, mereka mengambil jalan pintas dengan menyalurkan nafsu sesaat tersebut pada yang bukan tempatnya.
Sekulerisme yang mereka terima melalui jalur pendidikan dan keluarga nyatanya telah berhasil membuat para generasi khususnya pemuda untuk bebas sebebas-bebasnya melakukan apa saja yang menurut mereka benar, tanpa memperhatikan rambu-rambu syariat. Hedonisme juga mengajarkan pemuda yang sudah mampu secara finansial sekalipun menjadi enggan untuk menikah. Sebab menurut sebagiannya beranggapan bahwa saat menikah nanti mereka sudah terikat dengan pernikahannya, sehingga tidak bisa berhura-hura lagi dan sebebas di saat lajang.
Media massa hari ini, apalagi di dunia maya, memang jauh dari kontrol masyarakat. Hal-hal tabu yang tidak layak dikonsumsi oleh beberapa orang di bawah umur, menjadi serba bebas untuk diakses siapa saja dan di mana saja. Tidak ada lagi kata "dosa" dalam kamus hidup manusia.
Tentu saja untuk mengontrol "film biru" yang banyak bergentayangan di dunia maya, tidak bisa dilakukan oleh individu maupun masyarakat saja, sehebat apapun mereka. Satu-satunya yang sanggup melakukan pemblokiran terhadap situs-situs porno tersebut adalah pemerintah. Untuk memblokir situs dengan konten dakwah saja negara sanggup melakukannya. Lalu apa susahnya dengan situs porno?
Inilah kompleksitas problematika yang sebenarnya terjadi, khususnya di Indonesia. Oleh karenanya, lingkaran setan permasalahan ini tidak cukup diselesaikan dengan hukuman kebiri yang diberlakukan terhadap pelaku pedofilia, sebab tidak sampai menyentuh akar masalahnya.
Kompleksitas problematika pedofilia ini harus diselesaikan dengan solusi yang komprehensif, agar perilaku menyimpang ini tidak terulang kembali. Setidaknya bagi mereka yang ingin coba-coba melakukannya akan berpikir ulang terlebih dahulu dengan mengingat risikonya.
Sekulerisme dan hedonisme yang mewabah di benak kaum Muslim saat ini hanya bisa diberangus dengan mengembalikan kesadaran individu tentang hubungannya dengan Allah. Idrak silah billah, atau kesadaran hubungan dengan Allah harus terus ditumbuhkan pada anak-anak sejak dini dalam tataran kehidupan keluarga. Dalam hal ini ibu memiliki peran penting untuk mendidik, membina, dan memastikan akidah anak-anaknya agar selalu memiliki kesadaran hubungan dengan penciptanya, Allah Ta'ala. Sementara ayah berfungsi mengontrol dan mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya, seraya mengingatkan dan menguatkan istrinya bila sedang berada pada titik iman yang lemah.
Sementara dalam konteks masyarakat, mereka memiliki tugas amar ma'ruf nahyi munkar di antara sesama. Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam sendiri mengibaratkan masyarakat seperti orang-orang yang sedang berlayar di tengah lautan. Bila orang yang berada di bagian bawah dalam kapal ingin melubangi kapal agar mendapatkan air lebih mudah, maka orang yang berada di bagian atas kapal harus melarangnya supaya kapal tidak tenggelam, kemudian mereka mengambilkan air dengan mudah untuk orang yang berada di bagian bawah kapal. Inilah indahnya bentuk ukhuwah dalam Islam, saling mengingatkan kepada yang haq dan kesabaran agar tidak menjadi manusia yang merugi di dunia dan akhirat (TQS. Al Ashr :3).
Dalam atmosfer sekulerisme hari ini, tugas inilah yang hilang di tengah-tengah masyarakat dan mengakibatkan munculnya sikap individualisme. Saling tak peduli antar sesama. Tak cukup di situ, kapitalisme juga membuat masyarakat sibuk untuk bekerja dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hidup yang biayanya makin melambung dari hari ke hari. Sehingga ada celah bagi pelaku kriminalitas seperti pedofil semakin leluasa untuk beraksi.
Sejatinya negara memiliki peran yang paling besar dalam hal ini. Tidak hanya dengan memblokir situs-situs dengan konten syahwati, tapi juga menutup perizinan media-media massa, baik media cetak maupun elektronik, yang mencari rating dengan mengumbar hal-hal yang tidak senonoh. Memastikan rakyatnya dibina dengan akidah yang benar melalui jalur pendidikan maupun pembinaan umum bagi masyarakat awam.
Lebih lagi, negara mempersiapkan pula lapangan kerja yang seluas-luasnya kepada rakyat, terutama untuk usia produktif seperti para pemuda. Atau memberdayakan para pemuda dan memberikan dukungan penuh terhadap usaha mandiri yang mereka upayakan. Sehingga para pemuda yang telah memasuki masa pernikahan tidak menjadi gamang dalam hal nafkah untuk istri dan anak-anaknya kelak. Dengan demikian mereka akan menyalurkan syahwatnya di tempat yang benar dan dengan cara yang benar.
Negara juga harus menyiapkan sistem sanksi yang tegas terhadap para pedofil. Hukuman yang dapat menjerakan perilaku menyimpang ini secara permanen. Dengan demikian, saat pelaku hendak beraksi, maka ia akan berpikir ulang bila mengingat beratnya sanksi yang akan diterima atas perbuatannya.
Hukuman kebiri yang diberlakukan faktanya tidak sanggup membendung kejahatan pedofilia. Di Inggris, hukuman ini bahkan sudah berlaku sejak tahun 1950-an. Dan eksekusi perdananya dilakukan pada tahun 1952. Lalu bagaimana kabar pedofilia di Inggris saat ini, apakah hilang atau hanya berkurang? Justru kejahatan pelaku pedofil ini semakin mengerikan. David Wilson (36) berkamuflase di media sosial menjadi seorang perempuan muda dengan target menjerat 5000 anak-anak dalam aksinya.
Melalui media sosial pelaku meyakinkan korban bahwa ia betul-betul seorang gadis remaja. Kemudian menjalin komunikasi dengan korbannya secara online. Setelah memdapatkan kepercayaan dari korban, David memaksa korban untuk mengirimkan foto sensual dan rekaman ekstrem mereka. Para korban bahkan ada yang sudah tidak sanggup melakukan keinginan yang diperintahkan David, tapi dia tidak memberi ampun dan memberi ancaman kepada korban. Beberapa korban bahkan ada yang mencoba untuk melakukan usaha bunuh diri karena stres di bawah ancaman David. Setidaknya di pengadilan, David mengakui kesalahannya atas 96 dakwaan pelecehan seksual terhadap 51 korban. Tercatat bahwa David Wilson mulai menyasar anak laki-laki terhitung pada awal Mei 2016 sampai April 2020.
Inilah bukti bahwa penerapan hukuman kebiri pada pedofil tidak bisa mencegah mereka untuk melakukan kejahatan serupa. (Republika, 24/11/2020)
Dalam pandangan Islam, tindakan pedofilia mendapatkan sanksi yang sangat berat. Menurut tulisan yang disadur dari pendapat Ustadz M Shiddiq Al Jawi dalam "Hukuman Kebiri bagi Pedofilia", pelaku dikenakan hukuman seperti berikut. Pertama apabila yang dilakukan oleh pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, maka hukumannya adalah hukuman untuk pezina atau had zina, yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) sebagaimana yang termaktub dalam hadits riwayat Bukhari no 6733, 6812 dan Abu Dawud no 4438. Atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan (TQS An Nuur : 2).
Kedua, apabila yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain.
Ketiga, apabila yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, maka hukumannya ta’zir. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1480; Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).
Sanksi ini bisa ditambah apabila kekerasan seksual pada anak-anak ini disertai dengan perampokan dan pembunuhan. Maka hukuman di atas berlapis dengan sanksi atas perampokan dan pembunuhan, yaitu pemotongan tangan dan kaki secara silang atau disalib, dan hukum qishos bagi pembunuhan. Kecuali keluarga korban memaafkan pelaku dan pelaku membayat sejumlah denda yang ditetapkan oleh keluarga korban.
Mengerikan! Namun sungguh inilah sanksi tegas yang mampu membuat para pelaku pedofilia menjadi jera untuk beraksi.
Sementara sanksi pengebirian yang ditetapkan oleh negara saat ini, ternyata sangat bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini didasarkan pada perkataan Nabi Muhammad sholallahu 'alaihi wassalam, dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata,
"Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW),
'Bolehkah kami melakukan pengebirian?' Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Begitulah bila negara berhukum tidak berstandar pada syariat. Hal yang haram menjadi halal, atau sebaliknya. Hukum disesuaikan dengan kehendak manusia (penguasa) atau disesuaikan dengan kebanyakan hukum yang dipakai oleh negara lain. Padahal nyatanya bertentangan dengan syariat.
Untuk itulah penting untuk menerapkan Islam secara totalitas. Islam tidak hanya menetapkan pedofilia sebagai perbuatan yang keji lagi haram. Namun juga menerapkan sanksi yang tegas terhadap pelaku pedofil. Sebab sistem persanksian dalam Islam memiliki sifat hukum yang zawajir dan jawabir. Zawajir berarti sebagai pencegah, sehingga bila terjadi satu kemaksiatan dan diberikan hukuman, maka membuat orang lain yang akan melakukan kemaksiatan yang sama berpikir ulang saat hendak melakukan kemaksiatan. Sedangkan jawabir artinya hukuman yang didapatkan pelaku kemaksiatan di dunia akan menghapus dosanya di akhirat kelak. Jadi pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban atas kemaksiatan yang dilakukannya.
Demikianlah sempurnanya Islam mengatur kehidupan manusia. Baik di tingkat kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Jadi Islam tidak hanya sebatas mengatur bagaimana manusia menyembah Tuhannya dan menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Jauh dari itu, Islam secara sistemik mampu melahirkan manusia-manusia yang hidup secara manusiawi, berkeprimanusiaan, dan menjadikan berkepribadian salih dengan nilai ruhiyah dan aturan dalam kehidupan, termasuk sistem persanksian. Karena itu menjadi wajib dan niscaya adanya Islam diterapkan secara sempurna.
Wallahu a'lam bishowab.[]
Photo : Google Source