Islam sebagai sebuah ideologi, tidak akan memperlakukan manusia layaknya mesin industri sebagaimana ideologi sekuler-kapitalisme.
Oleh. Dyah Rini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com -"Saya tidak tahu apakah nanti masih relevan dua anak cukup, atau semakin banyak anak semakin cukup." Ujar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi. Pernyataan Muhadjir itu disampaikan setahun yang lalu dalam acara Launching Commitment Family Planning 2030 di Hotel Westin Jakarta. Acara itu diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerja sama dengan United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia tepatnya pada 1 Agustus 2022. (www.kemenkopmk.go.id)
Ungkapan yang disampaikan oleh Muhadjir tersebut dilandasi rasa kekhawatiran terhadap persiapan lndonesia menyambut era bonus demografi tahun 2030 hingga 2040 mendatang. Memang benar, secara otomatis ketika masa puncak bonus demografi itu telah terlampaui, kondisi penduduk usia produktif akan berubah menjadi penduduk usia tua (aging population). Maka, jika pembatasan keturunan melalui program Keluarga Berencana (KB) terus berlanjut, akan berakibat pada menurunnya angka kelahiran. Dengan kata lain jumlah penduduk usia muda akan turut menurun. Bahkan, akan bisa mengakibatkan lost generation ketika banyak keluarga mengadopsi ide child free yang marak dipromosikan beberapa waktu lalu. Dari sini maka muncul pertanyaan, apakah pembatasan jumlah kelahiran dua anak cukup perlu dikaji ulang? Lalu kebijakan seperti apakah yang harusnya diambil negara dalam mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) agar relevan dengan bonus demografi?
Pengertian Bonus Demografi
Menurut Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Population Fund (UNFPA)), bonus demografi dimaknai sebagai potensi pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat struktur jumlah penduduk dengan perbandingan usia kerja (15-65 tahun) lebih besar daripada usia tidak kerja (0-14 tahun dan lebih dari 65 tahun). (wikipedia.org)
Masih menurut UNFPA, negara dapat menikmati bonus demografi ketika setiap orang dapat mendapatkan kesehatan yang baik, pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, dan kemandirian anak muda. Bonus demografi juga harus seiring dengan peningkatan produktivitas penduduk usia kerja tersebut.
Indonesia adalah negara yang diprediksi mendapat bonus demografi pada tahun 2030 hingga 2040 mendatang dengan proporsi usia produktif mencapai lebih dari 60%. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 tercatat sebanyak 270,20 juta jiwa, terbesar se-ASEAN, dan nomor empat di tingkat dunia. Dengan jumlah penduduk yang besar tersebut, khususnya usia produktif menjadi aset kekayaan negara berupa Sumber Daya Manusia (SDM). (www.kominfo.go.id)
Upaya Pemerintah Menyongsong Bonus Demografi
Bagi negara-negara penganut ideologi kapitalisme, hal yang wajar selalu mengaitkan segala sesuatu dengan keuntungan materi dan unsur kemanfaatan. Tak terkecuali dalam hal memandang sumber daya manusia pada usia produktif. Mereka dianggap sebagai angkatan kerja yang akan menggerakkan perekonomian negara. Berdasarkan data dari BPS, jumlah penduduk angkatan kerja per tahun 2020 sebanyak 140 juta jiwa dari total penduduk Indonesia. Maka, pada tahun 2030 jumlah tersebut bisa diperkirakan meningkat pesat.
Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan membuka keran investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk membuka lapangan pekerjaan bagi mereka. Pemerintah juga membuka banyak sekolah kejuruan (vokasi) yang lulusannya telah disiapkan untuk memenuhi pesanan dunia industri. Sementara untuk mendukung pengembangan Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah (UMKM), pemerintah telah mengucurkan dana berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR). Begitu juga diluncurkannya kartu prakerja diakui sebagai solusi menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun, fakta yang terjadi di lapangan banyak terjadi kontradiksi. SDM yang digadang-gadang sebagai motor penggerak industri kebanyakan kualitas pendidikannya masih rendah, sehingga mayoritas mereka menjadi buruh kasar yang mendapat upah kecil. Lapangan pekerjaan yang tersedia pun ternyata hanya sedikit, mirisnya lagi fakta saat ini mereka harus bersaing dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang berduyun-duyun masuk ke dalam negeri. Mereka yang kalah bersaing akhirnya harus rela menjadi pengangguran.
Kurikulum pendidikan yang acap kali berganti nyatanya juga tidak mampu mencetak generasi yang berkualitas, mandiri, dan tangguh sesuai yang diharapkan. Kurikulum Merdeka Belajar yang diterapkan saat ini pun disinyalir hanya menyibukkan tenaga pendidik pada urusan administrasi daripada urusan pengajaran dan pembinaan generasi. Para pelajar diarahkan bebas mengakses segala informasi terkait materi ajar dari segala sumber. Akibatnya mereka mendapatkan pengetahuan tanpa filter yang mampu mengarahkan mana sesuatu yang boleh diambil dan mana yang tidak.
Ditambah lagi materi penguatan akidah makin minim dalam daftar materi ajar. Kalaupun diajarkan, pengaruhnya tidak membekas dalam benak pelajar. Sebagai bukti, problem remaja hari ini belum juga teratasi. Tawuran antarsiswa, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, bullying, dan lainnya tidak pernah surut dari pemberitaan media. Lantas, mampukah melimpahnya SDM itu menjadi bonus demografi atau malah menjadi bencana demografi? Lalu adakah relevansi antara bonus demografi dengan program pembatasan keturunan?
Asal Ide Pembatasan Keturunan
Ide pembatasan keturunan berawal dari negara Eropa yang dimotori seorang ilmuwan, Robert Malthus pada tahun 1798 dengan artikelnya yang berjudul Pertambahan Jumlah Penduduk dan Pengaruhnya pada Kemajuan Masyarakat di Masa Datang. Ia mengatakan pembatasan keturunan dilakukan dengan melakukan pencegahan kelahiran setelah memiliki keturunan (anak) dalam jumlah tertentu.
Ide ini dipengaruhi ideologi sekuler-kapitalisme Barat dalam memandang keberadaan barang dan jasa, yang dikaitkan dengan kebutuhan manusia. Menurut mereka barang dan jasa jumlahnya terbatas, sementara itu kebutuhan manusia tidak terbatas. Maka untuk memecahkan masalah ini perlu dilakukan peningkatan produksi agar kebutuhan manusia yang terus meningkat, tercukupi. Begitu pula mereka berpendapat bahwa harus dilakukan pembatasan keturunan untuk menekan kebutuhan manusia.
Orang-orang Barat telah mengadopsi ide ini dan menerapkan di negaranya. Kemudian memasarkan bahkan memaksakan ke negeri-negeri muslim, tak terkecuali negara Indonesia. Sebagai bukti, bergabungnya Indonesia dalam kemitraan di tingkat global dengan terbentuknya Commitment Family Planning 2030 (FP 2030). Tujuan kemitraan tersebut adalah untuk memberdayakan perempuan dengan berinvestasi pada konsep keluarga berencana.https://narasipost.com/challenge-np/09/2023/bonus-demografi-dan-ancaman-depopulasi/
Keluarga Berencana (KB) merupakan program pemerintah untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk. Menilik UU No.10 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menjelaskan bahwa KB adalah upaya meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga, serta keluarga bahagia dan sejahtera.
Pandangan Islam
Pembatasan keturunan dan pengaturan kelahiran adalah dua hal yang berbeda. Pembatasan keturunan adalah pemutusan masa kelahiran selamanya dengan menggunakan obat-obatan atau operasi dengan tujuan membatasi jumlah penduduk hingga batas tertentu. Pemikiran ini jelas telah terpengaruh ide sekularisme, yang memisahkan agama dari kancah kehidupan. Mereka lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa Allah Swt. telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. sebagaimana firman-Nya: "Tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah telah memberi rezekinya. dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (lauhulmahfuz)." (TQS. Hud: 6)
Terkait fakta kebutuhan manusia, sejatinya adalah tetap (statis). Yakni kebutuhan primer (basic needs) yang meliputi sandang, pangan, dan papan. Sedangkan yang berubah adalah kebutuhan sekunder dan tersier yang dipengaruhi oleh peradaban manusia. Maka solusi agar kebutuhan manusia terpenuhi, bukan terfokus pada bidang produksinya, melainkan pada aspek pendistribusiannya. Sehingga terjadi pemerataan ketersediaan barang dan jasa tiap individu. Tidak ada dominasi yang satu terhadap yang lain. Umat Islam dilarang mengadopsi ide pembatasan keturunan tersebut karena:
Pertama, ide itu lahir dari akidah kapitalisme yang bertolak belakang dengan akidah Islam.
Kedua, Islam mendorong untuk memperbanyak keturunan. Rasulullah saw. bersabda: "Nikahilah wanita yang penuh kasih sayang dan memiliki banyak keturunan, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lainnya." (HR. Abu Dawud)
Terkait dengan pengaturan kelahiran maka hukumnya adalah mubah. Ini adalah pilihan tiap individu untuk mengatur kelahiran. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Abu Dawud: "Telah datang seorang laki-laki dari kalangan Anshar kepada Rasulullah saw. lalu berkata, 'Sesungguhnya aku mempunyai seorang budak wanita dan aku sering menggaulinya, tapi aku tidak suka dia hamil.' Maka Rasulullah saw. bersabda, 'Lakukanlah 'azl padanya jika kamu suka, karena sesungguhnya tetap akan terjadi padanya apa yang ditakdirkan baginya."
'Azl adalah tindakan menumpahkan sperma di luar vagina wanita. Hal ini bisa disamakan dengan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan. Maka sejatinya program KB dengan tujuan mengatur kelahiran tidak bertentangan dengan syarak dan boleh dilakukan. Namun, jika tujuannya untuk membatasi keturunan dengan jumlah tertentu lalu dilakukan pemutusan masa kelahiran secara permanen maka hal ini tidak boleh dilakukan kecuali alasan syar'i, adanya penyakit kanker misalnya.
Maka, perlu kiranya pengkajian mendalam terhadap program Keluarga Berencana (KB) agar lebih fokus kepada penciptaan keluarga yang bahagia sejahtera, terpenuhi kebutuhan dasarnya dan agar fungsi keluarga terwujud dengan baik. Hal ini jelas tidak lepas dari peran negara.
Khatimah
Islam sangat memperhatikan pertumbuhan penduduk sebagai unsur penting untuk ketahanan negara. Islam juga telah menjadikan pemeliharaan atas keturunan sebagai salah satu tujuan mulia (al- matsalul 'ulya).
Islam sebagai sebuah ideologi tidak akan memperlakukan manusia layaknya mesin industri sebagaimana ideologi sekuler-kapitalisme. Mereka yang berusia muda akan dicetak untuk menjadi agent of change yang akan mewujudkan negara adidaya. Yaitu negara yang akan memimpin dunia dan menyebarkan cahaya Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Negara juga akan menerapkan sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam. Sehingga terlahir generasi yang mempunyai syakhshiyah Islam (kepribadian Islam). Yakni generasi yang akalnya senantiasa dipimpin oleh akidah Islam dan sikapnya dibimbing oleh syariat Islam.
Inilah bonus demografi yang sesungguhnya Hal ini akan terwujud jika sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Yakni sistem yang akan menerapkan seluruh syariat Islam secara keseluruhan (kaffah).
Wallahu'alam bishowab. []
Dalam sistem kapitalis bonus demografi dianggap masalah, karena salah cara pandang.
Yach negotulah kapitalisme, bonus demografi dianggap sebagai ancaman nyata. Padahal, jika dieksekusi dengan baik, maka akan membawa rahmat. Solusi-solusi yang ditawarkannya pun akan menimbulkan masalah baru. Contohnya, mau nikah ribet larena umur dibatasi, tapi kalau zona mudah karena bebas.
Solusi terbaik memang hanya ada pada Islam
dalam kapitalisme, semua serba jadi simalakama. resesi seks berbahasa, bonus demograsi pun menjadi beban negara.
Sistem kapitalisme justru akan membuat bonus demografi menjadi petaka. Andaipun mereka berhasil mencapainya, manusia hanya akan menjadi budak industri yang menggerakkan ekonomi negara-negara kapitalis.
Bonus demografi akan teriayah dengan baik jika Islam dijadikan aturan. Namun, akan menjadi "bencana" jika kapitalisme yang berbicara.
Hem, permasalahannya memang bukan di pembatasan jumlah kelahiran manusia. Melainkan bagaimana negara mengurus masyarakat dengan jumlah yang makin banyak dengan baik sesuai tuntunan Islam. Sehingga bonus demografi bisa menjadi momentum kebangkitan umat dan peradaban Islam.
Dalam negara penganut sistem kapitalisme bonus demograpi adalah sesuatu yg dianggap wajar, karena diharapkan mampu mendongkrak kemajuan perekonomian. Maka tak heran dasar pendidikan yg diterapkan saat ini bagaimana mencetak generasi jadi pekerja bahkan bagaikan mesin yg siap dikuras tenaganya. Sangat berbeda dg Islam yg malah memperlakukan manusia dg mulia