Poligami sampai kapan pun merupakan syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah Swt. Tidak sepantasnya kaum muslim mengharamkan apalagi sampai mencelanya. Perlu diketahui bahwa tidak ada syarat “adil” maupun “harus mendapat izin istri” dalam berpoligami. Berlaku adil adalah konsekuensi/akibat dari akad pernikahan poligami yang wajib dipenuhi setelah ijab kabul, sama halnya seperti memberi nafkah setelah menikah. Poligami akan sanggup diterapkan manusia karena sesuai dengan fitrahnya.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Poligami merupakan salah satu syariat Islam yang penuh kontroversi. Bagi seseorang yang telah keracunan islamofobia akan menganggap bahwa poligami adalah “sunah yang menzalimi perempuan”. Pembicaraan pun umumnya seputar syahwat dan “kasur”. Masyarakat awam biasanya berspekulasi bahwa pihak suami tidak menghargai perasaan istrinya yang sedang dimakan api cemburu. Mereka pun kerap memberi pujian pada istri yang rela dimadu, sedangkan istri muda akan dicap sebagai pelakor. Lantas, benarkah poligami dalam pandangan Islam menzalimi kaum perempuan? Mari kita bahas!
Unlimited Menjadi Limited
Jika membaca sejarah, poligami telah dipraktikkan oleh orang-orang zaman dahulu. Misalnya, dalam tradisi Aztec, raja dan kaum bangsawan berhak memiliki selir sebanyak mungkin dan semampu mereka. Diketahui bahwa penguasa Aztec dari Meksiko, Raja Montezuma II memiliki 4.000 selir. Selain itu, di Sri Lanka, Raja Kashyapa dari Sigirya memiliki 500 perempuan di haremnya (Liputan6.com, 27/4/2017).
Di Eropa misalnya, dalam sebuah buku biografi disebutkan bahwa Raja Juan Carlos telah meniduri hampir 5.000 wanita selama berkuasa. Bahkan Raja Prancis, Louis XIV (1638-1715) memiliki beberapa selingkuh dan istri rahasia selama berkuasa (Sindonews.com, 6/11/2021).
Budaya poligami zaman dahulu muncul akibat kaum perempuan dianggap sebagai warga kelas dua yang diperlakukan layaknya harta benda. Perempuan tidak diberi kesempatan mengenyam pendidikan sehingga mustahil untuk berkarya dan mencukupi kebutuhan dirinya. Para perempuan hanya bergantung pada ayah, saudara laki-laki, dan suami untuk memenuhi kebutuhannya. Alhasil, perempuan yang tidak menikah biasanya akan diperlakukan sebagai pelacur dan budak untuk melayani segala kebutuhan laki-laki.https://narasipost.com/syiar/09/2022/poligami-perkara-mubah-namun-berfaedah/
Peperangan pada zaman dahulu juga sangat kejam dan mengakibatkan banyak kaum laki-laki yang tewas. Poligami pun dianggap sebagai solusi untuk mempercepat perkembangan jumlah penduduk di suatu negeri. Para raja atau penguasa menjadikan poligami sebagai urusan politik untuk memperluas kekuasaannya dan menjalin hubungan baik dengan para bangsawan. Suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang raja atau para bangsawan memiliki banyak istri. Artinya, poligami dengan jumlah istri tanpa batas telah menjadi kultur masyarakat sejak zaman dahulu. Bahkan, kaum perempuan atau istri dapat diwariskan, dijual, dan dipertukarkan.
Kemudian pada tahun kedelapan Hijriah, Islam hadir untuk membatasi jumlah istri dalam berpoligami yang tadinya unlimited, dibatasi maksimal empat orang saja. Allah Swt. telah berfirman:
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (TQS. An-Nisa: 3)
Sejak saat itu, selama 1300 tahun, tidak ada perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya poligami di seluruh umat Islam. Pro dan kontra baru muncul pada abad ke-19 M atau ke-14 H. Saat itu imperialis Barat yang berideologi sekularisme menancapkan racun pemikiran di benak kaum muslim. Pola pikir pada sistem pemerintah sekuler membuat poligami menuai polemik.
Mulai muncul beberapa liberalis yang menggugat dan menolak poligami, seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), Ameer Ali (1849-1928), Muhammad Abduh (1849-1906), Qasim Amin (1863-1908), dan lain-lain. Sangat disayangkan, serangan dan penolakan poligami dinormalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan oleh penguasa di negeri-negeri muslim.
Ketika Poligami Menuai Polemik
Kaum feminisme berpendapat bahwa tak ada satu pun perempuan yang mampu dan rela untuk dipoligami. Bagi mereka, poligami itu sebenarnya sama dengan selingkuh atau bentuk pengkhianatan suami yang dibalut tuntunan agama. Sebaliknya, bagi kaum laki-laki, poligami itu boleh asalkan merasa diri mampu berlaku adil dan tidak perlu mendapat izin istri.
Menanggapi pro dan kontra ini, kaum muslim memang dilarang menjadikan akal dan perasaannya untuk menentukan predikat perbuatan itu terpuji atau tercela. Ukuran akal akan memungkinkan terjadinya perselisihan pendapat, perbedaan, dan kontradiksi. Biasanya predikat baik atau buruk sangat dipengaruhi lingkungan hidup dan akan berubah-ubah di setiap masa. Apabila aturan hidup diserahkan pada akal manusia yang serba terbatas, maka urusan poligami atau poliandri bisa saja dipandang baik bagi sekelompok orang, namun tercela bagi kelompok lain. Alhasil, karena banyaknya manusia, terutama pihak perempuan yang merasa dizalimi setelah dipoligami, membuat mereka mencela syariat Islam.
Manusia cenderung akan menganggap poligami itu baik jika mendatangkan manfaat dan menganggap buruk ketika membawa petaka bagi rumah tangganya. Padahal, suatu perbuatan itu dianggap baik atau buruk tidak bisa dilihat dari sisi manfaat ataupun mudarat. Standar baik atau buruk semata-mata berdasarkan rida Allah Swt. atau tidak.
Bagi Islam, akal tidak bisa dijadikan dalil. Fungsi akal dalam hal ini hanya digunakan untuk memahami hukum syarak yang sudah ditentukan oleh Allah Swt. Predikat aturan itu baik atau tercela hanya ditentukan oleh kekuatan yang ada di luar akal, yakni berasal dari wahyu Ilahi. Adapun amal yang terbaik harus sesuai dengan sunah Rasulullah dan niatnya ikhlas mengharap rida Allah Swt. https://narasipost.com/syiar/09/2021/apa-hukum-poligami/
Ini hanya sekelumit masalah jika akal manusia digunakan untuk menentang syariat Islam dan justru digunakan untuk membuat dalil. Poin pentingnya adalah, akal memang didesain untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi apa saja yang akan terjadi jika ia menerapkan poligami. Laki-laki muslim yang baik seharusnya bisa memikirkan konsekuensi apa yang terjadi jika ia nekat melakukan poligami. Sehingga, sejak awal ia telah mempersiapkannya dengan mengokohkan hubungan rumah tangga dengan istri pertamanya. Ia tidak gegabah, lalu membohongi istri atau malah mengkhianati cinta yang sudah lama dibangun. Sebab, ia tahu bahwa poligami merupakan bab paling tertinggi dalam urusan nikah. Jika bangunan rumah tangga dengan istri pertama saja tidak kokoh, maka akan sulit untuk menambah bangunan lagi di atasnya. Bisa-bisa semua akan roboh dan perceraian menjadi pilihan terakhir.
Akal dan perasaan bisa digunakan untuk menilai apakah istri telah siap untuk dipoligami atau tidak. Dengan berpikir, suami bisa menakar kemampuannya apakah ia mampu atau tidak untuk memutuskan semua ini. Pihak istri pun juga begitu. Namun, sekali lagi manusia tidak berhak menetapkan bahwa poligami itu haram atau sudah tidak relevan lagi.
Mubah tetapi Tak Mudah
Islam memang membolehkan poligami, namun Allah Swt. memerintahkan mereka untuk berbuat adil kepada istri-istrinya. Sebagaimana firman Allah Swt.:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْۤا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَا لْمُعَلَّقَةِ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu berlaku cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (TQS. An-Nisa: 129)
Keadilan yang dibebankan kepada suami adalah keadilan yang mampu diwujudkan dan diwajibkan oleh hukum syarak. Suami diwajibkan berlaku adil dalam perkara-perkara yang ia mampu, seperti muamalah, membagi waktu menginap, dalam hal makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Di sisi lain, suami diperbolehkan cenderung dalam hal cinta, kasih sayang, dan hasrat seksual. Hal ini karena “perasaan” memang berada di luar kemampuan dan kendali manusia.
Secara fitrah memang seorang laki-laki tidak dapat berlaku adil dalam membagi perasaan cinta dan sayang. Tentu saja, suami memiliki kriteria tersendiri, siapa di antara istri-istrinya yang paling ia cinta. Sebagai contoh, gaji suami akan dibagi secara adil tanpa memandang kadar cintanya. Jangan karena istri kedua lebih dicintai, lantas suami hanya menafkahinya tetapi menelantarkan istri pertama. Sehingga, biasanya petaka yang menimpa rumah tangga yang menerapkan poligami disebabkan oknumnya sendiri yang melanggar hukum syarak.
Petaka sering terjadi karena suami memulai poligami dengan kebohongan dan kemaksiatan, misalnya dengan berselingkuh. Poligami kerap dijadikan pelarian jika hubungan dengan istri pertama sudah kurang harmonis. Ditambah lagi, memang dari awal suami tidak sanggup menafkahi rumah tangganya, namun bersikeras untuk menambah istri lagi. Akibatnya, poligami sering diwarnai konflik yang tak berkesudahan, bahkan berujung perceraian. Padahal, banyak rumah tangga yang harmonis meskipun suaminya berpoligami. Semua ‘kan tergantung dari pemahaman dan pilihan-pilihan yang telah mereka lalui, misalnya mendalami ilmu agama dan telah memusyawarahkan terlebih dahulu dengan pasangan.
Mengapa poligami seolah susah untuk diterapkan di zaman sekarang? Jika kita analisis lebih dalam, jangankan untuk berpoligami, menghidupi satu istri saja di zaman sekarang sudah susah bagi sebagian orang. Jangankan jumlah istri, jumlah anak pun ingin dibatasi oleh negara. Tidak hanya rumah tangga poligami yang sering menuai polemik, rumah tangga monogami pun kerap juga mengalami nestapa. Namun, mengapa orang tidak mencela pernikahan monogami? Artinya ‘kan, sebenarnya poligami itu relevan, hanya saja negara yang berasaskan kapitalisme memang tidak mendukung dan bertolak belakang dengan syariat Islam.
Masyarakat pada umumnya menganggap poligami hanya sekadar masalah “ranjang” dan syahwat. Padahal, realitasnya, poligami itu akan menambah beban tanggung jawab dan amanah bagi suami. Belum lagi, menambah hisab di akhirat kelak jika suami tidak mampu berlaku adil dan menzalimi istri-istrinya. Hal ini yang sering tidak diperhitungkan oleh sebagian orang.
Untuk Berhasil dalam Poligami
Jika kita pelajari, rumah tangga yang berhasil menerapkan poligami biasanya karena pasutri memiliki ketakwaan dan akidah Islam yang kokoh. Sejak awal, mereka memiliki bonding yang kuat dan bervisi surga. Keimanan akan membuat istri menghormati keputusan suami. Adapun suami yang beriman paham betul bagaimana berlaku adil dan bijak terhadap istri-istrinya.
Menyadari bahwa pasangan bukanlah ahli telepati yang bisa membaca pikiran dan mengerti isi hati. Maka komunikasi, membuka hati, serta menyimak baik-baik harapan dan juga keluhan pasangan sangat menentukan hasil akhir. Menanyakan dan meminta penjelasan tujuan dari poligami sangatlah penting. Pihak istri pun harus berani speak up mengenai pendapatnya. Kemudian, menjelaskan dengan jujur mengenai alasan mengapa tidak menyetujui atau merestui keputusan suami.
Dalam pemerintahan Islam, kebijakan negara bukan saja mengatur urusan administrasi pernikahan. Lebih dari itu, negara akan mengeluarkan kebijakan yang mendorong agar kehidupan pernikahan menjadi sehat dan berkah. Setiap orang bisa menikah dengan mudah karena kaum laki-laki dimudahkan mendapat lapangan pekerjaan. Di sisi lain, ada kebijakan yang melarang pornoaksi dan pornografi, serta layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan digratiskan.
Syariat Islam Sesuai Fitrah Manusia
Berdasarkan hasil studi neurosains, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan struktur otak yang memengaruhi watak dasar dari masing-masing gender. Hal ini yang membuat laki-laki dan wanita memiliki cara berbeda dalam mengendalikan segala aktivitas, seperti pengalaman emosi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
Sudah lumrah kita dengar bahwa seorang istri bisa memaafkan suaminya yang ketahuan selingkuh dan berzina, jika suaminya sudah meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya. Sebaliknya, suami/laki-laki normal tidak bisa menerima jika perempuan yang ia cintai ketahuan berzina. Setelah diteliti, otak perempuan didesain Allah Swt. dengan watak bersedia dan rela untuk berbagi atau berkorban. Makanya jangan heran jika seorang ibu rela bertarung nyawa dan berbagi dengan anaknya. Ternyata pada titik tertentu seorang perempuan juga bisa berbagi dalam cinta.
Laki-laki pada umumnya memiliki ukuran hipotalamus 2,5 kali lebih besar dari perempuan. Hipotalamus merupakan otak bagian tengah, di mana salah satu fungsinya sebagai pusat syahwat birahi. Artinya, memang secara fitrah, laki-laki memiliki syahwat yang lebih besar dari perempuan. Sebaliknya, kaum perempuan mempunyai batas kemampuan berhubungan intim, seperti saat menstruasi dan nifas. Kemudian, gairah juga akan berkurang ketika sudah menopause. Selain itu, hipotalamus juga berfungsi menjaga keamanan, melindungi, berburu, dan menafkahi. Karena itu, laki-laki memiliki kemampuan lebih besar untuk menjaga keamanan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari bentuk fisik dan tenaga laki-laki yang cenderung lebih kuat dari perempuan. Ini membuktikan bahwa secara fitrah memang laki-laki diberi kemampuan secara fisik dan mental untuk berpoligami. Pun perempuan secara fitrah bisa berbagi dan akan kesusahan untuk melakukan poliandri.
Melihat maraknya kasus perzinaan dan perselingkuhan, sebenarnya poligami yang sesuai syariat Islam mampu untuk meminimalisasi kerusakan sosial, misalnya perselingkuhan. Poligami dapat menjadi solusi alternatif untuk mencegah perzinaan. Bahkan, dapat mengurangi beban negara dalam menjamin kesejahteraan warganya, seperti mereka yang janda dan anak yatim. Selain itu, poligami juga dapat meningkatkan populasi berupa potensi lahirnya generasi penerus dengan cepat.
Khatimah
Poligami sampai kapan pun merupakan syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah Swt. Tidak sepantasnya kaum muslim mengharamkan apalagi sampai mencelanya. Perlu diketahui bahwa tidak ada syarat “adil” maupun “harus mendapat izin istri” dalam berpoligami. Berlaku adil adalah atsar (konsekuensi/akibat) dari akad pernikahan poligami yang wajib dipenuhi setelah ijab kabul, sama halnya seperti memberi nafkah setelah menikah. Syariat Islam hadir untuk memuliakan kaum perempuan yang dahulu dianggap tidak memiliki hak, termasuk diturunkannya aturan nikah dan poligami. Poligami akan sanggup diterapkan manusia karena sesuai dengan fitrahnya. Adapun saat ini dianggap tidak relevan, karena memang sistem maupun aturan negara tidak mendukung dan menaungi syariat Islam kaffah. Wallahu a’lam bishawwab.
Masyaallah. Islam begitu sempurna untuk menjaga fitrah manusia. Termasuk syari'at poligami yang dianggap sesuatu yang menakutkan bagi kaum perempuan. Padahal di dalamnya terdapat hikmah yang luar biasa. Semoga makin banyak yang tercerahkan dengan naskah mba@ Mila yang okey punya.
Naskahnya bagus. Namun benar, meski mubah namun tak mudah menjalani poligami. Apalagi jika hanya sekedar nafsu semata, bukan hanya istri pertama yang terzalimi. Namun anak-anaknya pun akan terkena imbasnya, entah trauma, entah bullying diantara teman-temannya. Karena itulah yang nampak dalam kehidupan saat menemui kasus poligami yang terjadi.
Iya, karena negara dan media memang tidak mendukung poligami Mba. Jadi, poligami langka dan aneh dimasyarakat.
Ini yang dibilang Mom, family rasa opini ya. Tapi keren kok, daripada saya belum pernah menulis family. Ya, kita kok seperguruan ya, nulis rubrik apa saja, rasanya tetap opini, wkwk ...
Iya Mba,, Tos kalau gitu. mungkin karena kebiasaan nulis opini setiap pekan, jadi ketularan ke semua rubrik. rasa opini semua. hehe
Selalu ada kebaikan di balik syariat Islam. Poligami bisa menjadi solusi bagi sebagian muslim. Namun kebolehan poligami tidak boleh dianggap mudah karena semua itu juga akan dimintai pertanggungjawaban.
Iya Mba, pernikahan monogami saja sudah susah, apatah lagi poligami
Pembahasannya komprehensif. Mantap
Jazakillah khoir Mbaku
Tulisannya bagus mbak.
Ternyata hukum poligami kalau ditelisik ada kaitannya juga ya dengan bagian otak laki-laki dan perempuan. Masyaallah.
Iya Mba, laki-laki secara fitrah memang diberi kemampuan untuk poligami Mba.
Pertama kali me-challenge diri untuk nulis naskah family,, tapi masih jauh dari karakteristik naskah family, ini mah rasa opini
Coba lagi mbak, siapa tahu dapet piring. Hehe
Iye Mba, itu piring cantik yaa...