Ketika aku berada di titik paling rendah dalam hidupku, ketika itu pula aku merasakan cahaya Islam mulai memasuki kehidupanku.
Oleh. Yuli Juharini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap manusia yang lahir ke dunia pasti Allah uji dengan berbagai macam ujian. Allah Swt. tidak akan membiarkan setiap manusia hanya mengatakan, "Kami telah beriman," sebelum mereka diuji. Ujian itu pun tidak sama antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Tulisan ini pun bercerita tentang seorang anak manusia yang diuji oleh Allah Swt. selama masa hidupnya.
Tanggal 20 Juli 1966 aku lahir ke dunia. Pada saat aku lahir, bertepatan dengan tujuh hari kematian kakakku. Jadilah aku diberi nama Yuli Juharini. Yang mempunyai arti 'lahir pada bulan Juli tujuh hari ini'.
Aku tumbuh dan berkembang layaknya anak-anak lain, merasakan kasih sayang penuh dari kedua orang tua hingga pada suatu hari, ujian pertama itu datang menghampiriku. Tahun 1986 ayahku dipanggil "pulang" oleh Yang Maha Kuasa. Sedangkan sepekan lagi aku akan ujian kelulusan SMA. Betapa sedih kehilangan orang yang begitu menyayangiku, begitu pun dengan ibuku, beliau bahkan sampai menangis berhari-hari.https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/indahnya-berdamai-dengan-ikhlas/
Mulailah setiap hari aku isi tanpa kehadiran seorang ayah. Bagaimanapun juga hidup harus terus berlanjut. Aku pun lulus SMA dengan nilai kurang memuaskan sehingga ketika mendaftar di IKIP Semarang, aku tidak diterima. Saat itu aku sama sekali tidak belajar karena masih bersedih dengan kepergian ayah.
Akhirnya aku merantau ke Jakarta. Di Jakarta aku pernah bekerja sebagai penjaga toko sepatu di Sarinah Big & Beautiful Blok M. Kemudian aku juga pernah bekerja di Shilla Restaurant, Korean Barbeque & Japanese Food di belakang Hotel Indonesia, sebagai pelayan. Di Jakarta pula aku bertemu dengan jodohku. Kami menikah pada bulan November 1988 dan memutuskan untuk pindah ke Tangerang setelah anak pertama kami lahir pada tahun 1991.
Di Tangerang, aku melahirkan untuk kedua kalinya. Walaupun anakku dua-duanya perempuan, aku tetap bersyukur karena itu merupakan karunia Allah Swt. yang tak terhingga bagiku.
Tahun 2004 ujian itu datang lagi. Kali ini ibuku yang dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Kehilangan dua orang yang sangat kusayangi membuat sedihku makin bertambah. Setelah ayah pergi, kemudian ibu pun menyusulnya pergi.
Hari-hari aku lalui tanpa adanya kedua orang tua. Beruntungnya aku mempunyai suami yang baik dan selalu menguatkanku. Ditambah kehadiran dua bocah perempuan, yang membuat aku makin tegar menghadapi kehidupan, walaupun kedua orang tuaku telah tiada.
Satu tahun setelah kepergian ibuku, ujian berat kembali menghampiri. Pada tahun 2005, tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku mohon izin padaku untuk menikah lagi. Bagai disambar petir aku mendengarnya. Aku tanyakan, apa salahku? Beliau menjawab kalau aku tidak punya salah apa-apa. "Lalu mengapa minta izin menikah lagi?" tanyaku. Beliau hanya terdiam, tidak dapat berkata-kata. Tenggorokanku tercekat, bahkan untuk menelan ludah pun terasa sulit.
Akhirnya tanpa proses yang rumit, aku pun mengizinkan suamiku menikah lagi. Di negara ini, jika ada seorang suami ingin menikah untuk kedua kalinya, harus ada izin dari istri pertama. Jika tidak ada izin dari istri pertama, pernikahan hanya bisa dilakukan di bawah tangan, tidak dilegalkan oleh negara. Padahal dalam Islam, jika suami ingin menikah lagi tidak harus mendapatkan izin dari istri pertama.
Mengapa pada saat itu aku mengizinkan suamiku menikah lagi? Aku takut sekali jika suamiku melakukan zina karena pasti akan berimbas padaku, kedua anak perempuanku, juga pada orang-orang yang ada di lingkungan keluargaku, termasuk keluarga suamiku.
Penentangan justru datang dari keluarga suamiku, terutama ibu mertuaku. Beliau sama sekali tidak setuju jika anaknya menikah lagi. Bagi beliau, menantu perempuannya ya cuma satu, yaitu aku seorang. Namun, walau ditentang oleh ibu dan keluarganya, pernikahan kedua suamiku tetap dilaksanakan.
Mulailah babak baru dalam kehidupan rumah tanggaku. Ternyata begini ya rasanya dipoligami. Ada sedih, cemburu, marah, bercampur jadi satu. Punya istri satu saja masalah selalu ada. Apalagi punya istri dua. Namun, aku harus konsekuen dengan keputusan yang aku ambil untuk memberi izin suamiku untuk menikah lagi. Masalah hati, jangan tanya perasaanku pada saat itu. Bohong jika aku bilang aku baik-baik saja. Aku sempat tidak makan selama tiga hari karena memang tidak lapar, hanya minum yang lewat di mulutku.
Betapa berat aku rasakan di awal ketika pertama kali dipoligami. Terutama masalah waktu dan keuangan. Sudah terbiasa selalu ada di rumah setelah beraktivitas, kini tidak ada lagi. Banyak waktu yang tidak bisa dilewati bersama. Hanya ada aku dan kedua anakku. Belum lagi masalah keuangan, aku harus rela berbagi keuangan dengan istri baru suamiku. Yang membuat aku terhibur adalah perhatian suamiku padaku dan anak-anak tidak berkurang. Selalu menanyakan keadaan kami bertiga jika suami tidak ada di rumah. Komunikasi pun lancar, tidak ada masalah. Jadi kami bisa bicara apa saja yang menjadi keluh kesah kami.
Kemudian, ada lagi yang membuat aku terhibur dan kuat menghadapi itu semua, yaitu keberadaan kedua anakku yang selalu sehat, ceria, seolah-olah tidak terjadi sesuatu terhadap kedua orang tua mereka. Mungkin ada luka di hati anak sulungku ketika aku kasih tahu masalah yang terjadi terhadap bapaknya. Namun, itu tidak mengubah sifat cerianya. Dia waktu itu baru kelas VII SMP. Sedangkan si bungsu masih di bangku SD, jadi tidak merasakan perubahan yang berarti.
Begitulah, hari, minggu, bulan hingga tahun pun berganti. Ujian terberat itu pun datang lagi menghampiriku. Tepatnya hari Selasa tanggal 3 Agustus 2010, anak pertamaku, Feni, mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Hussada Insani setelah terlebih dahulu mengalami kecelakaan. Dia tertabrak motor ketika hendak menyeberang jalan.
Tidak dapat kubayangkan sebelumnya akan mengalami kejadian seperti itu. Aku merasa jadi manusia paling malang di dunia ini. Orang-orang yang aku sayang, satu demi satu telah direnggut dari hidupku. Napasku sesak saat menyaksikan gumpalan tanah menutupi tubuh anakku yang sudah terbujur kaku. Sementara itu, dari kedua mataku, bukan hanya tetesan air yang keluar, melainkan sudah membentuk dua anak sungai yang mengalir deras membasahi pipiku. Aku tidak tega melihat anakku pergi dengan cara seperti itu pada usia yang masih 19 tahun.
Ketika aku berada di titik paling rendah dalam hidupku, ketika itu pula aku merasakan cahaya Islam mulai memasuki kehidupanku. Hal itu berawal dari seorang teman yang datang menghiburku waktu aku masih bersedih karena kepergian anakku. Bu Bela, temanku itu, adalah orang pertama yang mengajak aku ngaji Islam secara kafah. Pada saat itu, beliau berjualan sayur siap saji, dan aku salah satu pelanggannya. Saat itu aku belum bisa baca Al-Qur'an, tetapi beliau tidak lantas mengejek atau mengolok-olok, bahkan beliau menyuruh temannya untuk mengajarkan aku baca Al-Qur'an.
Satu tahun lebih aku belajar baca Al-Qur'an sambil sesekali aku diajak berdiskusi tentang Islam. Aku dikenalkan dengan banyak teman oleh Bu Bela. Dari teman-teman itulah aku jadi tahu bahwa ternyata agama Islam yang aku peluk sejak aku lahir bukan sekadar salat, puasa, zakat, ataupun haji. Banyak sekali yang bisa kita kaji tentang Islam. Ibarat sebuah pohon, mempelajari Islam itu mulai dari akar hingga daunnya, termasuk juga tentang politik.
Bermula dari ngaji Islam secara kaffah itulah, mataku mulai terbuka lebar. Aku mulai mengerti keadaan saudara sesama muslim yang ada di berbagai belahan dunia. Sebagian dari mereka itu terpuruk, teraniaya, dan dizalimi tanpa satu pun ada yang menolongnya. Padahal, yang aku tahu, setiap muslim itu bersaudara. Ibarat satu tubuh, jika ada satu bagian saja yang sakit, seluruhnya akan ikut merasakan juga.
Mendengar dan melihat melalui media sosial, keadaan saudaraku di Rohingya, Palestina, Suriah, India, Uighur, dan lain-lain, membuat napasku menjadi sesak. Aku merasa ujian yang Allah berikan padaku itu belum seberapa jika dibandingkan dengan ujian yang dialami oleh saudara-saudaraku itu. Ternyata akar masalah dari semua itu adalah tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan. Padahal, Islam itulah solusi dari setiap permasalahan yang ada di dunia ini.
Sekarang usiaku sudah tidak muda lagi. Aku ingin mengisinya dengan sesuatu yang lebih bermakna dan berguna. Semua yang aku pelajari dari ngaji Islam secara kafah, aku sampaikan lagi, aku dakwahkan lagi pada saudaraku sesama muslim, agar mereka pun dapat mengenal Islam lebih baik lagi. Karena kebanyakan dari mereka itu belum tahu bahwa sesungguhnya Islam bukan sekadar agama, melainkan juga merupakan sebuah mabda atau ideologi.
Sekarang, aku tidak lagi merasa sebagai orang paling malang di dunia ini. Orang paling malang di dunia ini menurutku adalah ketika kita menawarkan solusi Islam dari setiap masalah yang ada, tetapi mereka tidak mau menerimanya, padahal mereka itu juga muslim.
Sebagai seorang muslim, harusnya mempunyai pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama. Peraturan itu dapat diterapkan di seluruh dunia ketika ada institusi negara yang menerapkannya, yaitu Daulah Khilafah. Saat itu semuanya diatur oleh Islam. Dahulu, sistem Islam itulah yang berhasil menyatukan umat hampir 2/3 dunia. Sistem itu akan kembali sesuai dengan yang dijanjikan oleh Allah Swt. Aku ingin sekali ikut terlibat dalam perjuangan menegakkan kembali janji Allah Swt. itu.
Jika tidak ikut terlibat dalam perjalanan, alangkah ruginya. Mengutip tulisan dari seorang sahabat, "Jangan sampai Khilafah yang sudah Allah pastikan tegak itu benar-benar tegak, sedangkan kita belum berkontribusi apa pun dalam proses penegakannya. Rugi besar."
Demikianlah perjalanan hidupku yang bisa aku tulis secara garis besar hingga sampai di titik ini. Sekarang aku sudah punya dua orang cucu. Suatu hari, ketika Khilafah tegak untuk yang kedua kalinya, walaupun mungkin aku tidak ada jika masa itu tiba, semoga semua keturunanku bisa mengalaminya. Wallahua'lam bi al-shawab.[]
MasyaaAllah,, bisa meringkas garis besar hidup dalam satu naskah yang utuh. Keren sih menurutku.
Alhamdulillah Allah menjadikan kita semua mengerti akan pentingnya memperjuangankan— menegakkan syariat Islam kaffah.
Maasyaalah ikut laruht dalam membacanya. Barakallah
Subhanallah, begitu bertubi-tubi ujian yang menerpa. Itu bukti Allah sayang kita. Semoga Allah menguatkan penulis dan memberikan kesabaran. Selama hidup, ujian akan selalu hadir.
MasyaAllah,.liku-liku kehidupan dan ujian yang luar biasa untuk b.Yuli, selalu tabah dan tegar. Semoga Istikamah dalam perjuangan, diberi umur yang berkah. Aamiin...
Masyaallah. Selalu ada hikmah di setiap cobaan dan ujian yang kita alami. Sebuah perjalanan hidup yang menjadi biru. Semoga selalu dikuatkan dalam menghadapi cobaan hidup.
Barakallah mba@Yuli
Ikut merasakan apa yang menimpa mbak Yuli, berbagai ujian hadir dikehidupan mbak, semoga senantiasa sabar. Ahamdulillaah di balik itu Allah pertemukan dengan sahabat yang menjadi pembuka jalan memahami Islam kaffah.
Masyaallah, sesungguhnya ujian tertentu hanya diberikan pada mereka yang mampu. Sedih baca kisahnya Mbak Yuli. Semoga kita diberi kesabaran seluas samudra ya. Barakallah ...
Teeharuuuu....
Awalnya aku senang, aku sepantaran dengan putri ibu yang pertama, setelah tahu jika beliau meninggal, ...
Padahal tahun 2010 adalah tahun dimana kami lulus SMA dan melanjutkan ke jenjang berikutnya. Baarakallah Ibu, semoga ibu diberi pahala atas kesabaran Ibu.