“Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar Ra’d: 11).
Oleh. Mahyra Senja
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Saat usia belia aku pernah terjerat dalam pergaulan bebas. Kondisiku begitu labil dan mudah terpengaruh oleh lingkungan. Salah satunya pertemanan, karena saat itu aku tidak punya rumah yang nyaman untuk pulang. Bagiku masa remaja merupakan masa yang penuh kenangan pahit. Dalam masa pubertas ini, aku tidak mempunyai pemahaman agama yang cukup. Nasibku sebagai anak broken home menjadikan diri ini rapuh bahkan aku tumbuh menjadi anak yang tidak mempunyai rasa percaya diri. Sehingga saat itu aku memilih pergaulan yang buruk. Aku tidak betah tinggal di rumah, mulai bergaul secara bebas, tidak menutup aurat, ngeband, dan pacaran.
Untungnya aku dikelilingi oleh teman-teman yang punya loyalitas tinggi, sehingga aku tak pernah kelaparan apalagi kehujanan. Aku sering menginap di rumah teman karena tidak betah tinggal di rumah. Bagiku tinggal di rumah bagaikan hidup di neraka. Setiap hari pasti ada pertengkaran dengan orang rumah dan akulah orang yang selalu menjadi pelampiasan emosi bagi ibu tiriku dan ayah. Padahal, aku rajin membantu ibu di rumah mulai dari memasak, mencuci piring, membersihkan rumah sampai menjaga kedua adik tiriku, tapi aku selalu dibeda-bedakan dan diacuhkan.
Kurangnya kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua, membuatku lupa akan diri sendiri sehingga kehilangan kendali. Hal yang paling menyakitkan bagiku adalah aku harus mengubur kerinduan pada ibu kandungku karena sejak berusia 5 sampai 12 tahun, kami terpisah dan tak pernah bertemu. Ayah selalu melarangku untuk mencari ibu karena ibuku mengalami gangguan jiwa dan diasingkan oleh keluarga. Semenjak saat itu hidupku semakin kacau.
Ayahku hanya sayang kepada ibu tiri dan anak-anaknya. Sehingga aku merasa terbuang dan hidup dalam ketidakadilan. Seakan-akan aku menumpang hidup di rumah sendiri. Penderitaan batin yang kualami cukup menyakitkan dan membuatku trauma. Namun banyak orang yang menyayangiku. Salah satunya nenek dan kakek. Aku tinggal di rumah mereka dan mulai berteman dalam sunyi. Hobiku membaca buku dan menulis. Di tengah keputusasaan, aku rajin meluapkan emosi ke dalam goresan pena.
Kakekku seorang ulama di kampung. Jadi, aku pun sering menuntut ilmu agama dan diajarkan untuk menutup aurat. Perjuanganku dalam bertahan hidup selalu diuji, meskipun tak mudah, tapi aku percaya akan selalu ada hikmah dalam setiap ujian kehidupan. Seperti yang tertuang dalam sebuah hadis yang artinya: “Setiap manusia pernah berbuat salah. Namun, yang paling baik dari yang berbuat salah adalah yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi).
Keinginan untuk bertobat agar menjadi pribadi yang lebih baik begitu besar, tapi saat aku mulai berubah, selalu saja ada kejadian pahit yang membuatku terpuruk. Peristiwa ini terjadi pada saat aku berusia 12 tahun, saat itu aku kembali tinggal dengan orang tua. Namun, aku mendapat penyiksaan batin dari ibu tiri yang begitu kejam. Ibuku sangat pelit dan sering memberikan aku nasi serta lauk yang basi. Sedangkan adik-adikku makan enak dengan lauk yang nikmat.
Pada suatu hari, aku tidak menuruti perintahnya dan keluar main sama teman. Saat kupulang, dia sangat emosi lalu menyiramkan nasi dan air di atas kepalaku. Aku hanya menangis tak berdaya. Hatiku terluka dengan sikapnya yang kasar dan aku sangat malu pada tetangga terutama pada orang-orang yang melihatku saat itu, bahkan aku pun pernah hampir kehilangan harapan karena tak punya biaya untuk melanjutkan sekolah.
Aku tak pernah mengambil rapor di sekolah, karena Ayah tak mau membayar iuran SPP. Padahal, Ayah telah menjual sawahnya, tapi hanya diberikan untuk kebutuhan ibu dan adik-adikku. Dia tak pernah peduli dengan pendidikanku. Aku harus berurusan dengan pihak sekolah karena masalah utang pendidikan yang jumlahnya kian menggunung.
Pada suatu hari, terjadilah peristiwa yang membuatku malu dan kehilangan harga diri. Saat tengah belajar di kelas, aku diusir pulang oleh karyawan bendahara sekolah. Ayah dipanggil ke sekolah untuk menyelesaikan masalah tunggakan SPP. Namun, beliau tidak pernah datang untuk memenuhi panggilan tersebut, sehingga aku pun dihina.
Tepatnya di depan kantor guru dan diketahui oleh siswa lainnya. Sejak saat itu, selama tiga hari aku tidak masuk sekolah dan hanya mengurung diri di kamar. Pikiranku tak karuan, rasa sedih menjalar dalam raga hingga akhirnya aku pun jatuh sakit. Tak disangka seorang teman menjenguk dan memberikan semangat agar aku tetap melanjutkan sekolah.
“Ayo masuk sekolah lagi, Mar. Nanti kita bisa belajar bareng lagi. Sayang kalau berhenti, kamu termasuk siswa berprestasi.”
Nasihat dari sahabatku membuat aku bangkit dan kembali sekolah, meskipun harus menahan rasa malu dan minder, tapi aku berupaya untuk menahan semua itu dan hanya bisa pasrah. Aku melangitkan doa di sepertiga malam, berharap cobaan itu bisa kulalui. Beberapa guru yang memahami kondisi keluargaku, menyambut dengan hangat. Sehingga tumbuh dalam diriku rasa percaya diri dan semangat dalam belajar. Sejak saat itu, aku tak peduli dengan semua hinaan orang-orang yang ditujukan padaku karena aku ingin meraih mimpi.
Untungnya saat itu aku punya tekad dan semangat belajar yang tinggi, sehingga guru-guruku masih memberikan kesempatan padaku untuk terus menuntut ilmu di sekolah itu. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar Ra’d: 11).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa sebagai manusia kita harus berjuang dengan ikhtiar dan doa, supaya nasib dapat mengubah keadaan. Aku berjuang untuk menempuh pendidikan meski harus melawan insecure dan keterpurukan, tapi ajaibnya atas pertolongan Allah Swt., aku bisa menempuh pendidikan SMA tanpa biaya. Ketika itu Allah Swt. telah memberikan jalan kemudahan bagiku di saat aku bersemangat menjemput hidayah-Nya.
Aku bertekad untuk hijrah dan mulai menekuni kajian agama, bergaul dengan sahabat di lingkungan yang islami, aktif dalam kegiatan rohani Islam, dan kegiatan exschool. Bagiku hijrah adalah kebahagiaan dan ketenangan, karena aku telah menemukan sebuah hakikat dalam hidup ini. Aku menemukan jati diri dan menjadi manusia baru. Semakin percaya diri dan semangat menjalani kehidupan, sehingga aku menjadi gadis yang mempunyai mental kuat, selalu mendekatkan diri pada Allah dan ternyata prestasiku juga meningkat. Aku tumbuh menjadi wanita salihah yang penuh keyakinan dalam menutup aurat.
Buah kesabaran itu sungguh manis, setelah aku bersabar dan tekun bekerja sambil kuliah selama empat tahun, bahkan aku juga berjuang untuk menuntut ilmu hingga akhirnya aku lulus dari perguruan tinggi dan menjadi sarjana pendidikan. Allah berikan anugerah terindah, aku tak menyangka bisa menjadi seorang pendidik yang mengabdikan ilmu pada lembaga pendidikan tempat aku menuntut ilmu selama di SMP.
Hingga bisa membalas budi pada guru-guruku, meski begitu bagaimana pun kebaikan mereka tentu tak ‘kan pernah bisa terbalas sepanjang hayat. Namun, aku tak ‘kan lupa dengan kebaikan mereka yang telah mengizinkan aku menuntut ilmu di waktu belia. Hingga utang budi itu pun bisa kubayar lunas.
Aku bersyukur bisa melewati ujian kehidupan yang begitu luar biasa. Kesuksesan yang kuraih sekarang karena kehendak Allah Swt. Hikmah dari kisah ini yaitu aku percaya tiada yang mustahil dalam hidup ini. Sesungguhnya dalam setiap kesulitan pasti akan datang suatu kemudahan. Yakinlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.
Terima kasih atas suppror dari teman-teman semua. Mohon doanya ya semoga ibu saya kembali. Amiin. Terima kasih juga sudah berkenan membaca semoga bisa melahirkan karya yang menginspirasi. amiin
Subhanallah perjalanan hidup Kak Mahyra luar biasa, itu menandakan Allah memilih Kakak sebagai salah satu hambanya yang kuat dan tangguh, alhamdulillah mendapat orang-orang yang memberikan semangat dan peduli lagi
True storynya masyaallah bagus semoga menjadi salah satu terpilih oleh juri
Semoga tetap istikamah, Mbak. Apa pun masa lalu, saat ini semua itu adalah pelajaran.
Masyaallah, semoga Allah jaga keistikaman dalam hijrahnya. Kisahnya macam di sinetron ya, sang ibu tiri. Barakallah ...
Barakallah.. semoga Allah Swt senantiasa menjaga Mbak Mahyra..
Barakallahu fiik untuk penulis. Semoga istikamah di jalan hijrah yang telah ditempuh. Aamiin.