Ya, lebih dari sekadar itu, mengingat aku bahkan pernah melahirkan bayi tanpa suara. Mungkin inilah yang disebut air mata bahagia.
Oleh. Ifana Kose
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Bismillahirohmanirohim," ujar Dokter T kala mulai meletakan sebuah alat ke atas perutku yang beberapa saat lalu telah dilumuri benda cair berbentuk gel. Lalu sesaat kemudian, beliau mengarahkan alat tersebut ke seluruh bagian perutku sambil melihat layar monitor.
"Alhamdulillah, air ketuban cukup, plasenta di atas, bayinya sehat, berat badan sudah 3 kg dan burung ini anaknya, Bu." lanjut dokter itu sambil tersenyum ramah.
”Alhamdulillah, apa pun itu, Dok, akan saya syukuri amanah ini." ujarku seraya ikut tersenyum.
Sesaat kemudian Dokter T telah usai melakukan pemeriksaan kepadaku, lalu beranjak pergi ke meja duduknya sembari menuliskan sesuatu di atas kertas. Di sisi lain, seorang wanita muda berpakaian seragam dengan sigapnya membersihkan sisa-sisa gel di perutku.
Mungkin asistennya batinku.
"Silakan duduk di kursi itu, Bu." ujar sang asisten sambil menunjuk kursi di depan Dokter T setelah usai membersihkan sisa-sisa gel dan merapikan bajuku.
"Baik, Mbak,” ujarku dengan senyum ramah pada wanita muda tersebut.
Sedetik kemudian aku telah mendaratkan pantatku pada kursi di hadapan Dokter T, sambil membuka percakapan.
"Jadi gimana, Dok?" ujarku dengan penuh tanda tanya.
"Alhamdulillah, secara keseluruhan sebenarnya bagus, Bu. Hanya ada sedikit masalah." ujar sang dokter menjeda pembicaraannya.
Deg. Jantungku berpacu lebih cepat, aliran darah seakan tak mengalir ke otak. Aku takut ada hal buruk terjadi pada kehamilanku ini. Pasalnya, ini adalah penantian pertama setelah enam tahun pernikahan kami, setelah mengalami beberapa kali keguguran dan 1 kali IUFD. Aku takut kejadian itu terulang lagi, kejadian saat melahirkan anak pertamaku dengan posisi sungsang sampai tak bisa tertolong karena terlambat penanganan.
Saat itu, aku harus merasakan sakitnya kontraksi sampai pada pembukaan delapan, terus lanjut dengan sakitnya luka operasi sesar. Namun, rupanya Tuhan tidak hanya menakdirkan dua rasa sakit itu. Dalam waktu bersamaan, Tuhan juga mengambil buah hati yang baru saja kuperjuangkan mati-matian, sehingga sakit yang kurasa benar-benar lengkap. Sakit fisik dan juga psikis.
"Jadi apa masalahnya, Dok?" tanyaku dengan cemas.
"Lagi-lagi posisi bayi ibu dalam keadaan sungsang." ujar dokter itu dengan raut menyesal. Pasalnya, Dokter T sudah mengetahui tentang riwayat kehamilan sebelumnya, karena kepada beliau pula aku memeriksa kehamilan pertamaku.
"Jadi apa yang harus saya lakukan, Dok?" ujarku berusaha tegar.
"Saran saya, ibu harus melakukan operasi SC, mengingat riwayat kehamilan ibu juga riwayat operasi SC sebelumnya." ungkap Dokter T.
"Baik, Dok. Menurut Dokter, kapan waktu yang tepat untuk saya melakukan operasi SC?” ujarku mantap, tanpa keraguan. Pasalnya aku memang telah mempersiapkan segala sesuatu untuk kehamilanku kali ini, mulai dari tenaga, waktu, juga materi.
"Sekarang pun kalau ibu siap bayinya sudah bisa dilahirkan. Alhamdulillah berat badannya sudah cukup usia, kandungan ibu juga sudah 38 minggu 5 hari." ujar Dokter T menjelaskan.
"Oh, gitu ya, Dok? Tapi di buku KIA HPL saya 24 Agustus, Dok. Artinya saya lahiran masih sebulan lagi dari sekarang.” ujarku kemudian.
"Mungkin ibu salah hitung HPHT, ini bayi ibu sekalipun tidak melakukan operasi SC, paling lama dua minggu lagi sudah lahir.” ujar Dokter T panjang lebar.
"Baik, Dok, saya siap operasi SC, tapi tidak hari ini, karena saya harus pulang dulu memberitahu keluarga." ujarku menjelaskan.
"Baik Ibu, ini saya beri waktu ibu di tanggal 27, 28, dan 29 bulan Juli ini. Silakan ibu datang nanti ke RSUD di antara tanggal ini, jangan lupa bawa surat pengantar ini dan juga hasil print out USG-nya. Insyaallah saya ada di tempat." ujar Dokter T sembari menyodorkan beberapa lembar kertas print out USG juga surat rujukan.
"Baik, terima kasih banyak, Dok, kalau begitu saya pamit dulu." ujarku seraya berdiri dari kursi dan di balas anggukan oleh Dokter T.
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong klinik ini dengan hati-hati. Tak sabar segera menyampaikan kabar ini kepada suamiku yang sedang menunggu di luar. Mengingat saat ini kondisi pandemi, maka hanya pasien saja yang dibolehkan masuk ke ruang pemeriksaan. Sehingga dengan menahan kecewa suamiku harus menunggu di luar ruangan dengan hati yang deg-degan.https://narasipost.com/story/05/2021/persalinan-perut-gantung/
Sesekali dari dalam sana, sepasang kaki mungil selalu memberikan sinyal cinta lewat tendangan-tendangan kecil bahwa dia baik-baik saja. Perlahan aku tersenyum seraya mengusap perut buncitku lalu membatin, Sehat-sehat di dalam sayang, seminggu lagi kita bertemu.
******
Lima hari kemudian, tepatnya tanggal 28 Juli 2020.
Pagi ini cuaca cukup bersahabat, matahari mulai masuk melalui celah-celah jendela kapal. Deru mesin bersahut-sahutan dari arah kemudi, orang-orang mulai sibuk menaikkan barang-barang ke dalam kapal. Sesekali ABK mengingatkan para penumpang agar segera masuk, karena sebentar lagi kapal akan segera meninggalkan dermaga.
Aku duduk di kursi paling depan di temani suami yang ada di sampingku. Mama dan bapakku duduk di kursi kedua, sedangkan di bagian samping kursi kami bibi dan juga kakak sepupuku serta dua orang anaknya yang menempati.
Ya, hari ini adalah hari yang disepakati oleh keluarga kami untuk melakukan persalinan secara SC. Ditemani beberapa keluarga, kami berangkat ke ibu kota kabupaten dengan menumpang kapal speed boat 07:15 tujuan Rh.
Perjalanan ke ibu kota memang hanya bisa ditempuh lewat jalur laut dengan waktu tempuh 1 jam, itu pun jika menggunakan speed boat. Sedangkan menggunakan kapal kayu, memakan waktu satu setengah jam. Dan hari ini, kami memilih menggunakan speed boat. Selain waktu yang cukup efisien, speed boat juga berangkat lebih awal dibandingkan kapal kayu.
Banyak pro dan kontra yang terlontar kala kami menyampaikan diagnosa juga rujukan dari dokter. "Jangan buru-buru SC. Si A, anak pertamanya SC, selang setahun melahirkan anak keduanya normal, apalagi kamu sudah 4 tahun." Kurang lebih seperti itu beberapa kalimat yang dikeluarkan sebagian keluarga.
Namun apa pun bentuk masukan dari keluarga, aku tetap menganggap bahwa sebenarnya mereka sangat mencintaiku, mengingat proses pemulihan pasca melahirkan SC sangat jauh berbeda dari melahirkan normal. Kata mereka, setelah lahiran normal tiga hari kemudian sudah bisa beraktivitas seperti biasa, sedangkan SC butuh waktu lebih lama.
Tak terasa, sudah satu jam kami berada di tengah lautan. Atap-atap rumah warga sudah jelas terlihat, pertanda sebentar lagi kapal akan segera berlabuh di dermaga.
****
"Ayo, Bu, kita periksa dulu ya." ucap seorang bidan yang berjaga, sesaat setelah kami masuk membawa surat pengantar dari dokter, dan telah ditunjukkan kamar yang akan kami tempati selama masa pemulihan.
Alhamdulillah meski tanpa rujukan dari faskes satu, rupanya pihak rumah sakit sendiri yang menanyakan keberadaan BPJS kami. Padahal, dari kampung niat kami mau masuk umum saja sekalipun kami punya BPJS. Kata perawatnya, karena persalinan sifatnya emergency, jadi meski tanpa rujukan dari faskes satu tetap akan dilayani.
Sebenarnya bukan kami tak meminta rujukan dari faskes satu, tapi ternyata faskes satu, tidak bekerja sama dengan RSUD tempat saya saat ini akan menjalani persalinan SC. Sehingga kami berinisiatif masuk pasien umum saja.
"Baik, Bu." ujarku seraya berbaring di bed pasien. Alhamdulillah dengan BPJS kelas satu, kami menempati kamar yang menurut saya cukup bagus. Dengan ruangan yang cukup luas kira-kira 5x6 meter dan fasilitas kamar mandi dalam menambah kesan nyaman buat saya.
"Bapaknya boleh keluar sebentar." ujar sang bidan kepada bapakku.
"Baik, Dok." jawab bapakku seraya berjalan meninggalkan ruangan.
Siang ini, memang aku hanya di temani bapak, karena suamiku harus mengurus perlengkapan persiapan operasi SC. Berhubung jadwal operasi SC sebentar lagi, kata bidannya sekitar jam tiga atau paling telat bada asar. Sedangkan mama juga bibi dan kakak sepupuku sedang berada di rumah kerabat jauh bapak. Katanya sedang mempersiapkan makanan untuk dibawa ke rumah sakit.
"Alhamdulillah, DJJ janin normal, tekanan darah ibu juga normal, nanti setelah makan siang baru dipasang infus juga kateter ya." ujar bidan itu, sesaat setelah melakukan pemeriksaan luar.
*****
Sore hari, 28 Juli 2020 pukul 16:45. Dengan berpakaian serba hijau dari atas sampai kaki, lengkap dengan embel-embel alat infus juga kateter yang terpasang rapi dan kokoh, aku didorong di atas brankar pasien melewati lorong-lorong rumah sakit ditemani para bidan dan perawat serta keluarga menuju ruang operasi SC.
Oh ya, jadwal operasiku diundur. Berhubung tadi ada pasien yang jauh lebih membutuhkan pertolongan, sehingga saya harus bersabar menunggu jadwal kedua setelahnya. Kata bidan, pasien sebelumnya gagal induks. Sehingga dia harus cepat-cepat ditangani. ”It's okay”, ucapku, apalagi saya sama sekali belum merasakan sakit.
"Ayo, Bu, sekarang waktunya masuk." ujar beberapa orang perawat dengan berpakaian serba hijau, senada dengan pakaian yang kukenakan.
"Bismillah, Nak, jangan lupa baca doa ya, kamu pasti bisa." ujar bapak dengan raut wajah yang tak bisa kutebak. Tampaknya beliau begitu cemas, namun tak ingin diperlihatkan kepadaku.
Sedangkan suamiku, jangan ditanya. Dia hanya bengong seraya terus memegang jari-jari tanganku seakan mengalirkan energi bahwa semua akan baik-baik saja, lalu terus mengantarku sampai pada pintu ruang operasi SC. Ia terus melihat ke dalam sampai kedua perawat itu menutup pintu.
Setelah sampai di ruang operasi SC, segera kedua perawat itu mengangkatku di atas bed operasi yang di atasnya tampak lampu-lampu operasi yang belum dinyalakan. Lalu kedua perawat itu meninggalkan ruangan. Selang beberapa saat kemudian, masuklah seorang perawat yang memasang selang oksigen di hidung.
"Ditahan sedikit ya, Bu, ini agak sakit." ujar perawat tersebut. Dan ternyata di tangannya sudah memegang jarum suntik.
"Iya, Pak." ujarku.
Sesaat kemudian, jarum suntik itu telah menembus kulit lenganku. Rasanya? Masyaallah seperti digigit ribuan ekor semut api. Katanya obat yang disuntikkan adalah obat untuk mendeteksi apakah ada reaksi alergi pada tubuh atau tidak.
Setelah melakukan tugasnya, perawat itu segera meninggalkan ruangan. Dan tak berselang lama, masuklah seorang dokter. Dari caranya memerintahku, aku tau bahwa beliau adalah seorang dokter anestesi yang bertugas memberi suntikan bius pada tulang belakang.
Segera beliau memeriksaku, lalu menyuruhku untuk menyamping dan menekuk lutut sampai bertemu kepala.
"Ditahan ya, Bu. Jangan gerak- gerak dulu." ujar dokter itu dari arah belakang.
"Iya, Dok." ujarku.
Malu tidak lagi menjadi prioritasku, meski harus bugil di depan seorang dokter, bahkan dokternya seorang pria. Yang penting bayiku lahir dengan sehat dan selamat batinku.
Sesaat kemudian, jarum suntik telah menembus tulang bagian belakangku. Rasanya, Masyaallah nikmat-nikmat sedap.
Sambil terus mengajakku mengobrol, beliau kembali meluruskan posisi tubuhku, sedetik kemudian aku tak merasakan apa-apa lagi pada tubuh bagian bawahku. Dengan telaten, dokter terus memasang selang-selang medis di antara kedua lenganku yang tersambung langsung dengan layar monitor, hingga posisiku saat ini seperti seorang yang sedang di salib. Sedetik kemudian, beliau telah memasang pembatas di atas tubuh bagian atasku, bersamaan dengan itu masuklah beberapa dokter, termaksud Dokter T. Lalu beliau membuka percakapan, mungkin beliau yang memimpin operasinya.
"Ibu, sebelum kita mulai proses operasinya mari kita berdoa memohon keselamatan juga kelancaran, berdoa dimulai." ujar Dokter T seraya menengadahkan tangan, aku pun turut merapalkan doa-doa keselamatan semoga Allah memberi kelancaran dan kemudahan.
"Berdoa selesai, kita mulai ya, Bu, tenang saja santai dan jangan tegang." ujar Dokter T, bersamaan dengan itu lampu operasi mulai dinyalakan.
Dokter anestesi selalu setia berada di atas bagian kepalaku, rasanya bapak ini tak pernah lelah mengajakku mengobrol, bahkan saat aku ingin memejamkan mata, lagi-lagi aku dikagetkan dengan berbagai pertanyaan darinya. Mulai dari makanan kesukaan, suku apa, orang mana, tugas di mana, seakan menjadi topik terpenting yang harus dibahas saat itu. Semuanya tak luput dari obrolan kami. Dan anehnya dua kali melakukan operasi SC, aku selalu dikira suku Toraja.
Sesaat kemudian, aku merasakan ada tekanan bagian perutku seakan mereka sedang berusaha mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.
"Pantas ini bayinya tidak mau sujud (sungsang) rahim ibunya bersekat." ujar Dokter T dari balik tirai pembatas.
"Iya, Dok. Masyallah kasus langka." ujar dokter lainnya dan aku pun hanya menyimak.
Para dokter di balik tirai pembatas terus bercakap-cakap, sambil terus bekerja melakukan pembedahan, sedangkan teman setiaku adalah Dokter Anastesi yang seakan tak pernah lelah untuk mengajakku mengobrol. Kabarnya, ini memang sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mengontrol kesadaran pasien.
”Oeeeee … oeeeee … oeeeeee …”
Sepersekian detik kemudian, yang terdengar hanyalah lengkingan suara yang memenuhi ruangan operasi SC dari bayi mungil yang baru saja kulahirkan. Bersamaan dengan itu, lelehan embun telah menganak sungai dari kedua netraku.
Bahagia????
Ya, lebih dari sekadar itu, mengingat aku bahkan pernah melahirkan bayi tanpa suara. Mungkin inilah yang disebut air mata bahagia.
"Ini, Bu, bayinya laki-laki. Alhamdulillah lengkap dan ganteng." ujar Dokter T sambil memperlihatkan bayi mungilku dari balik tirai pembatas.
Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada para dokter.[]
SELESAI
melahirkan anak itu salah satu momen kedekatan kita dengan Allah Swt.. karena kita pasrah, berserah diri hanya pada-Nya..
Masyaa Allah, pengorbanan seorang ibu.. meskipun sakit, cinta ibu kepada anaknya tidak berkurang. Justru semakin sakit malah semakin sayang sama buah hatinya. Hati wanita memang luar biasa.
Masya Allah. Rasa ikut deg-degan membacanya. Karena perjuangan yang operasi, saya denger dari yg mengalami, katanya lebih sakit dari yang melahirkan normal. Proses penyembuhan juga lama. Sungguh perjuangan yang luar biasa seorang ibu demi buah hati.
Masya Allah pejuang Ooerasi CS,
Masyaallah, perjuangan yang luar biasa ya. Alhamdulillah saya belum merasakan melahirkan SC.
Terima Kasih kak,, semoga jgn pernah merasakan kak,,
MasyaAllah, perjuangan untuk memiliki anak. Semangat Ibu.
Terima Kasih kak sudah membaca cerita retceh