Inilah yang menjadi pemicu kudeta militer, para prajurit pemberontak menganggap tindakan keras militer berupa kudeta menjadi jalan paling efektif untuk mengatasi situasi keamanan yang terus memburuk, jalan perundingan dalam bingkai demokrasi mustahil terwujud.
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Niger memanas! Kudeta militer kembali menggelegar, Presiden Mohamed Bazoum ditawan dan pemerintahannya digulingkan sedemikian rupa oleh paspampresnya sendiri. Kemiskinan,ketidakstabilan kondisi dalam negeri, serta kondisi keamanan yang memburuk di bawah kepemimpinan rezim yang ada, memicu militer bertidak tegas, mereka meyakini bahwa hanya tindakan keras militer yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang menyelimuti negeri Wajan Dunia ini.
Pada Rabu (26/7/2023) Jenderal Abdourahmane Tchiani selaku pemimpin paspampres mengawali kudeta militer dan mengurung sang presiden, Bazoum di dalam istana negara. Lalu ia memproklamirkan dirinya sebagai presiden Niger yang baru. Tak ayal para pendukung Bazoum pun merangsek ke istana sebagai bentuk protes,namun berhasil digagalkan pasukan militer pimpinan Tchiani ini (news.detik.com, 29/7/2023).
Tentu saja, aksi ini mengundang kutukan dari negara-negara luar, di antaranya Amerika Serikat, Uni Eropa, dan ECOWAS (Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat). Mereka mengancam akan menjatuhkan sanksi militer, jika kudeta tak segera diakhiri (voaindonesia.com, 1/8/2023).
Lantas, apa sebenarnya yang menjadi pemicu terjadinya kudeta militer di Niger? Siapakah pemain utama di balik aksi ini? Solusi apa yang harus ditempuh untuk mengeluarkan Niger dari jerat kemiskinan dan konflik berkepanjangan?
Negeri Terkurung
Secara geografis, Niger tak sama dengan Nigeria, meski keduanya berdiam di benua yang sama. The LandlockedState menjadi julukan negeri ini, sebab posisinya di ujung Gurun Sahara yang terkurung oleh daratan di bagian barat Afrika. Ibu kotanya yakni Niamey. Penduduk Niger disebut Nigerien, sedangkan Nigerian sebutan bagi penduduk Nigeria.
Secara ekonomi, negeri kering kerontang ini dinisbatkan PBB sebagai salah satu negara paling miskin di dunia. Perekonomian negeri ini bergantung pada pertanian, peternakan, dan persediaan uranium (terbesar kedua di dunia). Namun nahas, sebagian besar daerah Niger yang bukan gurun dan dialokasikan untuk pertanian dan peternakan terancam mengalami kekeringan secara periodik dan penggurunan. Walhasil, uranium menjadi komoditas yang paling diandalkan, namun sayang harganya pun sangat fluktuatif. Tak ayal, demi bertahan hidup Niger pun tak luput dari jeratan bantuan asing. Lebih dari separuh pendapatannya bergantung pada dana asing. Di kemudian hari, Niger mencoba mengeksplorasi minyak dan membuka pertambangan emas.
Secara historis, Niger menjadi gerbang penghubung antara Afrika Utara dan negeri Afrika Sub-Sahara. Pada 1890-an negeri ini menjadi wilayah kolonialisme Prancis. Pada 1960 negeri ini berhasil memerdekakan diri dari Prancis, namun kemajuan negeri ini terhambat gegara ketidaksatabilan kondisi politik dan bencana kekeringan yang membelit selama lima tahun, sehingga ternak dan tumbuhan pangan musnah.
Secara politik, pascamerdeka Niger hidup di bawah lima konstitusi dan tiga periode pemerintahan militer. Pascakudeta militer pada 2010, Niger bertransformasi menjadi negara demokratis dengan semarak multipartai.
Nahas, kondisi pendidikan di Niger sungguh sangat memprihatinkan, akses pendidikan dasar sangat minim, bahkan jumlah warga melek baca menempati ranking terendah di dunia. Begitu pula dengan sistem kesehatannya terbilang buruk, sehingga penyakit menular kian merajalela. Infrastruktur pun tak memadai.
Secara agama, mayoritas penduduknya memeluk agama Islam (90%), Kristen (5%), dan sisanya animisme. Islam masuk ke Niger sejak abad ke-15, berawal dari penaklukan Kekaisaran Songhai di sebelah barat dan pengaruh pedagang Trans-Sahara dari Mesir dan kawasan Maghribi.Namun, meskipun Islam menjadi agama mayoritas, tak secara otomatis negeri ini menerapkan sistem Islam. Sistem pemerintahan demokrasilah yang telah menyulap negeri ini menjadi negeri sekuler dan UU negeri itu menjamin kebebasan beragama (p2k.steko.ac.id).
Pemicu Kudeta
Niger, walau terkategori negeri miskin, nyatanya menjadi bagian penting dari wilayah Afrika. Posisinya ada di Sahel yakni sabuk tanah yang membentang dari Samudra Atlantik hingga Laut Merah.
Secara politis, Niger menjadi menjadi negeri paling demokratis dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan dengan tetangganya, Mali dan Burkina Faso. Keduanya telah ditaklukkan oleh kudeta militer terlebih dahulu.
Secara militer, Niger dianggap sebagai kunci stabilitas di Sahel dan mitra utama dalam perang melawan pemberontak Islam (ISIS dan al-Qaeda). Bahkan, Niger mengizinkan pangkalan militer Prancis dan AS mangkal di sana.
Secara ekonomi, Niger berlimpah uranium sehingga mampu memproduksi 7 persen dari semua pasokan global. Namun sayang, hal tersebut tak mampu meningkatkan perekonomian warga negaranya.
Berbagai kondisi di atas sangat menguntungkan bagi siapa pun yang hendak mengambil manfaat darinya. Lantas, mengapa kudeta terjadi?
Wilayah Sahel terkategori rawan konflik dan berdarah-darah, tak ayal tiga negara yang berada di pusarannya seperti Mali, Burkina Faso, dan Niger terus bergejolak. Ketidakstabilan negara-negara di wilayah ini membuka peluang besar masuknya banyak kepentingan di sana. Barat dengan neoimperialismenya dan kelompok jihadis yang menjadi rivalnya, mereka terus merangsek berlomba-lomba menguasai wilayah ini. Inilah yang menjadi pemicu kudeta militer, para prajurit pemberontak menganggap tindakan keras militer berupa kudeta menjadi jalan paling efektif untuk mengatasi situasi keamanan yang terus memburuk, jalan perundingan dalam bingkai demokrasi mustahil terwujud.
Pemain Utama
Sesungguhnya konflik yang terjadi di Sahel bukan hanya melibatkan rezim berkuasa, pemberontak militer, dan kelompok jihadis semata. Ini bukan sekadar pertarungan yang melibatkan aktor internal, namun ada juga aktoreksternal yang ikut bergulat di dalamnya. Sean McFate, seorang pakar di Universitas Syracuse dan Universitas Pertahanan Nasional AS pernah mengatakan, “ Inimerupakan perang proksi (perang yang dipicu oleh kekuatan-kekuatan besar yang tidak terlibat langsung, red.). Dan perang proksi ini berlangsung di Afrika selama tiga hingga lima tahun terakhir. Ini menjadi semacam perebutan baru untuk (memengaruhi) Afrika. Tapi di sini kekuatan eksternalnya adalah Amerika Serikat, Rusia, serta Cina. Rusia suka melakukan penaklukan, kalau boleh saya katakan, melalui kelompokWagner. Kalau Cina menggunakan perang ekonomi yang disebut Belt and Road Initiative (BRI)(voaindonesia.com, 4/8/2023).
Gesekan antara Barat dengan dunia ketiga (Islam) memang didasari motif ideologis, sampai kapan pun Barat akan terus mengincar negeri-negeri muslim yang notabene negara berkembang dan miskin berdasarkan pengklasifikasian Barat. Ambisi untuk memberangus Islam hingga akarnya hingga perampokan besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dimiliki negeri muslim tidak akan pernah padam. Strategi stick and carrot, adu domba, stigmatisasi, dan penancapan konflik terus digencarkan Barat untuk melemahkan Islam dan kaum muslim.
Sementara itu, negara-negara Barat walaupun masing-masing memboyong kepentingan yang berbeda. Namun, mereka memiliki tujuan dan musuh yang sama. Islam dijadikan the common enemy (musuh bersama), persekongkolan menjadi niscaya, guna mengadang kebangkitan Islam yang digadang-gadang akan mampu menggilas kedigdayaan mereka. Prinsip mereka dalam menjalin relasi di dunia Barat, “Tidak ada kawan dan musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.” Walaupun di antara negara Barat saling bersaing dalam menjajah suatu bangsa dan menjarah kekayaannya dalam bingkai neoimperialisme, tapi mereka tetap bersatu dalam menghancurkan musuh bersama, yakni Islam. Kepentingan mereka dalam pusaran yang sama, melindungi kapitalisme dari ancaman keruntuhannya, sebab kapitalismelah satu-satunya ideologi yang menjadi corong keberhasilan mereka dalam menggenggam dunia beserta isinya. Jika ideologi Islam bangkit, runtuhlah kedigdayaan Barat.
Solusi bagi Niger
Berdiam di bawah ketiak Barat bukanlah solusi, berlari mengemis perlindungan dari Rusia yang notabene eks-sosialisme pun bukan resolusi. Sudah saatnya Niger mengambil sikap tegas, mandiri tanpa intervensi, visioner melalui jalan revolusi bukan reformasi apalagi kudeta yang memperparah komplikasi. Kembalilah pada fitrah, yakni Islam. Islam memiliki seperangkat aturan yang khas untuk membimbing manusia pada kehidupan yang selamat, maju, dan berkah dunia maupun akhirat. Aturan yang tidak hanya terkungkung dalam sebuah kitab suci, tapi wajib diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan negara.
Aturan Islam hanya bisa eksis dalam naungan negara Khilafah, pemimpinnya disebut khalifah. Inilah sesungguhnya yang ditakuti Barat, dengan tegaknya Khilafah maka negeri-negeri muslim terhimpun di bawah naungannya dan terputuslah ketergantungan pada Barat, pun terurai simpul permasalahan kompleks di dalamnya.
Kudeta dalam Khilafah
Dalam Khilafah, jika ada pemberontak muncul dan menguasai pemerintahan dengan pasukan militer, maka tidak secara otomatis dia resmi menjadi seorang khalifah, walaupun dia telah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di hadapan publik.
Adapun al-qahru wa al-istila’ (kekuatan dan kudeta) yakni perebutan kekuasaan secara paksa dengan kekuatan fisik tidak sah dijadikan sebagai metode dalam pengangkatan khalifah, mengapa? Sebab dalam kudeta terdapat pemaksaan (ikrah) yang menjadikan akad Khilafah itu cacat. Sedangkan Khilafah itu merupakan suatu akad (baiat) yang wajib didasarkan pada kerelaan tanpa ada pemaksaan. Lain soal jika pengambil kekuasaan itu (mutasallith) sukses meyakinkan umat untuk membaiat dia, sebab dengan begitu kemaslahatan kaum muslim akan bisa terwujud dan syariat Islam akan ditegakkan secara kaffah, kemudian umat membaiatnya secara sukarela, maka dia resmi menjadi Khilafah sejak baiat ini, bukan sejak dia melakukan kudeta (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 57-58).
Para ulama mazhab Syafii ada sedikit perbedaan dalam menentukan metode pengangkatan khalifah. Imam Nawawi menyatakan ada tiga metode yakni baiat, penunjukan, dan kudeta. Sedangkan Imam al-Mawardi hanya mengklasifikasikannya menjadi dua, yakni baiat dan penunjukan saja.
Dalam konteks ini, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani yang notabene seorang mujathid mutlak yang menguasai pemikiran mazhab Syafii, membuat suatu rumusan baru tanpa menafikasi diskursus pemikiran Imam Nawawi dan Imam al-Mawardi. Bahwa baiat merupakan suatu metode baku (thariqah) yang sifatnya permanen dan tak bisa diubah-ubah. Sedangkan penunjukan dan kudeta bukan metode, keduanya hanya masuk dalam kategori cara (uslub). Sebab dengan penunjukan dan kudeta tak secara otomatis mengesahkan seseorang menjadi khalifah, kecuali setelah mendapatkan baiat secara sukarela dari umat.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah [60]: 12 dan Al-Fath [48]: 18 termaktub perintah Allah kepada kaum muslim untuk membaiat Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin atau kepala negara mereka saat itu. Bahkan, hadis pun mengungkapkan perintah yang senada, yakni:
وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِّهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ، فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخِرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخِرِ
Siapa saja yang membaiat seorang imam (khalifah), lalu dia memberikan kepada imam itu genggaman tangan dan buah hatinya, maka hendaklah dia menaati imam itu dengan sekuat kemampuan dia. Kemudian jijka datang orang lain yang hendak merebut kepemimpinan imam itu, maka penggallah lehernya (HR. Muslim)
Namun perlu diperhatikan, teknis pengangkatan khalifah ini bisa diselenggarakan dalam kondisi kosong kekuasaan, maksudnya jika khalifah sebelumnya tak lagi menjabat dikarenakan wafat atau dipecat. Tapi jika khalifah masih menjabat dalam ketaatan penuh pada Allah semata, dan kalaupun terdapat kelalaian atau kemaksiatan pada diri khalifah namun tidak sampai menelantarkan syariat Islam, maka khalifah ini mesti dipertahankan posisinya dan ditaati perintahnya. Jika ada seseorang atau pihak-pihak yang hendak merebut kekuasaan sah dari tangan seorang khalifah, maka alih-alih diberikan kesempatan agar umat membaiatnya, jika setelah diingatkan si pemberontak masih ngeyel dan bersikeras melakukan kudeta, maka orang ini layak untuk dieksekusi mati karena menimbulkan keresahan dan menunjukkan pembangkangan pada kepemimpinan sah Khilafah.
Khatimah
Konflik yang senantiasa mendera negeri-negeri muslim diakibatkan pengelolaan urusan umat yang bernapaskan ideologi kapitalisme oleh rezim penguasanya, umat belum sadar apa yang menjadi akar masalahnya, terlebih bagaimana menyolusikannya dengan tepat, sehingga bersikap reaktif dan pragmatis. Kegaduhan ini pun tak lepas dari rekayasa Barat untuk melemahkan Islam dan kaum muslim. Saatnya umat melek dan memetik pelajaran dari konflik yang melanda Niger juga negeri-negeri muslim lainnya. Hanya ada satu harapan kita yakni tegaknya Islam dan Khilafah tuk membebaskan dunia ketiga dari cengkeraman neoimperialisme Barat.
Wallahu a’lam bi ash-shawab []
Hanya Islam kafffah solusi segala permasalahan
Tulisan yang keren. Negara Niger, penduduknya disebut nigerien. Negara Nigeria, penduduknya disebut nigerian. Serupa tapi tak sama.
inilah jika kaum muslimin tidak punya kepemimpinan Islam yang satu.. Negeri-negerinya mudah diobrak-abrik untuk direguk segala SDA-nya oleh kaum kafir penjajah..
MasyaAllah, jadi nambah wawasan dan tsaqafah. Ternyata ada dua negara dengan nama yg hampir sama. Butuh kejelian dalam mengupas fakta. Dan ada dua artikel WN dengan satu pembahasan yang sama tapi dikupas dgn dua angle yang berbeda. Subhanallah NP memang luar biasa
Terima kasih.
Dengan membaca artikel ini saya menjadi tahu bahwa Niger dan Nigeria itu berbeda.
Barat itu takut ketika aturan Islam mendunia. Karena kalau Khilafah tegak, maka negeri-negeri muslim akan bersatu di bawah naungannya dan terputus ketergantungan mereka pada Barat. Jadi kuncinya adalah tegakkan Khilafah
Kapitalisme selalu memaksakan cengkeraman ideologinya di negeri-negeri berkembang dengan menyetir para penguasanya. Watak arogan negara pengusungnya tampak jelas, mereka tidak meras iba melihat kondisi penduduk Niger yang dilanda kemiskinan akut.
Masya Allah tulisannya sangat mencerahkan. Islam adalah satu-satunya solusi terbaik dalam memecahkan problematika kehidupan umat. Semoga pertolongan Allah segera tiba.
Betul, hanya satu harapan. Kembali tegaknya Khilafah. Allahu Akbar.
negeri-negeri muslim akan terus menjadi boneka negara Barat untuk mempertahankan hegemoninya dan meredam kebangkitan Islam. Saatnya melirik sistem yang akan mempersatukan kaum muslimin sedunia yaitu sistem Islam
Ketika jalan perundingan dalam bingkai demokrasi mustahil terwujud, pemberontakan yang akhirnya ditempuh.
Masyaallah, saya selalu suka tulisan teh Nurjamilah. Negara-negara Barat memang selalu menjadi dalang di balik konflik yang menjerat negeri muslim. Jika bukan menjadi aktor langsung, mereka akan membuat negara lain berkonflik. Namun, merekalah akhirnya yang diuntungkan.
Negeri miskin seperti niger juga menjadi sasaran barat,, yang kaya seperti Indonesia apalagi.. Memang tujuan dari musuh islam adalah menghadang tegaknya islam kaffah..... Alhamdulillah bisa komen juga,, terimakasih Mom n mbak Dia
Islam memang merupakan solusi terbaik.
Berharap pada sistem kapitalis memang hanya ilusi. Saatnya hanya berharap pada sistem Islam
Negeri muslim kembali bergejolak. Gak mungkin kalau tak ada dalang yang bermain di belakangnya. Negara-negara Barat selalu menjadi aktor dalam setiap perseteruan yang terjadi di negeri muslim.
MasyaAllah, keren kak...
Bener ya, sistem yang rusak menjadi penyebab kegaduhan dmn2. Hanya negara adidaya Islam solusi dari semua kegaduhan yang ada...
Hanya sistem Islam dalam institusi Khilafah
Akhirnya kembali bisa menikmati tulisan Teteh