Satu hal yang paling penting. Kemudi cinta dalam rumah tanggaku ada dua. Kalian tidak merasakannya. Mengantar Mbah Ti kemoterapi ini jauh lebih ringan ketimbang saat ku harus hadir di pengadilan untuk pengesahan dalam satu KK ada dua kemudi cinta. Kalian paham?
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lembaran daun kering melayang-layang pasrah dibawa riuhnya angin. Daun-daun itu selalu siap menapaki takdir jatuhnya. Tak terdengar lirih rintihan meski daun-daun itu terlindas roda-roda kendaraan bermotor di jalanan Kota Malang. Hawa dingin seketika menyergap siapa saja yang melewati kota tersebut.
Jazz Biru Muda membelah Jalan Jaksa Agung Suprapto dengan kecepatan 50 km/jam. Angin makin menjadi saat mobil yang ditumpangi Kirana itu mendekati pintu gerbang rumah sakit umum di Kota Malang. Tangan Kirana mengecek dan merapikan semua berkas Mbah Ti untuk daftar cuci darah. Hatinya sedikit ragu dengan langkah beraninya itu.
Kursi roda telah menunggu dengan manis. Amar sigap menyiapkannya di dekat pintu mobil. Kirana segera membantu Amar, putra andalannya, memapah Mbah Ti duduk di kursi roda. Kedua tangan Kirani kompak mendorong kursi roda. Langkah Kirana begitu ringan dengan dada yang telah lapang. Sementara Amar segera memarkirkan mobilnya.
Loket pendaftaran telah memamerkan keriuhan dan panjangnya antrean. Kirana memasuki ruang tersebut untuk memenuhi syarat administrasi. Kirana segera beradaptasi dengan kondisi antre yang menguras kesabaran. Hilir mudik petugas, pengunjung rumah sakit, dan penjual makanan menyapa penglihatan Kirana. Kepadatan dan kerumitan administrasi rumah sakit sudah mulai akrab dengan jiwanya.
Wajah sayu para pasien rawat jalan dan wajah capek para pengantar pasien menjadi pemandangan yang mulai biasa membersamai Kirana saat di rumah sakit. Tekad bulatnya mengantar Mbah Ti melaksanakan ikhtiar dalam proses pengobatan memupuk rasa sabar yang makin kencang diterpa rintangan. Niat lillah membantu suami tercinta semakin meluaskan hatinya.
Ada beberapa wajah petugas yang mulai familier bagi Kirana. Langkah Kirana memelan saat berada di tikungan. Ia dibantu Amar mendorong Mbah melewati lorong semi terowongan. Tulisan "Harap Tenang" sudah menyambut mereka di depan pintu. Mereka memasuki ruang kemoterapi dengan pelan-pelan.
Wajah tegang melingkupi Mbah Ti. Seuntai nasihat telah berbaris rapi dari lisan Kirana. Kata-kata motivasi mampu menggugah jiwa Mbah Ti. Rasa enggan yang bergelantungan terempas oleh kata lembut Kirana, "Kemo ini salah satu bentuk syukur kita pada Allah. Sebab, Allah masih berkenan menitipkan napas pada Mbah. Allah memberi kesempatan pula bagi kita untuk memperbaiki diri dengan lebih patuh pada-Nya. Tidak merusak pola hidup, pola pikir, pola sikap, pola tidur, dan pola makan kita hanya karena kita merasa tidak nyaman."
Ada beberapa pasien yang sedang kemoterapi. Kirana mulai hafal dengan salah satu keluarga pasien kemoterapi yang mesti berbarengan jadwalnya. Lia namanya, dia sedang asyik membuka lembaran mushaf Al-Qur'an. Netranya terfokus pada mushaf yang terbuka. Sementara bibirnya tampak kemak-kemik melafalkan ayat-ayat suci itu.
Kirana membiarkan Amar rebahan di kursi panjang untuk meluruskan badan. Dia menghampiri Lia dengan penuh hati-hati. Seingat Kirana, hari ini merupakan hari terakhir ibu Lia dikemoterapi. Perjalanan panjang dan melelahkan sudah pernah ia dengarkan dari penuturan Lia. Lia seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya sejak usia 5 tahun dan ditinggal wafat suaminya saat usia pernikahannya tiga bulan, harus merawat ibunya di usia belia seorang diri. Rasa syukur semakin melangit saat Kirana mendengar kisah itu.
Lia, janda usia 19 tahun merupakan cerminan Kirana. Wajahnya selalu menampakkan keceriaan meskipun letih menyapa. Lisannya selalu basah dengan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kirana mulai berselancar dengan memorinya sambil meresapi surah Al-Waqiah yang dilantunkan Lia. Dari sana, ketenangan dan ketenteraman memberikan kehangatan bagi jiwa Kirana yang mudah rapuh.
Penolakan dari keluarga Mbah Ti atas proses pengobatan ini sempat membuatnya berkecil hati. Rasa malas sempat menghinggapi hatinya. Pikirannya berkecamuk tak tentu rimbanya. Saat ibu kandungnya sakit hingga wafat, sedikit sekali peran suami dan keluarga Mbah Ti. Namun, rasa malas dan pikiran buruk itu segera diusir dengan kekuatan cinta yang bersandar pada Allah.
Dua kemudi cinta ada di tangan suaminya. Mbah Ti bukanlah ibu kandung Kirana ataupun suaminya, tetapi beliau adalah ibu mertua suami tercinta dari istri kedua. Namun, Kirana merasa bertanggung jawab atas keadaan itu. Saat Mbah Ti sakit dengan perut membesar dan keluar darah, dia tidak tinggal diam. Dia khawatir, pemegang kemudi cinta dalam rumah tangganya zalim pada ibu mertuanya.
Kirana akhirnya tak menggubris penolakan keluarga besar Mbah Ti yang tak mau repot dengan panjang dan lamanya urusan itu. Bahkan, ia juga tak ambil pusing dengan komentar sahabat-sahabatnya. Pendengaran Kirana tertutup rapat saat sahabatnya menuangkan masa lalu yang sempat membuat goyah rumah tangganya dan membuat luka yang menganga dalam hatinya.
"Na, gila kau, tuh. Sudah lupa kau pada semen-semen yang dipulangkan lagi? Lupa pada bata-bata yang disusun depan rumah kau?" ucap Ratih bersungut-sungut.
"Aku bukan mau memanas-manasi, Na. Tetapi menurutku, kau terlalu jauh mengurus urusan suamimu dan keluarga madumu," sahut Yayuk.
"Kirana, Kirana, tak ingat kau saat suamimu tiba-tiba tak menjengukmu tanpa alasan dalam kurun waktu yang lama?"Seli ikut menimpali.
Kirana tak mengacuhkan semua komentar para sahabatnya. Namun demikian, ia juga tak pernah menjauh dari sahabat-sahabatnya itu. Ia tahu bahwa mereka sayang padanya.
"Lalu, apa motivasimu, Na? Kenapa kau sampai berani mengambil langkah ini. Mau mengobati Mbah Ti?" tanya Aza.
Kirana terlihat mengambil napas dalam saat itu. Ia penuhi paru-parunya dengan udara segar. Netranya menyapu keempat sahabatnya itu. Kalau mau mengikuti perasaan, tentu rasa sakit yang belum sembuh total dan luka yang belum sepenuhnya kering tak mengizinkannya membantu Mbah Ti berobat. Namun, dia sadar bahwa dia adalah manusia biasa dan hamba Allah yang tak akan pernah bisa memprediksi masa depan akan seperti apa.
Tak dimungkiri, rasa cemburu, amarah, dan jengkel juga kerap membakar hatinya. Sampai-sampai, puasa komunikasi dengan pemegang kemudi cinta dalam rumah tangganya ia lakukan. Menjaga jarak hati menjadi pilihan sementara untuk menenangkan diri. Sementara jiwa dan raganya mendekat dan pasrah total pada Sang Pemilik hati.
Soal dua kemudi cinta yang sempat mengguncang keluarganya, membuatnya jatuh ke jurang terdalam. Prahara membelah kebahagiaan yang sedang tumbuh mekar. Luka hati tak berdarah jauh lebih sakit dari sekadar bisingnya bisik-bisik tetangga kiri kanan. Sialnya, pintu hatinya sempat membuka jalan bagi keterpurukan.
Ada rasa tidak terima saat sang pemegang kemudi cinta mulai tak bijaksana. Lebih hancur lagi, saat Kirana menangkap secercah kemunduran dalam aktivitas dakwahnya. Ruang untuk aktivitas dakwah dibatasi. Porsi kontribusi dalam perjuangan juga dieliminasi. Belum lagi, ketidaksiapan buah hati menerima ada cinta yang lain di hati ayahnya, lebih tepatnya ketidaksiapan menerima perlakuan yang berbeda dari sang ayah. Perselisihan sengit bapak dan anak kerap menyeretnya untuk pasang badan agar tak terjadi perkelahian fisik.
Namun, Kirana akhirnya mulai menemukan jalan yang terang. Kesabaran memang tidak serta merta datang. Hatinya mulai berdamai dengan keadaan yang diamanahkan Sang Pemilik kehidupan. Lafaz "qadarullah wa masya'a fa'ala"lebih meluweskan penerimaan. Dia tidak pernah bertele-tele dalam urusan kemesraan. Kirana menunjukkan kepatuhan utuh sebagaimana awal pernikahan.
"Kalian tahu, membantu suami agar tidak zalim itu sebuah nikmat waktu luang yang harus kudawamkan. Selain itu, sisi kemanusiaanku meronta setiap menjenguk Mbah Ti tergolek tak berdaya saat sakit menerpa. Dia terpaksa beraktivitas agar tak membebani anggota keluarganya. Coba bayangkan jika kita di posisinya!" ucap Kirana dengan tenang.
Tampak Aza manggut-manggut tanda setuju. Sementara tiga sahabatnya yang lain masih serius menunggu kelanjutan jawaban Kirana. Ada rasa tidak puas dengan apa yang dia sampaikan.
"Satu hal yang paling penting. Kemudi cinta dalam rumah tanggaku ada dua. Kalian tidak merasakannya. Mengantar Mbah Ti kemoterapi ini jauh lebih ringan ketimbang saat ku harus hadir di pengadilan untuk pengesahan dalam satu KK ada dua kemudi cinta. Kalian paham?" Kirana menutup penuturannya dengan senyum semringah.
Angin seakan bersorak dengan jawaban cerdas Kirana. Wajah keempat sahabatnya seakan menemukan triliunan kilau cahaya. Rona mereka berbinar seketika. Kirana melafazkan hamdalah dan haukalah dalam hati yang terdalam. Sebagai manusia biasa, ia pun mengaku lemah. Perasaan enggan dan malas sering kali hadir tak tahu diri. Kirana kelimpungan untuk melawannya.
"Assalamu'alaykum, sudah lama, Mbak?" ucap Lia segera saat menyadari kehadiran Kirana.
"Wa'alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuhu, baru saja," jawab Kirana memutus memorinya.
Kirana dan Lia terlibat obrolan yang mengasyikkan. Wajah ceria mereka memberikan aura positif bagi siapa pun yang memandang. Tak ada keramaian dalam obrolan itu. Mereka saling menguatkan satu sama lain. Menikmati sebuah proses itu ternyata jauh memberikan ketenangan atas segala ketetapan Allah. Kirana sudah terbiasa dengan perlakuan tidak biasa dari keluarga Mbah Ti. Dia hanya berharap Allah meridainya.[]
Tak banyak yang seperti Kirana.
Atau bahkan 1001
Maa syaa Allah mbak Afi
untaian kata hingga berubah menjadi kalimat seolah menghipnotis saya untuk terus membaca hingga tak sadar sudah sampai di huruf terakhir sebelum titik
Memberikan pemahaman kepada umat tentang poligami dan bagaimana menyikapi dua ratu dalam satu perahu adalah tujuan utama dan paling penting di tulisan ini yang mana tulisan dan bahasanya sungguh indah dan lugas.
Teriring doa semoga Bonus dari Allah buat mbak Afi di challenge ini adalah dapat hadiah dan trofi
Aamiin
Aamiin yaa mujibassaailiin
Jazakillah khoyron katsiron Mbak
Meskipun fiksi, ada hikmah yang bisa diambil dari kisah ini. Memang butuh kesabaran, keikhlasan, dan kekuatan iman untuk menghadapi segala masalah yang ada.
Cerpen bagus, diri ini tidak mesti bisa jika ujian seperti itu datang..
Keren cerpennya mbak Afiyah, saya suka gaya penuturan kalimatnya. Namun, sayang sedikit dialognya ya?
La hawla wala quwwata illa billah.
Inggih ciri cerpen saya memang banyak narasi minim dialog. Afwan
MasyaAllah ....rumah tangga itu sekolah untuk menguji rasa ikhlas, rasa sabar ....
Lanjut, cikgu..
Masih pengen baca lagiii. Diksinya selalu bagus, kapan saya bisa kayak giniiii..
Barakallah, cikgu ❤️
Wafiik barokallah Teh.
Hihi inicerpen Teh. Si Mbah sudah wafat.
wah.. ini benar-benar luar biasa, menyampingkan rasa cemburunya dengan mengedepankan takwa.. membantu urusan keluarga madunya yang notabene juga urusan suaminya..
Menjadi seperti Kirana tentulah punya hati seluas samudra. Keren ceritanya.
Belajar ikhlas kadang butuh waktu lama, apalagi soal urusan hati. Salut dengan wanita-wanita yang mudah ikhlas berbagi suami dengan wanita lain. Barakallah mbak Afiyah ...
Arti ikhlas seorang istri. Meski hati berdenyut nyeri, ia tetap mendawamkan cintanya pada kemudi cintanya
Tidak semua orang bisa seperti Kirana, untung ini hanya cerita..he he..tp bagus banget buat cerminan diri
Cerita ini tentang seorang sahabat dan guru saya Mbak. Kisah beliau selalu mampu menundukkan hati saya.