Asa dalam Doa

Asa dalam Doa

Aku pun mulai memahami, bahwa hidup adalah cerita tentang taat pada syariat. Tapi dunia kini bercerita lain, kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan limpahan materi. Tak peduli dengan hukum syariat yang telah dikebiri.

 Oleh. Zerrina Ilma
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Mendapatkan pasangan hidup yang membersamainya ke surga adalah dambaan setiap wanita, begitu juga dengan impianku. Dalam doa senantiasa kutaruh harapan agar Allah memberikan imam terbaik sebagai teman hidupku, menapaki titian kehidupan dunia hingga ke surga. Tapi impian dan harapan itu kandas, setelah datang seorang laki-laki dan menjadi imamku. Aku putus asa, Allah tidak mengabulkan doaku.

Ini adalah sepenggal kisah salah seorang sahabatku. Bagaimana akalnya harus menuntunnya kembali terhadap doa yang ia pinta dan kenyataan hidup pernikahan yang ia hadapi. Dan aku menceritakan kembali agar kita dapat mengambil ibrah darinya. Semoga ia dan keluarga kecilnya di sana senantiasa dalam perlindungan dan kasih sayang-Nya.

Aku adalah seorang gadis yang akan menginjak usia 22 tahun. Saat ini, aku bekerja di sebuah perusahaan swasta dan mampu secara mandiri membiayai kehidupanku. Dalam setiap doa, aku senantiasa menyelipkan pinta agar Allah memberikan jodoh yang dapat mengajariku ilmu agama dan menuntunku ke surga-Nya. Dan di usiaku kini, aku merasakan sudah cukup mampu memulai kehidupan pernikahan. Pun dengan harapan kedua orang tuaku, karena di usia mereka yang mulai senja, hadirnya seorang cucu adalah kebahagiaan tersendiri untuk mereka. Namun, timbul banyak keraguan yang membayangi anganku, rasa khawatir akan sosok laki-laki calon imamku.

Dulu, ada seorang laki-laki yang pernah menjadi teman kecilku. Dia sangat cakap dalam agama, bahkan mampu mengkhatamkan Al-Qur'an 1 kali dalam sebulan di usianya yang masih belia. Kekagumanku padanya mulai timbul, dan berangsur telah mengendap dalam hatiku. Tanpa kusadari, rasa itu pun tumbuh menjadi benih-benih cinta dan angan akan dirinya sebagai imamku di saat kami beranjak dewasa. "Apakah ia sosok laki-laki yang akan Allah hadirkan sebagai jawaban doaku?," lirih batinku berkata. Aku tahu, dirinya pun mempunyai impian yang sama terhadap diriku.

Tapi, seiring waktu berlalu, harapanku akan dirinya meredup. Sekolah SMA kami yang berbeda, telah membentangkan jarak dan waktu untuk kami jarang bertemu. Hanya sesekali saja kami berkomunikasi melalui telepon kabel sebagai penyambung silaturahmi. Hingga suatu hari, Allah mempertemukan kami kembali setelah sekian tahun terlewati. Banyak sekali perubahan yang terjadi pada dirinya, parasnya, kedewasaannya, dan yang paling menjadi perhatianku adalah lakunya.  Perubahan laku yang kurang menjaga ifah telah menutupi pesonanya di mataku. Kekagumanku pun berangsur sirna, impian untuk hidup bersamanya mulai menjauh. Batinku berkata, "Bagaimana bisa di saat ifahnya tidak terjaga, akan mampu membimbingku dekat ke agama."

Akhirnya, kutepis semua anganku akan dirinya. Rasanya sangat sulit saat itu, karena rasa perih itu tetap saja betah menempati kalbuku. Harus rela meninggalkan cinta pertama, terus membawa kegelisahan di hatiku. Bilik nuraniku terserak, namun logikaku harus mampu meredakan luka. Sepertinya dia bukan jodohku. Karena begitu banyak pertentangan akan dirinya berkecamuk dalam pikiranku. Tidak semestinya aku menggantungkan harapan kepada manusia. Sebuah ayat telah membuatku sadar akan kealpaanku.

وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

"Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap" (QS. Al-Insyirah: 8).

Aku pun mulai menata kembali hatiku. Tidak sepantasnya aku menaruh hatiku sepenuhnya pada manusia. Salat istikharah dan terus berdoa, adalah jalan yang senantiasa kulakukan. Hanya satu pintaku, agar Allah menghadirkan imam sebagai pembimbing agamaku, dan bersamanya juga, aku ingin menggapai surga-Nya. Sepanjang masa penantianku, semua kuserahkan pada Yang Maha Pengabul doa. Hingga datanglah seorang laki-laki menemui ayahku. Dengan kesungguhannya, dia mengungkapkan keinginan untuk menjadikan aku sebagai calon pendamping hidupnya. Katanya, kami pernah bersekolah di tempat yang sama, tapi aku tidak begitu mengenal dirinya.

Aku pun mulai mencari informasi sebanyak-banyaknya. Teman-temannya, saudara-saudaranya, juga teman-temanku yang mengenalnya kujadikan tempatku bertanya tentang dirinya. Salah seorang temannya bercerita kepadaku, saat di bangku SMA dulu, dia aktif dalam kajian remaja dan menjadi salah satu anggota organisasi kerohanian di sekolahnya. Rona kebahagiaan pun turut menyelisik dalam jiwaku mendengarnya. Aku bergumam,"Diakah yang Allah datangkan untukku?"

Ternyata, harapanku tak sejalan dengan keinginan orang tuaku. Mereka tidak sepenuhnya setuju, walaupun juga tidak tampak adanya penolakan dari mereka. "Kamu yakin memilih dia? Ayah tidak tahu tentang orang tuanya, keluarganya, bahkan tentang dirinya. Kenapa kamu tidak memilih teman kecilmu dulu? Ayah sudah mengenalnya, dan banyak tahu tentang dirinya. Orang tuanya pun sudah saling kenal dengan keluarga kita. Dan Ayah juga tahu, kamu akrab dengannya," kata ayah kepadaku. Aku terkesiap. Tidak menyangka kalau ayah ternyata diam-diam memperhatikan kehidupanku, hingga tahu isi perasaanku tanpa aku berbagi cerita dengannya. "Baik ayah, kasih aku waktu untuk berpikir." Jawabku.

Salat istikharah pun tak berhenti kulakukan sebagai jalan menemukan pilihan hidupku, apakah laki-laki itu atau teman masa kecilku?  Namun, hatiku tetap tidak bergeming, masih dengan keputusan yang sama, mantap dengan laki-laki itu. Kecenderunganku kepadanya juga semakin besar kurasakan. Belum lagi informasi perihal dirinya yang disampaikan teman-temannya, semua berisi hanya kebaikan. Aku belum menemukan celah keburukan yang fatal tentang pribadinya. Kemudian aku pun menemui ayah dan mantap memilih laki-laki itu sebagai calon imamku. Dan ayah berkata, "Baiklah, undang dia ke rumah, kita salat magrib bersama nanti, dan dia menjadi imamnya."  Adalah pertanda ayah setuju dengan pilihanku. Alhamdulillaah.

Akhirnya, laki-laki itu pun resmi menjadi suamiku. Aku pun mulai memasuki tahap baru kehidupanku sebagai seorang istri. Kebahagiaanku tak terkira bersama laki-laki yang telah Allah pilihkan untukku. Tapi selang beberapa waktu, masih di tahap awal usia pernikahan kami, ketidakcocokan metaemosi di antara kami terus menjadi pemicu konflik. Komunikasi pun belum menjadi solusi efektif di tengah perbedaan pendapat. Sekian lamanya waktu taaruf yang telah dilakukan, ternyata belum cukup membuat aku mengenal karakternya. Dia tampil sebagai sosok suami yang sangat jauh dari bayanganku. Impian sosok imam pembimbingku, tidak melekat pada dirinya. Bahkan cita menggapai surga bersamanya seolah terhempas lepas dari anganku kala itu.

Bahkan perbedaan pemahaman kami tentang wanita bekerja menjadi permasalahan tersendiri. Satu hal yang aku pahami, Islam telah mensyariatkan istri bekerja adalah mubah, karena di tangan laki-lakilah kewajiban itu dibebankan, demi menafkahi keluarga. Sedangkan kewajiban istri adalah taat kepada suami dalam norma hukum syariat. Tapi suamiku berbeda, aku tidak mendapatkan izinnya untuk berhenti kerja. Dengan alasan rumah tangga kami yang masih belia, pastinya akan membutuhkan banyak biaya. Akhirnya, taatku untuk imamku meluluhkan keteguhanku, dan menuruti keinginannya.

Anak pertama kami pun lahir. Hanya tiga bulan aku diberikan kesempatan cuti dari tempatku bekerja. Waktu yang sangat singkat rasanya untuk membersamai putri kecilku. Dan ASI-ku pun ternyata tidak cukup untuk dijadikan stok ASI buat anakku di rumah. Inilah yang kujadikan alasan dalam meminta kembali izinnya berhenti kerja demi putri kecil kami. Tapi ia tetap menolak, masih dengan alasan yang sama, bahwa anggaran rumah tangga masih membutuhkan banyak biaya, pun untuk anak kami. Menurutnya, penghasilan darinya tak mampu mencukupi kebutuhan kami semua.

Tapi kali ini hatiku berontak, pikiranku tidak menerima keputusannya. Sebenarnya, aku pun bukan tipe istri yang banyak menuntut materi. Aku cukup bersyukur dengan keadaan kami saat itu. Berapa pun penghasilannya, pasti kuterima dengan tangan terbuka. Dan aku bukan tipe wanita yang harus ngoyo dengan banyak tuntutan, karena aku mengerti akan beban yang harus dipikulnya. Berbagai alasan islami pun aku ucapkan sebagai penguat permintaanku di tengah-tengah perdebatan kami. Alhasil, pertengkaran pun tidak bisa dihindari. Suamiku masih tetap teguh dengan pendiriannya agar aku tetap bekerja.

Lemas, sedih, dan hatiku meronta saat itu. Aku tak kuasa menahan luapan amarahku. Bagaimana bisa seorang suami yang katanya paham agama, bersikeras menyuruh istrinya bekerja. Bahkan tega membiarkan aku melalaikan kewajibanku memberi ASI, dan meninggalkan pengasuhan putri kecilku demi suatu hal yang mubah. Aku tak kuasa, tangisku pun pecah. Aku benci dengan semua keadaan yang kualami, dengan laki-laki yang bertitel sebagai suamiku, pun dengan semua keputusannya terhadap diriku. Aku benci semua! Emosiku tak terbendung lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Lelah serasa menyelimuti seluruh tubuhku. aku tak sanggup menghadapi kenyataan hidup yang harus kujalani ini.

Aku pun tersungkur dalam dekapan sujud panjang salat malamku. Lirih aku berkata, "Ya Allah, aku meminta kepada-Mu seorang imam sebagai pembimbingku ke jalan-Mu, dan imam yang dapat menuntunku ke surga-Mu. Tapi apa? Apa yang kudapatkan? Keputusannya telah membuatku meninggalkan kewajibanku sebagai ibu untuk anakku." Asaku semakin menyeruak. Udara sejuk malam itu tak mampu merasuk ke dalam rongga dadaku. Aku sesak, tak kuasa rasanya jantungku untuk tetap berdetak. Astagfirullāh al-'azīm...

Akhirnya, aku tak peduli lagi dengan harapan doaku akan terkabul atau tidak. Kujalani hidupku meskipun angan dan harapanku telah kandas. Namun, ketaatan dan baktiku untuknya tidak akan berubah. Perintah Allah ini yang selalu kuingat dan kugenggam dalam hatiku. Lalu, kususun kembali serpihan harapan baru, membangun sebuah keluarga bahagia karena Allah taala dengan cara berbeda. Aku tidak lagi berambisi mendapat ilmu agama dari bimbingan suamiku. Aku juga tidak mau ambil pusing dengan kondisi agamanya. Yang penting dia tidak meninggalkan salat wajib dan ibadah mahda lainnya, walaupun rawatib dan salat sunah ia kerjakan sekenanya.

Tahun-tahun pun berlalu. Kini kami sudah mempunyai dua orang anak. Kujalani hari-hariku hanya sebatas kantor, rumah, dan anak-anakku. Hingga kami diberi sebuah ujian oleh Allah. Di usia anak keduaku yang belum genap 2 tahun, ia menderita sakit cukup lama. Dokter mengatakan, kalau anakku hanya terkena flu biasa. Tapi kondisinya seperti menyatakan hal yang  berbeda. Badannya menjadi sangat kurus, karena makanan dan minuman tak dapat ia cerna dengan baik, dan selalu keluar kembali melalui mulutnya. Dalam situasi ini, aku bingung, cuti kerjaku sudah habis untuk menemani pengobatannya. Sementara itu, ia masih membutuhkan aku sebagai ibunya. Pilihan sebagai karyawan dan ibu, terasa sangat menyakitkan nuraniku, aku bimbang. Risau yang bersemayam dalam sukma telah menimbun kegelisahan dalam batinku. Gundah gulana berpadu menjadi satu menimbulkan asa yang tak kunjung sirna mewarnai kehidupanku.

Dalam kecemasan, kutumpahkan semua rasa pada ibu mertuaku. Sosoknya yang penyayang, menjadi tumpuan harapan permasalahan yang kuhadapi akan mendapatkan solusi. Sakitnya anakku dan perbedaan pendapat di antara aku dan suamiku yang terus berlarut-larut, semua kucurahkan kepadanya. Tak terasa bulir-bulir air mata membasahi pipiku. Luka batinku sudah tidak lagi mampu menahan beban yang begitu berat kurasakan.

Alhamdulillah, tidak kusangka dengan kearifan dan kasih sayangnya, kesahku mendapat titik terang. Tutur kata yang lembut telah menyejukkan jiwaku yang gersang. Bahkan Izin yang kudamba dari suamiku sejak lama akhirnya datang. Dan dari nasihat ibu mertuaku juga yang kemudian meluluhkan hati suamiku. Bahagia itu datang tanpa kuduga. Semua impianku sebagai ibu seutuhnya untuk mengiringi setiap detik pertumbuhan kedua buah hatiku akan menjadi kenyataan. Aku sangat bersyukur. Ujian sakit yang anakku alami, telah membuka jalan bagiku menunaikan kewajiban ibu yang telah lama kurindu. Kebencian terhadap tingkah polah suamiku seakan luruh saat itu. Dirinya seakan hadir menjadi sosok paling tampan dalam lamunan cintaku.

Aku pun mulai menikmati kehidupan baruku. Predikat "full time mom," kini tersemat pada diriku. Kebahagiaan yang datang turut menepis kecemasan suamiku. Kekhawatiran akan berkurangnya pendapatan bila aku tak lagi bekerja seakan sirna. Bahkan Allah telah menunjukkan kuasa-Nya. Jalan rezeki itu datang dari arah yang tak pernah disangka. Suamiku mendapat promosi di pekerjaannya, dan mematahkan semua khawatir dalam benaknya akan kondisi ekonomi keluarga kami. Apa yang telah Allah sebutkan dalam QS. Ath-Thalaq: 7, benar-benar dapat kami rasakan saat itu.

"Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan" (TQS. At-Talaq: 7).

Kehangatan keluarga yang kudamba, perlahan mulai terjalin. Waktuku pun banyak kuisi untuk keluargaku. Aku pun mulai belajar mendalami agama, sebagai wujud keinginanku yang tidak kudapat di bangku sekolah dulu. Ini adalah cita-citaku yang lama terpendam. Dari sinilah, aku mulai berkenalan dengan Islam yang hakiki, dan telah membuka pikiranku bahwa kehidupan dunia bak singgahnya para musafir, sesaat dan sekejap.

Aku pun mulai memahami, bahwa hidup adalah cerita tentang taat pada syariat. Tapi dunia kini bercerita lain, kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan limpahan materi. Tak peduli dengan hukum syariat yang telah dikebiri. Kehidupan sekuler sangat nyata menjauhkan Islam dari masyarakat hingga melahirkan kezaliman dan keterpurukan pada tubuh umat. Kondisi ini telah membuatku sadar akan pentingnya sebuah perjuangan, dakwah menegakkan hukum Islam demi sebuah kebangkitan. Aku pun menjadi seorang pembelajar yang haus akan Islam. Karena keindahannya semakin membuatku rindu untuk dihadirkan.

Tentu saja, setiap langkah dan keinginanku ini dijalani dengan iringan restu dan dukungan penuh serta kepercayaan suamiku. Ia tidak pernah melarangku menjalani aktivitas di luar rumah. Bahkan dengan dukungannya juga, turut memberikan seorang pembantu untuk meringankan pekerjaan rumahku, sehingga aku dapat menghadiri majelis-majelis ilmu sekaligus berdakwah untuk Islam. Ia pun tak segan memberi hadiah sebuah kendaraan bermotor demi memudahkan aktivitasku, hingga anggaran rumah tangga kami pun ia tambahkan demi membiayai taklim dan dakwahku.

Tanpa aku sadari, perjalanan pencarian imamku adalah hal luar biasa terkabulnya doaku. Karena dengan izin suamiku, kesempatan belajar dan mengenal Islam dapat kulakukan. Bahkan kini aku pun menyadari, ketidakbergemingan dan kekukuhan akan keinginannya dulu, justru sebagai cara untuk selalu menghadirkan Allah dalam hatiku. Kesabaran dan keistikamahan dukungan yang senantiasa suamiku berikan adalah pembuka jalan mewujudkan semua harapanku. Sungguh, Allah telah mengabulkan doaku dengan cara-Nya yang sangat indah. Allah Swt. telah berfirman:

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran"

(TQS. Al-Baqarah: 186).

Pengorbanan suamiku mendukung aktivitasku, menjadi kekuatan tersendiri bagi perjuangan dakwahku, demi cita menggapai surga Allah bersama dirinya dan keluargaku kelak. Dan aku berharap, kebahagiaan mahligai rumah tangga yang kami jalani saat ini, berlanjut hingga kehidupan akhirat nanti. Dan aku yakin dengan segala kemahaan-Nya, Allah senantiasa mengabulkan doa manusia yang tak pernah berhenti meminta dengan yakin dan percaya.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Zerrina Ilma Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Tentang Vitiligo
Next
Mengenal Aneka Satwa Bersama KBS
3 8 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

13 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Maya Rohmah
Maya Rohmah
1 year ago

Kisah yang dituturkan dengan begitu runut.
Penuh hikmah dari awal hingga akhir.

Raras
Raras
1 year ago

Masya Allah, tulisan ini menyadarkan siapa pun yang membaca akan pentingnya harapan atas semua doa.

Neni Nurlaelasari
Neni Nurlaelasari
1 year ago

Masya Allah. Kesabaran berbuah manis. Lope lope kisah ini.

Triana
Triana
1 year ago

Masya Allah mengharu biru ceritanya..reminder banget.. barakallah mbak zerrima

Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

MasyaAllah, kisah yang bagus. Ringan tapi mengena. Barakallahu fiik untuk penulis

Nilma Fitri
Nilma Fitri
1 year ago

Maa syaa Allah. Kisah yang sangat menginspirasi. Kekuatan doa akan terkabulnya semua pinta akan sangat menguatkan setiap ujian yang dihadapi.

R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

barokallah mbak... tulisannya dapat nilai besar dari jurinya..

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Story-nya mengalir. Saya sudah baca sampai selesai, seperti sedang baca cerpen. Intinya ibrah dari cerita ini luar biasa, antara keteguhan doa dan keyakinan pada Allah. Barakallah ...

Nirwana Sadili
Nirwana Sadili
1 year ago

MaasyaaAllah kisahnya mengharukan ditulis dengan rangkaian kata-kata yang indah. Semua orang punya cerita yang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain , tetapi menyusun menjadi sebuah tulisan tidak semua orang bisa.

Mimy Muthamainnah
Mimy Muthamainnah
1 year ago

Masyaallah kisah RT yg luar biasa. Bersabar melawan keadaan yg tak semestinya dilakukan. Namun ketaatan telah meyelamatknnya melalui sesuatu yg terkadang terlihat tdk menyenangkan namun menyimpan sejuta kebaikan.

Naskah ini kisahnya mengalir bahasannya apik dengan diksi yg begitu indah tersusun. Dan aku menyukainya. Sukses

Sherly
Sherly
1 year ago

Story yang bagus sekali. Masyallah. Barakallah.

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
1 year ago

MasyaAllah, storynya membuat tambah yakin akan janjinya-Nya. Tetaplah yakin akan ribuan do'a yang dipanjatkan, insyaAllah ada saatnya doa tersebut dikabulkan pada waktu yang tepat.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram