Takdir-Mu Terbaik Untukku

….. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 216)

Oleh. Iztania Balqis
(Kontributor NarasiPoat.Com)

NarasiPost.Com-Menjelang hari raya Idulfitri tradisi mudik seakan menjadi hal wajib. Keluarga kecilku antusias menyambut momen pulang kampung. Kali ini kami pulang ke kampung halamanku di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Di kaki Gunung Ciremai ini, aku memiliki sebuah rumah tua peninggalan almarhum kakek yang diwariskan turun-temurun hingga menjadi milikku. Rumah ini selalu kosong tanpa penghuni, karena aku memutuskan tinggal di Bekasi bersama suami dan anak-anak. Hanya pamanku yang mengurus karena letak rumahnya berhadapan dengan rumahku.

Setelah beberapa jam perjalanan, kami akhirnya sampai di kampung halaman. Suasana asri, sepi, dan hawa dingin pegunungan selalu menyambut kedatangan kami. Bertemu dengan saudara dan kerabat menjadi hal yang dirindukan ketika berada di tanah perantauan. Selama di kampung, tentu kami menghabiskan hari-hari kami di rumah yang lama kami tinggalkan. Saat berada di kamar, pikiranku melayang teringat semua kenangan akan rumah ini. Ya, di rumah tua ini aku dilahirkan dan dibesarkan selama 17 tahun. Banyak kenangan yang terukir bersama semua almarhum keluargaku. Dari kecil, aku menjadi anak tunggal di rumah ini. Hidup bersama kakek, nenek, ayah, dan ibuku. Namun satu persatu Allah panggil kembali.

Kematian kakek merupakan awal kesedihanku. Betapa tidak, aku kehilangan seorang yang selalu memanjakanku di rumah. Hanya selang beberapa bulan, ibuku pun Allah panggil saat aku baru berusia 9 tahun. Namun sebelum meninggal, ibu sempat berwasiat agar aku tetap di rumah ini bersama nenek. Setelah kehilangan ibu, sepekan kemudian ayah pulang ke kampung halamannya di kampung sebelah. Karena tak mungkin ayah berada di rumah yang bukan miliknya meski ada aku anak satu-satunya.

Sejak saat itulah aku hanya tinggal berdua dengan nenek di rumah. Selang beberapa bulan, ayahku menikah kembali dengan janda anak satu di kampungnya. Waktu itu, aku hanya mengerti bahwa aku punya ibu dan seorang adik tiri. Namun semua tak mengubah apa pun, karena kami tetap tinggal terpisah. Tahun demi tahun kulalui tanpa kasih sayang orang tua. Ya, bisa disebut aku anak "broken home".

Namun meski disebut broken home, Alhamdulillah Allah selalu membimbingku. Kebebasan yang kumiliki karena hanya tinggal dengan seorang nenek, tak menjadikanku terjerumus pada hal yang tidak baik. Justru sebaliknya, menjadikan diriku memiliki keinginan kuat untuk berprestasi dalam bidang akademik di tengah ketiadaan peran orang tua di sampingku. Sejak SMP aku buktikan dengan menjadi juara kedua di kelas. Sementara di SMK aku buktikan dengan selalu menjadi juara pertama di kelas Akuntansi. Tak hanya itu, aku alihkan kesepianku tanpa orang tua dengan mengikuti ekskul di sekolah dan kegiatan di remaja masjid kampung. Aku buktikan selain menjadi juara kelas, aku pun mampu bertanggung jawab sebagai ketua PMR dan sekretaris OSIS di sekolah. Itulah caraku mengisi kesepian kala itu.

Hingga saat aku menginjak kelas 3 SMK, nenekku jatuh sakit dan akhirnya Allah panggil kembali. Aku tersungkur menangis sejadi-jadinya. Merasakan kehilangan orang tercinta tuk kesekian kalinya. Namun aku tetap mencoba bersabar dan ikhlas atas setiap takdir yang harus ku jalani. Setelah kematian nenek, otomatis aku sendirian di rumah. Meski ayah meminta untuk tinggal bersama di kampungnya, aku menolak karena jarak sekolahku lebih jauh jika berada di tempat ayah. Akhirnya satu semester aku jalani hidup sendirian. Beruntung di sekeliling rumahku, banyak rumah saudara dan kerabat termasuk rumah paman yang ada di depan rumah. Aku sering menghabiskan waktu dengan bermain di rumah saudara. Hingga setelah lulus sekolah, aku memutuskan untuk pergi merantau ikut sepupuku ke Tangerang.

Di sana aku bekerja di bagian produksi di sebuah pabrik makanan. Di tempat kerja itulah aku mengenal seorang laki-laki baik, yang tak kusangka kelak dialah yang menjadi imamku. Setelah beberapa bulan mengenal, laki-laki itu mendatangi ayahku bermaksud melamar. Saat itu, ayahku menerima lamarannya dengan baik. Hingga pertemuan kedua keluarga pun dilaksanakan untuk menentukan hari pernikahan.

Tak ayal rencana pernikahanku menjadi buah bibir orang-orang di kampung, tak terkecuali di kalangan saudara dan kerabatku. Sebagian mencela karena melihat umurku yang baru menginjak 19 tahun. Mereka berpandangan, harusnya aku terus bekerja menikmati hidup dan berbakti dahulu pada ayah. Bersyukur tak sedikit dari kerabat mendukung langkahku, agar aku tak lagi merasakan sendirian.

Alhamdulillah pernikahanku berjalan lancar. Aku bersama suamiku memutuskan tinggal di perantauan. Setelah setahun pernikahan, aku dikaruniai seorang putri yang melengkapi hidupku. Ya, kini aku memiliki keluarga kecil yang menemani hari-hariku. Dan kehidupan rumah tanggaku tidak selalu berjalan mulus. Ujian pun datang mendera kami. Suatu ketika, tempat kerja suamiku tutup, dan memengaruhi kondisi ekonomi kami yang menjadi tidak stabil.

Walaupun sudah banyak usaha yang dilakukan suamiku demi memperbaiki ekonomi keluarga, namun pemasukan yang diharapkan belum dapat mengimbangi pengeluaran kami. Akhirnya, demi meminimalisasi pengeluaran, kami putuskan untuk tinggal terpisah. Aku dan putri kecilku kembali ke kampung menempati rumahku di sana, dan suamiku tetap di perantauan demi berjuang untuk kami dan tinggal di mes karyawan sementara waktu. Posisiku yang tinggal di kampung inilah yang akhirnya membuatku lebih dekat untuk mengunjungi ayahku.

Hingga saat putriku menginjak usianya 1 tahun, ibu tiriku mengabarkan jika ayahku sakit dan akan dibawa ke rumah sakit. Sontak aku kaget. Karena terakhir kali berkunjung, beliau masih beraktivitas seperti biasanya. Aku langsung menitipkan putriku pada paman depan rumahku. Aku bergegas menuju rumah sakit terdekat. Setibanya di sana, ayah ditemani ibu tiri dan beberapa orang saudara, masih menunggu hasil pemeriksaan. Dokter menjelaskan, bahwa penyakitnya sudah parah, dan harus dirujuk ke rumah sakit di kota. Tetiba ayahku syok, badannya tiba-tiba lemas lunglai hingga tak mampu untuk berjalan setelah mendengar penjelasan dokter. Hingga saudaraku membopong tubuh ayah masuk ke mobil untuk melanjutkan ke rumah sakit di kota.

Saudara-saudara ayah dan ibu tiri memutuskan untuk membawa ayah ke rumah sakit tujuan. Sementara aku pamit pulang dahulu untuk menengok putriku, dan berencana menyusul ke rumah sakit. Saat aku hendak berangkat ke rumah sakit, kabar datang bahwa ayah langsung dirujuk ke rumah sakit darurat, karena kondisinya tidak memungkinkan untuk berangkat ke kota. Di daerahku ada rumah sakit darurat jika terjadi kondisi darurat pada pasien. Rumah sakit ini terletak di pertengahan jalur menuju kota. Karena jarak kampung ke rumah sakit di kota cukup lama, sekitar 2 jam perjalanan. Aku pun segera menuju rumah sakit darurat.

Sesampainya di tempat, kucari di mana ayahku ditempatkan. Kulihat dari pintu ruang IGD, segala peralatan rumah sakit terpasang di tubuh ayah. Ya, ayahku terbaring dalam keadaan koma dan harus tetap dibawa ke rumah sakit besar di kota menggunakan ambulans. Hati kecilku meronta, aku ingin menemani ayah, aku ingin bersamanya, aku ingin mendampinginya merasakan ujian sakit yang ia derita. Tapi, kebutuhan ASI atas bayi mungilku akhirnya menyadarkan logikaku. Aku hanya mampu menitipkan ayah pada ibu dan saudara-saudaranya yang bergantian saling menjaga ayah di rumah sakit. Sementara aku di rumah, diselimuti kecemasan dan kegelisahan menunggu kabar ayah. Alhamdulillah, penantianku terbalas dengan kabar ayah yang sudah sadar di sana. Kata mereka kondisi ayah pun sudah mulai membaik. Dan kuputuskan besok aku akan ke rumah sakit menjenguk ayah.

Saat menengok ke rumah sakit, kondisi ayah sudah mulai membaik meski tak banyak berbicara dan lebih banyak tertidur. Dokter menyatakan hari Senin ayah sudah diperbolehkan pulang dan cukup menjalani kontrol. Aku pun pamit pulang ke rumah dan berencana menunggu kepulangan ayah di rumah saja, karena aku kerepotan harus mondar-mandir meninggalkan putriku. Ketika hendak berpamitan, aku mendekati ayah namun beliau masih tertidur.

Akhirnya aku pergi tanpa berpamitan padanya. Saat berjalan menuju pintu keluar ruangan, entah kenapa aku merasa ayah seperti melihatku. Aku membalikkan badanku dan benar saja, ayah sedang memandangiku. Aku ingin kembali mendekati beliau, namun ayah kembali menutup matanya. Aku berpikir, Nanti juga ayah akan pulang ke rumah dan bertemu kembali denganku. Aku pun mengurungkan niatku untuk kembali mendekati ayah dan bergegas pulang menemui putriku yang kutitipkan pada paman.

Hari Ahad seharian di rumah tak sabar aku menunggu kepulangan ayah besok pagi, sosok yang kucintai dan kurindukan saat ini. Sekelebat dalam benakku, Ayah, kunanti kedatanganmu di sini. Ayah adalah satu-satunya keluarga terdekatku saat ini, yang kuhormati dan kusayangi, sebentar lagi akan hadir kembali di rumah ini. Banyak kenangan ayah melintas dalam anganku. "Alhamdulillah, ayahku akan pulang."

Tak lama keponakan ayahku datang, tergesa-gesa menghampiriku, katanya ayah akan pulang hari ini, bukan besok. Tapi, ia pulang bukan ke rumah ini, ayah pulang, pergi untuk selamanya. Aku terdiam, tak terasa air mataku menetes, membasahi pipiku. Tangisku pun pecah, aku tak mampu berkata-kata, hanya lafaz istigfar terucap dari bibirku. Harapanku pun sirna, pupus terhempas. Bayangan pandangannya kala itu adalah kenangan terakhirnya, tatapan sendu yang mengiringi kepulanganku. Inna lillāhi wa inna ilahi rājiūn. Kini, ia pun telah pergi untuk selamanya.

Untuk kesekian kalinya aku pun merasakan kembali kehilangan orang tercinta. Ayahku meninggalkanku di usia dua tahun pernikahanku. Saat pemakaman ayah, hatiku terasa hancur, ingin rasanya aku ikut ayah masuk ke dalam pusaranya. Tapi aku teringat putri kecilku yang masih sangat membutuhkanku. Dalam batin aku berbisik, Ayah, aku tak ingin ditinggalkan sendirian.

Setelah pemakaman selesai, badanku masih terasa lemas. Tak kusangka hari itu adalah hari terakhir aku memiliki orang tua. Namun di balik kesedihan yang kualami, ada rasa syukur menggantikan perasaan gundahku dulu mengenai pernikahanku. Saudara dan kerabat yang dahulu mencela pernikahanku, akhirnya membenarkan keputusanku menikah muda. Karena baru dua tahun pernikahanku, ayah pergi untuk selamanya. Kepergian ayah, Allah gantikan dengan suami dan anak untuk menemani kehidupanku. Maka benarlah jika takdir Allah adalah yang terbaik bagi hamba-Nya. Seperti dalam firman Allah:

…. ۚ وَعَسٰۤى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْــئًا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّـکُمْ ۚ وَعَسٰۤى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْــئًا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمْ ۗ وَا للّٰهُ يَعْلَمُ وَاَ نْـتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

"….. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 216)

Setelah kepergian ayah, aku pun memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman. Bersama keluarga kecilku, kami memutuskan kembali ke perantauan seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi kami. Sungguh, kehilangan ayah dan ujian demi ujian yang datang melandaku, telah membuat batinku terasa lelah. Namun aku yakin, kasih sayang Allah tak pernah berhenti.

Ketika aku merasakan kejenuhan dan kegalauan bercampur baur dalam pikiran dan hatiku, datanglah seorang teman. Ya, teman yang akhirnya mengajakku lebih mengenal Islam. Berkat undangannya, aku pun hadir dalam sebuah kajian, yang menurutku sangat unik dan berbeda. Islam dibahas dalam bentuk lain yang belum pernah kuketahui, hingga akhirnya membuatku jatuh cinta mempelajarinya.

Aku pun menyadari betapa pentingnya belajar agama. Sebagai wujud pelaksanaan kewajiban menuntut ilmu agama, dan aku pun mendapatkan ketenangan bak air yang menghilangkan dahagaku. Islam juga yang menjadi bekalku untuk mendidik putri kecilku tercinta. Harapanku, ia mendapat didikan terbaik dariku, orang tuanya. Karena aku menyadari hal itu adalah bagian yang dulu pernah hilang dari 'puzzle' kehidupanku.

Inilah titik awal hijrahku yang indah. Islam menghantarkanku kepada pemahaman, bahwa materi bukan segalanya. Karena kesuksesan dan kebahagiaan bukan berasal dari materi semata. Sungguh luar biasa dan sempurna Islam, perlahan mulai menyelisik ke dalam relung pemikiranku. Kajian ini benar-benar telah mengubah arah pandangku tentang dunia. Aku terpukau, Islam bukan hanya sekadar salat dan puasa, tapi jauh lebih mendalam dari sekadar hanya ibadat saja. Pengaturan hubungan manusia dengan Allah, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri dikupas tuntas dalam Islam. Kesempurnaan Islam dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia, membuatku tersadar, bahwa aku hanyalah makhluk yang wajib menghamba kepada Pencipta manusia, yaitu Allah Swt.

Aku pun semakin menyadari, bahwa kondisi umat Islam saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kezaliman, penistaan, dan kesengsaraan, semua sangat bersahabat dengan kaum muslimin. Tidak hanya di negeriku tercinta, tapi hampir di seluruh penjuru dunia, umat Islam benar-benar terpuruk. Di sisi lain, sejarah dunia mencatat, bahwa dahulu umat Islam berada dalam kondisi kedigdayaan yang luar biasa. Empat belas abad lamanya kejayaan itu kokoh dan menyebar hingga dua pertiga dunia.

Perjuangan Rasulullah saw. dan para sahabat serta para khalifah setelahnya, diiringi dengan ujian, kepedihan, derai air mata, hingga pengorbanan jiwa, telah membuatku malu. Ujian kehidupanku tak seberapa dibandingkan perjuangan mereka. Belum lagi kepedihan saudara-saudaraku di negara lain saat ini, Palestina, Uyghur, Myanmar, mereka tertindas karena kokoh mempertahankan akidah.

Lagi-lagi, aku? Kesedihanku bagai setitik hitam dalam sketsa dunia luas. Tidak ada apa-apanya. Benakku pun bertanya, Ada apakah gerangan yang terjadi, mengapa kondisi umat Islam saat ini, sangat jauh berbeda dari yang dahulu? Dulu, di saat Daulah Islam hadir dan tidak adanya Daulah Islam kini, sungguh kondisi yang sangat-sangat jauh berbeda.

Ketika Islam diterapkan dalam sistem negara, kehormatan umat Islam terjaga, kesejahteraan dan keberkahan terwujud sehingga umat Islam menyandang gelar sebagai 'khoiru ummah' (umat terbaik). Namun, kondisi umat Islam hari ini berbeda, sangat memprihatinkan. Itulah yang membakar semangatku dan memutuskan ikut serta mengambil peran untuk amar makruf nahi mungkar semampuku. Karena kewajiban amar makruf nahi mungkar itu, tak hanya sebatas tugas ulama, namun merupakan kewajiban setiap muslim. Seperti dalam firman Allah Swt.

"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran." (QS Al-'Asr: 3)

Akhirnya, aku menyadari, rasa syukur ìtu harus senantiasa hadir di kala ujian datang dalam hidupku. Sepedih dan seberat apa pun dia hadir, aku siap menghadapinya. Karena aku yakin, melalui ujian itulah, Allah akan membuatku lebih baik dan lebih baik lagi. Dan takdir Allah tentulah yang terbaik bagi kehidupanku.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Neni Nurlaelasari Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Syirkah Mudarabah
Next
“Cinta” Meraih Standar Kepuasan Karena Allah
3.8 10 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

14 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Nilma Fitri
Nilma Fitri
1 year ago

Baarakallaahu fiik mba. Kisah kehidupn yang sangat memotivasi. Semoga Allah memepertemukan mba kembali bersama keluarga di jannah-Nya

R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Sedih.. Semoga kelak di syurga, Allah pertemukan kembali dengan orang-orang tercinta..

Dia Dwi Arista
Dia Dwi Arista
1 year ago

Terimakasih telah berbagi kisah ini mbak, semoga Allah beri ganti yang lebih, dan alm. Ayah Mbak diganjar pahala atas amal2 beliau. Aku pribadi, makin berkaca diri, tinggal bapak saja yang saat ini masih menemani, pun dengan kondisi sakit parkinson.

Nirwana Sadili
Nirwana Sadili
1 year ago

Maasyaallah ikut terharu membaca kisahnya. Ingat ketika ayah saya meninggal. Saat itu, ibu mengabarkan bapak sakit. Malam itu juga saya beli tiket untuk penerbangan pagi. Sampai di Soppeng tidak langsung ke rumah tapi langsung ke rumah sakit. Disana Ayah terbaring lemah. Selama dua hari saya bersama ayah di rumah sakit sebelum dipanggil menghadapNya. Ternyata saat itu pertemuan terakhir saya dengan ayah.

Ummu Ainyssa
Ummu Ainyssa
1 year ago

Ya Allah... saya ikutan sedih baca kisah ini. sehat2 ya mbak, mbak begitu kuat. Sy gak tahu jika ini terjadi padaku, kehilangan satu persatu orang2 yg kita sayangi. Mungkinkah saya bisa sekuat mbak?

Sherly
Sherly
1 year ago

Maasyaallah. Sangat terharu dengan kisahnya. Barakallah ..

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Masyaallah, kisah yang menyedihkan. Membayangkan kalau itu adalah saya. Siapa pun pasti sedih ditinggal orang-orang terdekat, tapi manusia memang tidak punya kuasa apa pun terhadap diri dan hidupnya. Barakallah untuk penulis.

Teti Rostika
Teti Rostika
1 year ago

Membaca sambil membayangkannya. Tentu tidak akan mudah melewati ujian ini. Semoga Allah senantiasa menjaga Mbak dan keluarga.

Ummu fatimah
Ummu fatimah
1 year ago

MaayaaAllah mba, sehat selalu semoga kita bisa jumpa lagi
Tentang takdir terbaik, memang Allah maha baik

Irma sari rahayu Rahayu Irma
Irma sari rahayu Rahayu Irma
1 year ago

Maasyaa allah. Kisah yang menyentuh. Kita memang tak pernah tahu jalan hidup kita. Pahit dan kesulitan hidup yang dialami yang kita anggap buruk justru adalah hal yang terbaik menurut Allah. Barakallaah untuk penulis

Wulan
Wulan
1 year ago

Masya Allah, semoga kita selalu senantiasa di beri kekuatan dalam menjalani hidup dan selalu kasih rasa sabar

Mimy Muthamainnah
Mimy Muthamainnah
1 year ago

Masyaallah sungguh hal yg menyedihkan ketika membutuhkan orang2 yg dicintai dan mereka mencintai kita...tapi ternyata mereka telah pergi jauh selamanya.
Terharu membaca naskah ini. Semakin menyadarkan diri betapa hidup telah di atur_Nya sejak dimulai kelahiran hingga kematian.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram