"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka) bagi anak-anakmu, yaitu bagian untuk anak laki-laki sama dengan bagian untuk dua anak perempuan. (An-Nisa: 11)"
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sejak diterapkannya sekularisme dalam dunia pendidikan, kaum muslimin semakin jauh dari Islam. Hal itu terjadi karena minimnya materi pelajaran yang mengajarkan tsaqafah Islam. Akibatnya, banyak hukum syarak yang tidak dipahami, salah satunya adalah hukum waris.
Sebagian besar masyarakat kemudian membagi warisan tanpa memperhatikan hukum syarak. Mereka menyamakan bagian untuk laki-laki dengan perempuan. Mereka berpikir bahwa model pembagian yang seperti itu dianggap sebagai bentuk keadilan. Namun, benarkah demikian?
Warisan Sebagai Sebab Kepemilikan
Jauh sebelum kaum muslimin berada dalam kondisi seperti saat ini, Rasulullah saw. telah mengingatkan masalah ini melalui hadis Ibnu Majah. Di dalam hadis ini, Beliau saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada manusia. Sesungguhnya ilmu faraid merupakan sebagian dari semua ilmu dan banyak dilupakan. Ilmu faraid juga merupakan hal yang pertama dicabut dari umatku."
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk mempelajari ilmu faraid karena harta warisan merupakan harta yang rentan untuk diperebutkan. Setiap ahli waris merasa berhak dan menginginkan bagian yang besar. Jika ahli waris tidak memahami tata cara pembagian warisan, dapat terjadi perselisihan dan permusuhan antarsaudara. Karena itu, setiap muslim harus memahami kedudukan harta warisan serta tata cara pembagiannya.
Warisan merupakan salah satu sebab kepemilikan yang diakui oleh syarak. Warisan adalah pemindahan hak kepemilikan dari orang yang mewariskan kepada ahli waris. Melalui pewarisan inilah, seseorang yang awalnya tidak memiliki benda mendapatkan hak kepemilikan atas benda tersebut.
Setelah ia memiliki benda itu, ia berhak untuk memanfaatkan, menyewakan, maupun menjualnya. Semua aktivitas ini hanya boleh dilakukan oleh pemilik sah benda atau barang. Misalnya, ia mendapatkan warisan sebidang tanah. Ia dapat memanfaatkannya secara langsung dengan cara menanami atau mendirikan bangunan di atasnya. Ia juga dapat menyewakan tanah itu untuk gudang atau toko. Ia juga dapat menjualnya kepada orang lain. Begitulah, tersebab hukum waris ini, seseorang dapat bertambah kekayaannya. Karena itulah, warisan disebut sebagai sebab kepemilikan.
Namun, ada tiga kondisi yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan harta warisan. Pertama, perbudakan. Seseorang yang menjadi budak, tidak berhak untuk mendapatkan warisan. Sebab, semua yang dimilikinya adalah milik tuannya. Hal ini dilandaskan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim, "Siapa saja yang membeli budak, sedangkan budak itu memiliki harta, maka hartanya menjadi milik penjual, kecuali jika pembeli memberi syarat."
Kedua, perbedaan agama. Hal ini sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Hadis itu menyatakan bahwa seorang muslim tidak dapat mewariskan hartanya kepada orang kafir. Demikian pula sebaliknya, seorang kafir tidak dapat mewariskan hartanya kepada seorang muslim.
Ketiga, pembunuhan. Rasulullah saw. menyatakan bahwa orang yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapatkan sedikit pun harta warisan dari pewaris. Penjelasan Rasulullah saw. ini terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Keadilan Islam
Islam telah mengangkat kedudukan para wanita. Sebelum Islam datang, wanita dan anak-anak tidak mendapatkan warisan. Bahkan, mereka termasuk harta warisan yang dapat dibagikan ke ahli waris. Mereka tak ubahnya harta benda, sehingga dapat diberikan dan diwariskan kepada orang lain.
Setelah Islam datang, para wanita dan anak-anak mendapatkan hak waris, termasuk janin dalam kandungan, jika ia lahir dalam keadaan hidup. Abu Dawud meriwayatkan hadis yang menyebutkan bahwa jika anak yang terlahir itu menangis atau melakukan gerakan-gerakan yang menandakan bahwa ia hidup, maka ia berhak mendapatkan warisan.
Meskipun demikian, masih banyak yang menuduh Islam berlaku tidak adil terhadap perempuan dalam pembagian warisan. Pasalnya, perempuan mendapatkan bagian yang lebih kecil dari laki-laki, yakni hanya setengahnya. Hal ini difirmankan oleh Allah Swt. dalam surah An-Nisa [4]: 11,
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيٓ أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Artinya: "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka) bagi anak-anakmu, yaitu bagian untuk anak laki-laki sama dengan bagian untuk dua anak perempuan."
Padahal, pembagian ini sudah adil. Sebab, adil dalam Islam tidak berarti harus sama bagiannya. Adil dalam Islam bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya. Mengapa pembagian ini disebut yang paling adil? Sebab, kaum lelaki mendapat kewajiban yang tidak diberikan kepada kaum wanita. Mereka harus memberi nafkah keluarganya. Keluarga di sini tidak hanya sebatas keluarga inti. Ada beberapa orang yang harus ditanggung oleh seorang laki-laki jika mereka tidak mampu, seperti orang tua dan saudara perempuannya.
Sedangkan kaum wanita tidak pernah memiliki kewajiban menafkahi orang lain. Dalam kondisi apa pun, ia adalah orang yang harus dinafkahi. Bahkan, seumur hidup, ia tidak berkewajiban mencari nafkah.
Karena itu, meskipun laki-laki mendapatkan harta warisan lebih banyak dibandingkan perempuan, bukan berarti ia lebih kaya dibandingkan saudara perempuannya. Bisa saja yang terjadi malah sebaliknya. Sebab, laki-laki harus membagi rezeki yang diperolehnya dengan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Sedangkan rezeki yang didapat oleh perempuan hanya untuk dirinya. Di sinilah letak keadilan itu. Sebab, Islam telah menetapkan bagian laki-laki sesuai dengan kewajiban yang harus dilakukannya.
Tuduhan yang diberikan kepada Islam ini muncul dari kalangan feminis. Mereka menginginkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Padahal, ide feminis muncul sebagai reaksi atas buruknya perlakuan terhadap kaum wanita di Barat. Sedangkan Islam telah menempatkan para wanita di posisi yang mulia dan terhormat. Karena itu, tidak seharusnya kita mengambil pemikiran kaum feminis yang jelas-jelas tidak berlandaskan pada syariat Islam.
Seharusnya kita menerapkan hukum waris sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Sebab, hukum ini berasal dari Allah Swt., Zat Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Tidak ada sedikit pun kezaliman dari-Nya.
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]
Saking adilnya Islam dalam perkara warisan, maka warisan tak sekadar dibagi dua atau lainnya. Tapi ada urutan yang berhak menerima warisan plus porsi warisannya. Ada juga yang terhalang mendapatkan warisan karena suatu hal, dll. Maka dari itu, warisan ada ilmunya sendiri yang disebut ilmu faraidh
Kehidupan sekuler tak hanya membagi rata hak waris. Namun di kampung saya, bagian wanita lebih besar dari anak laki-laki. Hal ini karena dianggap anak wanita menjadi harapan satu-satunya yang akan mengurus orang tua ketika sakit hingga ajal menjemput. Maka rumah orang tua sudah otomatis punya anak perempuan seorang, belum di tambah aset lain di luar rumah yang pembagiannya sama dengan laki-laki. Maka jelas tradisi di kampung saya, hak wanita atas warisan lebih besar dari anak laki-laki.