Persoalan korupsi bukanlah semata-mata disebabkan oleh ketamakan individu. Ketamakan merupakan salah satu faktor ketika gaya hidup materialisme yang notabene mengejar kesenangan duniawi yang telah mengakar sehingga menyingkirkan keimanan dalam diri seseorang.
Oleh : Siti Mustaqfiroh
(Muslimah Pegiat Literasi)
NarasiPost.com - Budaya korupsi tampaknya sudah menjadi yang hal lumrah di tengah kehidupan. Para pelakunyapun sudah kehilangan rasa malu untuk melakukan hal tersebut di depan umum. Bahkan ada yang dengan sengaja mempertontonkan perbuatan buruknya di khalayak umum, di depan seluruh masyarakat Indonesia.
Ibarat kanker yang telah menyebar hingga sendi-sendi syaraf dan peredaran darah. Sangat sulit untuk mengobati. Sebab, jika kita mencoba mengobati di tempat yang satu, maka muncul lagi di tempat lain yang lebih variatif lagi. Begitupun dalam kehidupan nyata, kasus korupsi terus meningkat dan lebih bervariasi. Meskipun telah dibentuk Komisi Penanggulangan Anti Korupsi (KPK) yang terus berganti jabatan dan kebijakan, namun tak juga memberikan hasil yang nyata, justru kasus korupsi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Dilansir dari CNN Indonesia (29/9/2020), berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan, terdapat 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020, dengan masa pemantauan dari 1 Januari sampai 30 Juni 2020. Dari 169 kasus yang sedang disidik, 139 kasus merupakan kasus baru, 23 pengembangan kasus dan 23 lainnya kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT). Jumlah tersangka sebanyak 372 orang, dengan nilai kerugian Rp. 18,1 triliun. Kalau dirata-ratakan setiap bulan adalah 28 kasus dengan 60 tersangka yang ditetapkan.
Mencuatnya kasus pidana korupsi dalam perizinan ekspor benih lobster yang menjerat menteri kelautan dan perikanan Edy Prabowo menambah daftar panjang kasus korupsi di tahun 2020. Belum lagi kasus yang belum terungkap atau dengan sengaja ditutup-tutupi oleh rezim saat ini.
Berdasarkan pernyataan Moh Abdi Subufan selaku Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW), kasus perizinan ekspor benih lobster menunjukkan selama ini KKP hanya fokus kepada regulasi benih lobster dan melupakan prioritas lain dalam sektor kelautan dan perikanan Nasional.(Akurat.co,27/11/2020).
Padahal, KKP adalah kementerian strategis yang memiliki peran untuk memberikan perlindungan ekonomi kepada kelompok nelayan, pembudidaya dan pelaku usaha pada masa krisis saat pandemi masih berlangsung. Namun, sanggatlah disayangkan kegagalan untuk menjalankan hal tersebut. Dapat dilihat dari rendahnya kemampuan belanja KKP hanya berkisar 50,28 persen sampai bulan September. Sangat ironi, sebab masyarakat kelautan dan perikanan sangat membutuhkan suntikan stimulus dari pemerintah untuk tetap bertahan di tengah sulitnya perekonomian dan melanjutkan kehidupan mereka.
Persoalan korupsi bukanlah semata-mata disebabkan oleh ketamakan individu. Ketamakan merupakan salah satu faktor ketika gaya hidup materialisme yang notabene mengejar kesenangan duniawi yang telah mengakar sehingga menyingkirkan keimanan dalam diri seseorang.
Saat ini, persoalan korupsi adalah persoalan sistemis yang sulit untuk dihindari. Diungkapkan oleh ICW bahwa maraknya kasus korupsi dari tingkat daerah sampai tingkat pusat adalah karna mahalnya biaya demokrasi, mulai dari dana kampanye, mahar politik, dan pembiayaan politik sebagai syarat pengusungan calon saat kampanye. Praktik ini meniscayakan pelibatan investor dan cukong politis dalam pemilihan pejabat negara, anggota legislatif, maupun kepala daerah. Inilah dampak dari penerapan sistem demokrasi yang berbiaya tinggi.
Mereka yang berhasil menduduki kekuasaan berkat jasa kapitalis ini, wajib memuluskan kepentingan bisnis mereka sebagai bentuk balas Budi. Pesta demokrasi yang berbiaya mahal, akan membuat mereka senantiasa berusaha untuk mengembalikan modal yang telah di keluarkan, baik untuk dirinya maupun untuk partai yang mengusungnya. Sehingga, praktik suap pun tak bisa dihindari lagi.
Lebih dari itu, ideologi kapitalisme adalah ideologi kemaslahatan, sehingga mendorong para pejabat untuk membuat aturan yang menguntungkan diri sendiri. Menjadi lumrah jika setiap pergantian menteri, terjadi juga perombakan aturan yang ada di dalamnya demi mencari cara untuk dapat mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Sebagaimana kebijakan Edy selaku menteri kelautan dan perikanan, yang menjadi barang komoditi ekspor adalah benih lobster. Padahal, jika dijual saat sudah dewasa, bukankah akan lebih menguntungkan dari pada saat masih benihnya. Mengapa tidak diambil kebijakan budidaya lobster yang bernilai jual tinggi. Padahal, Indonesia adalah negara yang diberi kenikmatan kelautan yang cocok untuk budidaya benih lobster. Tampak jelas, kebijakan ini bukan untuk kepentingan negara dan kepentingan rakyat, tetapi lebih kepada kepentingan pribadi.
Sudah saatnya umat Islam menyadari dan segera mencampakkan demokrasi kapitalisme yang menjadi pangkal dari tumbuh suburnya korupsi di negeri ini. Sebaliknya, umat seharusnya menjadikan Islam sebagai solusi tuntas atasi korupsi. Dalam sistem Islam yakni Khilafah terdapat mekanisme rinci yang akan dilakukan negara untuk mencegah korupsi pejabat negara. Pertama, dalam merekrut aparat dan pejabat negara harus profesionalisme dan integritas. Bukan berasaskan koneksitas dan nepotisme. Harus memiliki kriteria kifayah yakni kompabilitas dan kepribadian Islam. Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw:
“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR. Bukhari).
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparatur sipil negara dan pegawainya. Sehingga ketakwaan dan keimanan mereka akan selalu terjaga. Sebagaimana dilakukan oleh sahabat Rasulullah Saw, Umar bin Khattab yang selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al- Asy’ari, yang isinya “kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok.”
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas layak kepada aparatnya, agar dapat melaksanakan tugasnya tanpa ada beban pikiran akan kebutuhan hidup yang belum tercukupi. Rasulullah SAW bersabda, “siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah ia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR. Bukhari). Sedangkan Abu Ubaidah pernah berkata dengan Umar. “cukupilah pegawaimu agar ia tidak berkhianat.”
Keempat, Islam mengharamkan suap dan memberi hadiah bagi aparatur negara yang sedang menjalankan tugasnya. Nabi Saw pernah bersabda:
“Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang diambil di luar dari itu adalah harta yang curang.” ( HR. Abi Dawud).
Kelima, Islam memerintahkan menghitung kekayaan aparatur negara, baik sebelum menjabat, selama menjabat dan selesai menjabat. Khalifah Umar Ra, pernah menghitung kekayaan para pejabat pada awal dan akhir jabatan. Sehingga kita dapat mengetahui, sumber kekayaan tersebut dari mana saja, dan meminimalkan terjadi kecurangan.
Keenam, yakni keteladanan dari seorang pemimpin. Manusia cenderung mengikuti orang yang terpandang di dalam masyarakat, termasuk pemimpinnya. Sekarang pemimpin harus mempunyai jiwa yang wara' dan Zuhud dari kemungkinan mengambil harta yang tidak halal. Keteladanan ini mencegah anggota keluarga untuk memanfaatkan jabatannya demi kepentingan pribadinya. Khalifah Umar pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah. Hal ini dikarenakan Abdullah menggembalakan untanya tersebut dengan unta lain di padang rumput milik Baitul mall. Khalifah Umar menilai ini sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara.
Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat secara langsung. Aktivitas muhasabah atau koreksi pada penguasa adalah kewajiban seluruh rakyat. Sehingga, para pejabat akan memperhatikan setiap langkah yang diambilnya agar tidak melanggar hukum syariah. Namun, jika masih ada pejabat yang korupsi, Khalifah akan mengambil langkah yang kuratif dan tindak tegas bagi para pelaku korupsi, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal.
Dalam kitab Nizamul Al – Uqubat halaman 78-89 karya Abdurahman Al-Maliki dijelaskan bahwa hukuman bagi koruptor adalah ta'zir yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Mulai dari yang paling ringan yakni memberi nasihat sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan barat ringannya kejahatan. Hukuman di dalam Islam bukan saja sebagai penebus dosa atas apa yang dilakukan, namun juga memberikan effek jera kepada yang lain agar tidak melakukan kejahatan, termasuk di dalamnya korupsi. Begitulah sistem Islam solusi atasi korupsi sampai pada akar-akarnya. Alangkah indahnya jika mau menerapkan sistem ini yang terbukti mampu mengatasi seluruh permasalahan kehidupan dan memberikan keadilan dan kesejahteraan. Wallahua'lam bish showab