"Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. (Al- A'raf: 31)"
Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hai, Guys! Lagi ramai nih tren belanja baju bekas alias thrifting di kalangan generasi muda. Tapi bukan sembarang baju bekas lho, melainkan baju bekas impor. Branded lagi!
Sebenarnya, fenomena thrifting ini sudah lama sih, tapi kembali hit gara-gara beberapa selebritas dan influencers yang membagikan gaya berpakaian mereka yang tetap stylish meskipun menggunakan baju bekas. Ada juga yang mengunggah video thrift haul atau memamerkan baju hasil thrift shop mereka. Nah, melihat idolanya belanja baju bekas, akhirnya ramai-ramai deh para followers- nya mengikuti jejak mereka. Baju bekas impor ini harganya terjangkau lho, kondisinya juga masih bagus. So, enggak heran, sih, kalau akhirnya thrifting menjadi tren dan bagian dari gaya hidup generasi muda sekarang.
Fenomena thrifting pun diapresiasi positif oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno. Menurutnya, thrifting adalah bagian dari sustainable living sebagai upaya untuk melawan fast fashion dan mengurangi sampah fesyen. Kamu tahu enggak, ternyata sampah tekstil itu adalah jenis sampah terbanyak di muka bumi, lho! Tapi, ada syaratnya nih dari Pak Sandiaga kalau kita mau belanja baju second, harus produk lokal ya, bukan impor (Sindonews.com, 17/1/2023).
Thrifting Solusi Sustainable Living?
Guys, kalian pernah dengar tentang sustainable living? Sustainable living adalah gaya hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan. Tujuannya adalah untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dalam setiap aspek kesehariannya. Nah, salah satu kerusakan lingkungan yang dimaksud adalah sampah tekstil akibat fast fashion, yang menyumbang 90 juta ton tiap tahunnya. Sedangkan fast fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil yang memiliki model fesyen yang berganti-ganti dalam waktu singkat dan diproduksi secara massal untuk memanfaatkan tren.
Mungkin secara enggak sadar kamu juga termasuk korban fast fashion ini. Kalau ada tren baju yang baru, langsung gatal mau beli. Hehehe. Karena itulah, thrifting dianggap sebagai salah satu solusi sustainable living, supaya enggak terlalu banyak baju yang menumpuk. Mudahnya begini, Guys, kalau kita beli baju bekas, berarti enggak banyak baju baru yang diproduksi, dibeli kemudian dibuang karena pemiliknya sudah enggak mau pakai lagi. Nah, kalau dipakai oleh orang berikutnya, jadi enggak terbuang tuh.
Hmm, sekilas konsep ini masuk akal, sih. Tapi, Intan Anggita Pratiwie, seorang seniman daur ulang dan salah satu pendiri Setali yaitu komunitas yang bergerak dalam fesyen berkelanjutan justru enggak terlalu setuju dengan tren thrifting ini. Menurutnya, justru tren ini bisa memicu permintaan baju bekas semakin bertambah dan negara kita akhirnya jadi tempat sampah untuk baju bekas dari negara lain. Padahal, sampah fesyen negara kita juga sudah menggunung, lho! (CNNIndonesia.com, 9/10/2022).
Ternyata, menjadikan thrifting sebagai salah satu solusi sustainable living enggak semudah yang kita bayangkan, Guys. Dirangkum dari Triftingsdgssummit.id (21/7/2021), ada beberapa dampak buruk dari glorifikasi tren trhifting, antara lain:
- Menyebabkan gentrifikasi, yaitu perubahan sosial ketika kaum menengah ke atas mengonsumsi sumber daya untuk kaum menengah ke bawah. Awalnya target pasar thrifting adalah kaum masyarakat ke bawah. Karena menjadi tren, akhirnya para penjual mengambil momen ini untuk menjual produk dengan menaikkan harganya. Nah, kaum the have- lah yang akhirnya mampu untuk membeli baju-baju yang masih layak pakai ini, sementara yang kurang mampu hanya memiliki dua opsi, tetap membeli dengan harga mahal atau memilih membeli baju yang sudah enggak layak pakai.
- Memicu konsumsi berlebih.
Karena baju bekas dijual dengan harga relatif murah dan ditambah "dikomporin" oleh para selebritas, akhirnya muncul aksi borong. Kalau sudah kalap, lupa deh menimbang-nimbang, sebenarnya kita butuh enggak, sih? Akhirnya kita terjebak dalam perilaku konsumtif dan boros. Nah, bahaya 'kan? - Menumpuk limbah tekstil.
Guys, meskipun kita mau beli baju bekas, pasti kita akan pilih dulu dong mana yang kita suka dan cocok di tubuh. Baju bekas yang jumlahnya berton-ton itu pasti enggak akan terjual semua 'kan. Lalu, ke mana perginya baju-baju yang enggak laku dijual? Mereka hanya akan menjadi sampah yang terus menggunung. Padahal, sampah tekstil merupakan yang paling sulit diproses dan diuraikan tanah, lho. Alih-alih mau menerapkan sustainable living, eh malah gatot alias gagal total!
Solusi Jitu Sustainable Living
Ok, Guys, kamu sepakat 'kan kalau thrifting gagal untuk jadi solusi hidup berkelanjutan? Gimana enggak gagal, konsep dalam memandang masalahnya saja sudah salah. Ibarat kita sedang memperhatikan lautan, jangan dilihat permukaannya saja, lihat juga dong di dasar perairannya.
Allah Swt. sudah memberi peringatan kepada kita, bahwa kerusakan yang terjadi di bumi adalah akibat perbuatan kita sendiri. Allah Swt. berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Gaya hidup konsumtif ala kapitalisme terbukti menjadi salah satu sumber kerusakan di bumi. Ketika standar kebahagiaan adalah materi, mengakibatkan manusia berlomba-lomba memiliki barang, padahal belum tentu dia membutuhkannya. Allah Swt. melarang perilaku boros ini bahkan mencela pelakunya. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra ayat 26-27:
… "Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."
Ayat ini seharusnya jadi peringatan untuk kita, Guys, supaya mengelola harta yang kita miliki dengan bijak dan membelanjakannya sesuai dengan kebutuhan saja. Selain itu, Islam juga mengajarkan kita agar tidak berlebih-lebihan, sebagaimana firman-Nya:
"Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (Al- A'raf: 31).
Selain perilaku hidup secukupnya sesuai kebutuhan dalam membeli baju, sistem Islam juga akan memperhatikan kelestarian lingkungan. Negara akan mendorong industri tekstil untuk menggunakan bahan yang ramah lingkungan dalam produk fesyen mereka. Sehingga, ketika baju sudah enggak bisa dipakai lagi, masih bisa diurai oleh tanah. So, sustainable living hanya akan bisa terealisasi kalau kolaborasi sikap individu dan regulasi negara berjalan harmonis. Kita hanya akan bisa mewujudkannya pada kondisi tatanan kehidupan yang diliputi ketakwaan komunal yang paripurna, Guys.
Tuh, beda 'kan bagaimana konsep sustainable living ala Islam. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah ideologi yang menjadi ruh dalam memandang masalah dan mencari solusinya. Sekarang pilihan ada di tangan kamu, mau ambil solusi Islam atau yang lainnya? It's your choice!
Wallahua'lam bishawab.[]
Bahasan dan analisis yang sangat mencerahkan. Tentang beli baju bekas impor, banyak nih di sekitar saya. Bahkan saat saya tinggal di Jambi dulu. Wajib dibagikan.