Dalam Islam kita diajarkan untuk berkasih sayang antar sesama makhluk hidup. Bukan hanya dengan manusia saja, akan tetapi juga terhadap lingkungan dan hewan.
Oleh: Astuti Rahayu Putri, A.Psi
(Ibu Rumah Tangga dan Pemerhati Masalah Sosial)
NarasiPost.com - Berbicara mengenai kekayaan sumber daya alam di Indonesia, memang tidak ada habisnya. Misalnya saja, kekayaan sumber daya alam di sektor pariwisatanya. Rasanya tak dapat dihitung dengan jari objek wisata yang dimiliki negeri ini. Mulai dari pantai, laut, sungai, danau maupun gunung. Semuanya tersedia. Bahkan, Indonesia memiliki satu objek wisata yang hanya ada satu-satunya di dunia. Yaitu Pulau Komodo.
Pulau Komodo sendiri terletak di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat dan merupakan habitat asli dari hewan komodo. Hewan yang langka dan terancam punah ini, memiliki daya pikat yang luar biasa. Tak heran, jika pulau yang telah ditetapkan sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia (sejak 2011), berhasil menarik banyak wisatawan asing maupun lokal.
Melihat hal ini, pemerintah tentu tidak mau mendiamkan saja potensi besar yang dimiliki pulau komodo. Benar saja, proyek pembangunan area wisata bertemakan “Jurasic Park” di Pulau Rinca sedang dijalankan. Dimana saat ini dalam masa tahap pembongkaran bangunan eksisting dan pembuangan puing, pembersihan pile cap, dan pembuatan tiang pancang (29/10/www.liputan6.com).
Kritik dan protespun tak bisa dihindari. Mulai dari petisi sampai tagar #savekomodo ramai diperbincangkan di media sosial. Walaupun begitu, pemerintah nampaknya tetap bersikukuh dengan proyek ini. Seperti dikutip dari www.idntimes.com (27/11/2010) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan "Karena saya pikir pulau Komodo ini cuma satu-satunya di dunia, jadi kita harus jual," ucapnya di Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Pengembangan Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) secara virtual, Jumat (27/11/2020). Maksud dari menjual yang Luhut sampaikan adalah dengan menjadikan Pulau Komodo wisata kelas premium. Artinya, setiap wisatawan yang akan berkunjung akan dikenakan biaya yang tidak sedikit. Nantinya, dana yang didapat akan digunakan untuk pemeliharaan hewan komodo. Namun, apakah benar ini demi terjaganya eksistensi hewan komodo? Ataukah ada maksud kepentingan lainnya?
Jika kita lihat bagaimana sikap pemerintah selama ini dalam memperlakukan alam. Misalnya saja, bagaimana hutan berhektar-hektar dibakar demi membuka lahan baru. Namun tidak diiringi dengan payung hukum yang tegas. Wajar, jika banyak yang mengkhawatirkan proyek ini akan berujung pada bentuk eksploitasi terhadap alam. Dibandingkan upaya untuk mempertahankan eksistensi alam, khusunya hewan langka seperti komodo.
Ditambah lagi, baru-baru ini beredar di media sosial foto komodo yang seperti menghadang jalannya mobil truk yang sedang mengerjakan proyek ini. Seakan memberikan potret pada kita bahwa komodo juga tidak suka jika habitat mereka diusik. Lumrah saja, jika komodo merasa terganggu. Manusia saja tidak suka jika pekarangan rumah mereka diusik oleh orang asing. Begitupun dengan hewan yang notabene juga merupakan makhluk hidup. Mempunyai hak juga untuk bisa nyaman tinggal di habitat aslinya. Jika habitat aslinya sudah tak memberikan kenyamanan bagi kelangsungan hidup komodo. Maka, jangan harap keberlangsungan hidup komodo bisa bertahan lama.
Rasanya jadi semakin pesimis jika berharap pada pemerintah saat ini. Bagaimana tidak, negeri ini benar-benar sudah masuk dalam jerat liberalisasi akut. Hanya demi investasi, wilayah konservasipun berani diusik. Bukan suatu keanehan lagi. Mengingat bisnis adalah orientasi pemerintah saat ini. Sehingga eksploitasi terhadap alam maupun hewan tak jadi soal. Asalkan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Begitulah kejamnya sihir sistem kapitalisme. Mengubah manusia menjadi pemangsa. Mengedepankan kepentingan pihak modal dibandingkan kesejahteraan rakyat kecil. Mengabaikan hati nurani demi mengejar materi. Maka tak heran jika nasib kesejahteraan rakyatpun kian terabaikan. Apa lagi berbicara nasib kesejahteraan alam maupun hewan, dengan mudah dapat dikorbankan.
Padahal dalam Islam kita diajarkan untuk berkasih sayang antar sesama makhluk hidup. Bukan hanya dengan manusia saja, akan tetapi juga terhadap lingkungan dan hewan. Bahkan dalam urusan penyembelihan saja, kita diwajibkan untuk bersikap baik dengan hewan kurban. Seperti dalam sabda Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan, dan apabila kalian menyembelih hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan, dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya, dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya." (HR Muslim).
Apalagi secara terang-terangan mengeksplotasi alam maupun hewan untuk kepentingan bisnis semata. Tentu Islam tegas melarangnya. Ketika aturan Islam diterapkan dalam sebuah negara. Objek pariwisata bukan menjadi sumber utama pendapatan negara. Sumber pendapatan di Negara Islam hanya berpangku pada empat bidang, yaitu pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Sedangkan pendapatan lainnya berasal dari harta fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, zakat, dan dharibah.
Selain itu, dalam Islam fungsi objek pariwisata adalah sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan upaya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'aala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'aala dalam surat Al-Hajj ayat 46:
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Jelas, bahwa Islam dapat mengatur kehidupan ini dengan proporsional. Karena bersumber langsung dari Sang Khalik (Pencipta) yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'aala. Dengan begitu, eksistensi tiap makhluk hidup dapat terjaga dan tercapainya keseimbangan antara manusia, alam dan hewan. Jauh dari bentuk eksploitasi apapun.
Wallahu a’lam bish shawab.