"Toleransi itu bukan berarti menanggalkan akidah. Kita cukup membiarkan umat lain beribadah sesuai keyakinannya, menghargai mereka, tidak mencaci, apalagi mengganggunya."
Oleh. Yana Sofia
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tak terasa, kini kita tiba di penghujung tahun 2022, Guys! Liburan Natal dan Tahun Baru sudah di depan mata. Seperti biasa negara menyeru umat beragama meningkatkan sikap toleransi. Dan inilah yang melatarbelakangi diadakannya kolaborasi musik Natal antara pemuda muslim dan umat kristiani di Ambon, Maluku. Dengan harapan bisa menciptakan toleransi di tengah umat beragama. (KompasTv, 18/12/2022)
Eh, tapi menurut Islam hari raya itu 'kan, cuma ada dua, yakni Iduladha dan Idulfitri. Kaum muslim haram hukumnya merayakan hari besar agama lain. Terus gimana dong Islam menyikapi sikap toleransi seperti ini? Apa boleh mencampurkan antara hak dan batil? Mari kita cari jawabannya!
Doktrin Pluralisme
Sebelum kita bahas bagaimana toleransi dalam Islam, kita kenalan dulu Guys, dengan istilah pluralisme. Pluralisme ini adalah paham yang dibawa oleh kaum liberal di mana dalam pandangan mereka agama itu sama. Karenanya, penganut paham ini beranggapan bahwa kebenaran agama itu relatif.
Dengan kata lain nih, kaum liberal hendak menanamkan dalam benak umat beragama (khususnya Islam), agar tidak mengeklaim agamanya paling benar. "Karena semua agama sama, maka semuanya benar." Tuhan yang dituju itu sama, hanya cara ibadahnya saja yang berbeda. Pemahaman ini loh, yang ingin 'ditransfer' ke tengah umat.
Jadi, jangan bingung ya, jika mereka kadang-kadang ke masjid untuk merayakan Iduladha, kadang pula ke gereja untuk merayakan hari kelahiran Yesus. Lalu di hari lainnya mereka ke Vihara untuk merayakan Nyepi. Ide nyeleneh inilah yang hendak didoktrin ke kita sebagai umat mayoritas di negeri ini. Kaum liberalis sedang 'memaksa' kita untuk keluar dari batasan syarak dan mengikuti gaya toleransi mereka yang bablas.
Walhasil, akidah penganut agama tauhid (Islam) dirusak. Pemahaman syariat dicampur-aduk dengan konsep pemikiran kufur. Sehingga, pandangan hidup umat pun menjadi kabur, karena hak dan batil telah tercampur. Ini yang ingin dicapai kaum liberalis, lewat doktrin pluralismenya.
Jangan Asbun!
Sebagaimana yang kita pahami, Guys! Hari raya dalam Islam itu hanya dua, yakni Iduladha dan Idulfitri. Hal ini sebagaimana yang sampaikan Rasulullah saw. riwayat Abu Daud, "Sesungguhnya Allah Swt. telah menggantikannya dalam Islam dengan dua hari yang lebih baik dan lebih mulia, yaitu hari raya kurban (Iduladha) dan hari raya fitri (Idulfitri)."
So, hanya Iduladha dan Idulfitrilah yang wajib diistimewakan dan dirayakan dengan suka cita. Sedangkan, Natal dan Tahun Baru bukanlah budaya umat Islam, maka syarak melarang kita untuk ikut-ikutan merayakan dan bersuka cita di dalamnya.
Dalilnya adalah larangan Islam, tasyabuh atau menyerupai suatu kaum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Tirmidzi, "Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai (kaum) selain kami (Islam)."
Atau dalil lain dari riwayat Abu Daud, "Orang yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum tersebut."
Ya, memang! Di antara kita masih banyak yang berceloteh, "Masa sih enggak boleh sekadar memperingati, kan enggak sampai masuk dan memeluk agama mereka?" Nah, di sinilah kita wajib meluruskan pemahaman, Guys! Istilahnya, "Jangan asal bunyi, alias asbun!" Jangan sampai kita mengambil kesimpulan salah, dan tanpa sadar malah tercebur dalam kemaksiatan.
Perlu dipahami, bahwa tidak semua amalan harus diukur dengan parameter niat. Jika kita tidak berniat mengikuti kaum lain selain Islam, "Hanya sekadar 'toleransi' saja." Maka dilihat dulu, apakah perbuatan itu mengandung ma'alat (akibat) yang haram? Jangan sampai jatuhnya seperti;
"Berpacaran, namun tidak berniat zina." Guys, berpacaran aja haram, Apalagi zina!
Sama juga,
"Meniru-niru suatu kaum saja haram, apalagi masuk ke agama mereka," clear, ya!
Agama Terindah
Islam itu agama yang indah, Guys! Memerintahkan rakyatnya untuk bersikap toleransi dengan menghargai keyakinan dan aktivitas ibadah bagi nonmuslim. Di dalam institusi Islam yang menerapkan syariat secara kaffah, terdapat aturan yang menjamin pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Bahkan, pemerintah Islam menyiapkan qadhi dari kalangan mereka sendiri, untuk menyelesaikan persengketaan di antara mereka di pengadilan negara. Misalnya, menyolusi urusan pernikahan dan perceraian (Ad-Daulah Al-Islamiyah, hal. 144)
Sejarah Islam telah membuktikan bagaimana harmonisnya hubungan nonmuslim dan umat Islam. Kisah Umar bin Khattab bisa kita ambil teladannya. Pada suatu hari, datanglah seorang Yahudi yang mengadu bahwa ia telah digusur oleh Gubernur Mesir, yakni Amr bin Ash yang ingin membangun masjid di tanah si Yahudi.
Sang Yahudi ini kesal dengan sikap Gubernur, Guys! Mengadukan nasibnya ke khalifah tentang diskriminasi yang telah menimpanya. Lalu apa respon Khalifah Umar? Apakah lebih mementingkan bangunan masjid yang lebih utama bagi ibadah umat Islam? Ternyata tidak, Guys! Khalifah justru menanggapi aduan Yahudi dengan kemarahan besar terhadap gubernurnya.
Saat itu, Khalifah Umar mengutus Yahudi tadi dengan mengirimkan sepotong tulang yang telah ditorehkan dua garis. Yakni, satu garis horizontal dan satu lagi vertikal. Saat Yahudi menyampaikan kepada gubernur, dan menyerahkan pesan yang ada di tulang tersebut, seketika menggigillah tubuh Amr bin Ash.
Tahukah kamu, Guys! Apa makna dua garis di atas tulang tersebut? Yahudi yang terheran-heran, karena wajah gubernur terlihat pucat dan ketakutan pun bertanya, apa maksud dari pesan di tulang itu? Amr bin Ash pun menjelaskan dengan sebuah penjelasan yang begitu masyhur dalam sejarah peradaban Islam, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab, agar aku adil seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus (adil), maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.” ucap gubernur.
Masyaallah, betapa indahnya toleransi yang Islam contohkan. Jika kita buka berbagai literatur sejarah, akan kita temui banyak sekali kisah lainnya yang menunjukkan sikap toleransi Islam, penuh dengan kebijaksanaan dan harmonis dalam menjalin hubungan dengan pemeluk agama lain. Sejak agama ini diturunkan, sampai detik ini tidak ada konsep toleransi di dunia yang bisa menandingi keindahan toleransi yang diajarkan dalam Islam.
Sayangnya, Guys! Saat kepemimpinan Islam sudah tak ada, umat ini kerap mengalami diskriminasi. Menjadi objek intoleransi dari kafir penjajah. Misalnya, rasisme terhadap jilbab di negara Barat, aturan membangun masjid yang dipersulit di negara Korea Selatan, atau sikap rasis negara Prancis terhadap pemeluk Islam.
Nah, itu di negeri minoritas muslim, Guys! Lalu bagaimana dengan mayoritas muslim seperti Indonesia? Sama saja! Masih segar di ingatan kita bagaimana jilbab, celana cingkrang, dan cadar dilabeli pakaian teroris dan dilarang bagi ASN.
Ah, jahat sekali ya Guys! Kalau kita pikir-pikir. Selama ini ada banyak sekali sikap intoleransi yang ditujukan bagi umat Islam. Sebaliknya, umat malah dipaksa mengadopsi pluralisme dengan dalih toleransi. Untunglah, generasi muslim tidak bodoh-bodoh sangat. Sehingga, mampu membedakan mana hak dan batil, dan tak mudah dikibuli dengan istilah pluralisme yang membawa 'pesan-pesan' Barat yang sesat.
Khatimah
Jadi, Guys, jelas ya. Toleransi itu bukan berarti menanggalkan akidah. Kita cukup membiarkan umat lain beribadah sesuai keyakinannya, menghargai mereka, tidak mencaci, apalagi mengganggunya. Sikap toleransi tidak harus diwarnai dengan paham pluralisme yang sesat. Pemahaman ini adalah upaya Barat untuk menjauhkan Islam dari umat. Sehingga, generasi Islam melupakan karakternya sebagai bangsa terhormat dan bermartabat.
Tentu saja, Guys! Propaganda kafir penjajah lewat paham pluralisme ini harus diadang dengan aksi nyata. Atas bantuan seluruh elemen masyarakat yang ada, baik itu Individu, masyarakat, bahkan negara wajib bersinergi dalam satu visi mengembalikan kehidupan Islam yang dulu pernah berjaya. Karena, hanya di bawah sistem kepemimpinan Islamlah umat bisa mengembalikan muruah serta martabatnya, lalu hidup rukun dengan pemeluk agama lainnya. Wallahu 'alam![]