Tak heran, jika aktivitas memperkaya diri dan mengembalikan modal atas mahar politik menjadi fokusnya. Sedangkan, amanah mengurusi urusan rakyat hanyalah sebatas lisan.
Oleh : Dewi Fitratul Hasanah (Pemerhati Sosial dan Pendidik Generasi)
NarasiPost.Com — Lagi, kasus tindak pidana korupsi berkali-kali menjerat para petinggi negeri. Menyusul dua Wali Kota Cimahi sebelumnya, kali ini giliran Ajay Muhammad Priatna pun dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
AJM ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dia terbukti menerima suap Rp1,66 Milyar. Uang tersebut diterimanya dari komisaris Rumah Sakit Bunda, Hutama Yonathan. (Liputan6.com, 28/11/2020).
Korupsi adalah menerima dan mengambil sesuatu yang bukan haknya dan berakibat merugikan pihak lain. Rakyat adalah pihak yang paling merasakan kerugian dan nyaris kehilangan kepercayaan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah mengatakan selama periode semester satu tahun 2020 saja terdapat 169 kasus korupsi. Hal itu ia katakan berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2020. (Kompas.com, 28/11/2020)
Korupsi seakan tiada hentinya terjadi. Bahkan, dianggap sebagai hal yang lumrah. Pelakunya pun tiada lagi malu. Sesungguhnya apa yang menyebabkan korupsi ini terus terjadi?
Korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara yang menjalankan sistem pemerintahan demokrasi kapitalisme.
Terdapat empat kebebasan yang sangat destruktif dalam demokrasi kapitalisme, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra'yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah).
Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur melahirkan berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut”. (Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr).
Dalam demokrasi kapitalisme, pengusaha dan petinggi negeri acapkali bekerja sama. Pengusaha membutuhkan keleluasaan untuk kepentingan bisnis, sementara penguasa membutuhkan dana untuk mengembalikan biaya pemenangan saat pemilihan suara.
Tak heran, jika aktivitas memperkaya diri dan mengembalikan modal atas mahar politik menjadi fokusnya. Sedangkan, amanah mengurusi urusan rakyat hanyalah sebatas lisan. Bahkan tak jarang rakyatlah yang menjadi korban. Kemiskinan merajalela, kelaparan dimana-mana.
Merupakan kerangka berpikir yang sempit jika kita mengira bahwa tindakan korupsi adalah ulah dari ketamakan oknum/seseorang semata. Sebab, ketamakan individu bisa lahir dari sebuah sistem yang menyuburkannya.
Allah ta’ala berfirman;
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (TQS. An Nisa 4:29)
Namun sayang, penerapan kebebasan dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini telah mengikis perintah Allah SWT untuk menjauhi perbuatan korupsi. Korupsi/rasuah terus dilakukan oleh kebanyakan para petinggi negeri. Tanpa melihat dia muslim atau tidak. Karena, tiadalah sekularisme menakuti Tuhan dalam mengurusi negara. Mencampakkan hukum Allah saja mereka sanggup, apatah hanya sekedar korupsi?
Ketiadaan penerapan sistem Islam memang membuat manusia kehilangan urat malu. Berbuat maksiat tiada lagi dianggap dosa. Sebab, banyak orang yang melakukannya dengan leluasa. Seolah dosa bisa ditebus dengan mendekam di penjara. Lalu di penjara bisa hidup bebas bak istana. Miris memang. Sungguh ketiadaan penerapan sistem Islam pulalah akar masalah atas kasus rasuah yang tak sudah-sudah. Wallahu a'lam bishshawaab.