Hukum dalam sekularisme memandang prostitusi bisa jadi bukan perzinaan. Hal yang dilakukan suka sama suka tidak dianggap tindak kriminal. Wajar, seringnya hanya mucikari yang disanksi. Sementara pelakunya bisa praktik lagi.
Oleh: Saptaningtyas
NarasiPost.Com — Pesohor berinisial ST dan MA diamankan Polsek Tanjung Priok, Jakarta Utara atas dugaan prostitusi online pada Kamis (26/11/2020) lalu. Hal ini menambah panjang deret kasus prostitusi online melibatkan artis. Ada kasus artis AA, VS, HH, ataupun VA yang pernah menghebohkan publik lantaran bayaran yang fantastis.
Kasus baru ini kian mengindikasikan bahwa prostitusi seakan tak ada habisnya. Tak peduli masa pandemi, prostitusi terus terjadi seolah tak bisa terhenti. Bagai lingkaran setan, prostitusi menjangkit semua kalangan. Mirisnya lagi, remaja, pelajar dan mahasiswa pun tak luput dari bisnis kelam ini.
Pada Juli lalu misalnya, seorang siswi SMP di Batam (15), nekat jual diri melalui penyalur prostitusi online. Ia mematok tarif 500 ribu sekali kencan untuk membeli kuota internet demi sekolah daring. (kompas.com, 29/7/2020).
Di dunia kampus pun tak kalah mengerikan. Publik bahkan familiar ada ayam kampus. Sebuah istilah untuk menyebutkan mahasiswa yang menyambi jual diri. Bahkan, banyak yang terjerumus ke dunia prostitusi lantaran biaya kuliah mahal dan tuntutan gaya hidup mewah. Jika dulu saja begitu, apalagi di masa pandemi, saat situasi kian sulit. Bukan tidak mungkin keberadaan mahasiswa yang terlibat prostitusi meninggi.
Masalah Sistemis
Soal prostitusi kian pelik lantaran menjadi bisnis berlaba menggiurkan. Dalihnya, ada permintaan, ada penawaran. Selain itu, dunia hitam ini dipandang jadi cara mudah memperoleh rupiah. Masalah ekonomi memang paling lazim jadi alasan pembenaran atas perbuatan keji ini. Sayang, alih-alih menyalahkan, masyarakat malah menganggapnya profesi yang dimaklumi.
Parahnya, bisnis ini seakan "difasilitasi" oleh pengusaha, bahkan negara. Ini bisa dilihat dari adanya lokalisasi, tempat hiburan ataupun penginapan. Belum lagi, kemudahan akses promosi dan transaksi via sosial media. Bisnis pun kian luas dengan jalan online. Karena kian marak, masyarakat pun membiarkan, seakan apatis.
Sementara, keseriusan negara memberantasnya cenderung minimalis. Pelaku bisnis ini acapkali bermain belakang dengan oknum yang mestinya jadi penegak hukum. Rangkaian razia tak memberi efek jera. Ditambah lagi, hukum seringnya menindak mucikari saja. Sementara pelaku zina hanya sebagai korban. Karenanya, besar peluang ia kembali.
Prostitusi yang semakin merajalela ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak berdiri sendiri. Masalah sistemis ini tak bisa tuntas kecuali diurai dari simpul utamanya.
Jika dilihat seksama, simpul besarnya ialah penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini dibangun atas asas sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan.
Dalam sekularisme, agama ditempatkan di ranah privat, hanya pada ibadah ritual individu. Agama dijauhkan dari pengaturan politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan aspek kehidupan lainnya. Agama dipisahkan dari negara.
Konsekuensinya, kebebasan dijunjung tinggi. Manusia bebas beragama, berbuat, berpendapat, dan bebas dalam kepemilikan. Tak ada yang mengikat perbuatan manusia kecuali kepentingan dan manfaat.
Asas sekularisme dalam urusan ekonomi telah melahirkan prinsip yang salah. Segala sesuatu dilihat dari sudut pandang laba materi. Bahagia dan sukses diraih bila banyak uang. Alhasil, semua berlomba demi kekayaan tanpa peduli cara, halal atau haram.
Dalam hal ini, pemodal besar (kapitalis) punya kekuatan lebih. Hasilnya, kekuasaan dapat dibeli, termasuk SDA negara pun bisa mereka kuasai. Akibatnya, kekayaan negara dinikmati segelintir kapitalis. Sementara, sebagian besar rakyat berebut remahan yang tak seberapa. Kesenjangan ekonomi pun tinggi. Rakyat kian sulit. Tak sedikit yang nekat menghalalkan segala cara demi desakan ekonomi. Sekalipun berbisnis pornografi ataupun prostitusi.
Menghalalkan segala cara juga tak lepas dari kebebasan berbuat yang diagungkan. Kebebasan ini menghantarkan pada tatanan masyarakat liberal, individualis, juga permisif. Akhirnya, amat toleran terhadap pornografi, pornoaksi, dan prostitusi.
Negara sekuler melahirkan budaya liberal dan hedonis. Ingin jalan pintas. Demi tuntutan gaya hidup serba "wah" acapkali mendorong mereka yang berkecukupan terjun pada praktik prostitusi.
Selain itu, kebebasan ini telah melahirkan pandangan yang salah terhadap seksualitas. Pengabaian agama menjerumuskan pada pemenuhan yang bebas di luar ikatan pernikahan, mengesampingkan nilai moral dan kepantasan.
Ini pun tidak lepas kaitannya dengan sistem pendidikan. Pendidikan sekuler hanya berorientasi materi, tidak mampu membangun kepribadian luhur. Parahnya lagi, urusan pendidikan acapkali dikapitalisasi. Hasilnya? Pendidikan berbiaya tinggi. Akibatnya, fenomena ayam kampus dan pelajar terlibat prostitusi demi sekolah terjadi. Inilah bukti kegagalan sistem pendidikan kapitalis-sekuler.
Ditambah penerapan hukum yang lemah, dipenuhi hawa nafsu manusia. Hukum yang abaikan nilai agama (Islam) tidak memberi efek jera, sehingga tidak bisa menjadi solusi. Hukum dalam sekularisme memandang prostitusi bisa jadi bukan perzinaan. Hal yang dilakukan suka sama suka tidak dianggap tindak kriminal. Wajar, seringnya hanya mucikari yang disanksi. Sementara pelakunya bisa praktik lagi.
Sungguh sebuah kenyataan yang mengerikan. Padahal, Allah mengancam azab bila zina merajalela. Rasulullah saw. bersabda, “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu wilayah, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri”. (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Islam Solusi Total
Islam ideologi paripurna, berasal dari Allah. Syariatnya komprehensif dan rinci, solusi atas semua problematika manusia.
Islam memandang manusia secara menyeluruh dengan sifatnya sebagai manusia. Fitrahnya manusia punya naluri seksual yang tak bisa dihilangkan. Syariat Islam tidak mengekang ataupun mengumbar naluri itu. Tapi, syariat hadir, mengatur pemenuhannya secara manusiawi.
Dalam Islam, pemenuhan seksual hanya halal dalam pernikahan. Di luar itu termasuk zina. Dosa besar atas pelaku, penyalur, dan fasilitatornya.
Karena itu zina, baik suka sama suka ataupun lainnya, yakni penyaluran seksual di luar yang dihalalkan termasuk tindak kriminal. Bagi pezina lajang disanksi cambuk (QS 24:2), atau rajam bagi yang sudah menikah. Bagi yang berperilaku seks menyimpang, atau para penyalur dan fasilitator akan dikenakan ta'zir. Langkah kuratif pemerintahan Islam (khilafah) ini akan memberi efek jera, selain sebagai penebus dosa.
Sebagai langkah preventif atas tindak kriminal zina (termasuk prostitusi), syariat mewajibkan negara menerapkan sistem pergaulan Islam. Dalam sistem ini, interaksi pria dan wanita dibatasi hanya dalam hal yang diperkenankan syara'. Syariat melarang ikhtilat (campur baur), khalwat (berdua-duaan) dan hal-hal yang mendekati zina (QS 17:31).
Syariat Islam menutup celah rangsangan seksual yang liar. Khilafah takkan mengizinkan usaha hiburan esek-esek, memberantas pornografi, melarang wanita tabarruj apalagi mengumbar aurat, serta tidak mempersulit pernikahan.
Dalam hal ekonomi, sistem ekonomi Islam melarang kepemilikan umum dikuasai swasta apalagi asing. Sehingga kekayaan alam bisa dirasakan oleh rakyat, tidak timpang ekonomi. Rakyat sejahtera, maka tidak ada prostitusi atas alasan ekonomi.
Dalam sistem pendidikan Islam berorientasi membentuk generasi berkepribadian Islam, memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Dengan begitu, generasi tidak bebas tanpa batas, tidak terjerat pada budaya hedonis ala Barat.
Keagungan peradaban Islam ini dapat dirasakan hanya bila syariat Islam diterapkan secara sistemis dalam naungan khilafah, sistem pemerintahan yang diwariskan Rasulullah saw. Wallahu a’lam bishawab []
Pictures by google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]