Minol boleh dikonsumsi oleh ahludz dzimmah (warga negara yang kafir yang tunduk pada Daulah) hanya di komunitas mereka, khusus di tempat mereka saja. Jika ketahuan diedarkan secara luas, maka akan disanksi oleh khilafah dengan sanksi yang tegas.
Oleh : Afiyah Rasyad
NarasiPost.Com — Polemik Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol ( RUU Minol) terus bergulir, sejak dibahas kembali oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Pembahasan itu menuai pro kontra di tengah masyarakat. Tiga partai politik yang mengusulkan RUU tersebut untuk dibahas dan diputuskan, di antaranya anggota Fraksi PPP, PKS, dan Gerindra.
Lalu, apa tujuan disodorkannya RUU ini? Tidak lain adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari minuman beralkohol. Anggota Baleg DPR RI Fraksi PPP, Illiza Sa’aduddin Djamal juga membenarkan bahwa RUU ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol. Menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari peminum alkohol. (news.detik.com,12/11/2020).
Pembahasan RUU ini tak lantas menciptakan ketertiban dan ketenteraman di tengah masyarakat dari peminum minol. Mengingat industri minol tetap eksis berdiri dan izin produksinya tidak dicabut.
Sekalipun wacana denda akan diberlakukan, sejatinya kemunculan RUU ini akan menimbulkan pertarungan sengit antara pembuat kebijakan dan pengusaha. Tentu saja para pengusaha minol tak akan rela memuluskan RUU tersebut.
Selama ini pro kontra miras atau yang sekarang disebut minol berujung pada tetap diizinkan secara resmi peredarannya. Maka bisa ditebak juga, RUU Minol kemungkinannya tidak akan menutup pabrik-pabrik yang memproduksi minuman keras. Jadi, minol masih bisa berkeliaran dan bertengger di rak-rak supermarket bahkan minimarket pedesaan. Jika demikian, tentu saja minol masih dapat berjumpa dan berkawan karib dengan muslim yang menjadi penduduk mayoritas negeri ini.
Inilah ciri negara yang menerapkan ideologi kapitalisme. Standar produksi dan penjualan barang bukan halal haram, namun murni keuntungan finansial semata. Pemasukan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) ini sangat besar, yakni Rp2,64 triliun pada tahun 2020. Sementara untuk penerimaan Negara dari peredaran MMEA pada tahun 2014 sebesar 5,298 triliun, tahun 2015 sebesar Rp 4,556 triliun, tahun 2016 sebesar Rp5,304 triliun. Dan tahun lalu sebesar Rp3,36 triliun, setiap rupiah yang dihasilkan dari peredaran MMEA menjadi pemasukan Negara yang menguntungkan. (money.kompas.com, 13/11/2020)
Bisa ditebak dengan pemasukan itu, RUU Minol ini tak akan sekilat RUU Ciptaker pengesahannya. Itu pun jika memang disahkan. Ideologi kapitalisme tak akan membiarkan negara mengesahkan RUU yang akan mempersempit akses perolehan keuntungan.
Minol alias khamr dalam Islam haram zatnya. Tentu haram pula dimanfaatkan dan dikonsumsi kaum muslim. Sayang, dalam sistem kapitalisme meminum khamr bukanlah sebuah keharaman. Kaum muslim bahkan dibebaskan untuk mengonsumsi dengan dalih hak asasi manusia.
Sangat bertolak belakang nengan khilafah, khilafah yang menerapkan ideologi Islam akan tegas mengharamkan minol itu. Produksinya tak akan diberi izin sama sekali, apalagi sampai beredar secara luas di kehidupan umum.
Minol boleh dikonsumsi oleh ahludz dzimmah (warga negara yang kafir yang tunduk pada Daulah) hanya di komunitas mereka, khusus di tempat mereka saja. Jika ketahuan diedarkan secara luas, maka akan disanksi oleh khilafah dengan sanksi yang tegas.
Sayyidina Umar saja pernah menolak pembayaran jizyah berupa khamr. Beliau meminta walinya untuk mengembalikan. Khamr itu diganti dengan benda lain yang halal. Jadi jelas khamr itu hanya untuk komunitas mereka saja. (Nidzom Iqtishodi fil Islam).
Keharaman minol jelas. Ia sama saja dengan khamr. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (TQS Al Maidah : 90)
Bahkan sudah masyhur bahwa khamr adalah induk segala kejahatan dan kriminal. Dalam sebuah kisah seorang saleh tidak tergoda berzina dan membunuh. Namun, begitu ia meneguk khamr, akalnya hilang. Sehingga dia berani membunuh dan berzina.
Hadits Nabi SAW:
اَلْخَمْرُ أُمُّ الْفَوَاحِشِ، وَأَكْبَرُ الْكَبَائِرِ، مَنْ شَرِبَهَا وَقَعَ عَلَى أُمِّهِ، وَخَالَتِهِ، وَعَمَّتِهِ
Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya. (HR ath-Thabrani)
Sungguh, khilafah akan menjaga akal manusia dengan menjauhkan khamr dari kehidupan umat. Akses peredaran ditutup. Sanksi yang tegas juga akan ditegakkan. Tak ada asas manfaat ataupun aktivitas komersil demi keuntungan finansial. Wallahu a'lam bish showab []
Picrures by google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]