"Betapa banyak kita menyaksikan orang yang dibinasakan oleh ucapannya sendiri dan kita belum pernah menyaksikan sama sekali bahwa ada orang yang dibinasakan oleh diamnya. Maka janganlah kamu berbicara kecuali dengan sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Penciptamu."
Oleh. Andrea Ausie
(Pemimpin Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hello, Buddy, kamu tahu gak kalau Allah Swt. memberikan manusia satu mulut dan dua telinga agar manusia lebih banyak mendengar daripada bicara? Namun kenyataannya justru manusia lebih banyak berbicara daripada mendengar hal-hal yang baik. Apalagi jika membicarakan kesalahan orang lain dan menghakiminya menurut kacamatanya sendiri seolah dirinya maha benar.
Manusia itu sering kali lupa lho untuk bisa menyaring apakah berita yang keterima itu benar apa tidak. Apalagi jika di hati sudah tertanam kebencian kepada seseorang, maka semua berita itu menurutnya benar. Biasanya nich berita satu mili menjadi satu meter karena dibumbui dengan berita-berita lainnya biar makin berwarna hehehe.
Padahal Allah Swt. pernah mengingatkan agar kita berhati-hati dalam menerima sebuah berita, seperti dalam firman-Nya yang tercantum dalam QS. Al-Hujurat ayat 6: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
Tahu nggak, Buddy, lisan itu ibarat pisau tajam yang mudah menyakiti orang lain kalau tidak tertata dengan baik. Sebagian besar dosa yang bisa menjerumuskan ke neraka karena lisan yang tidak terjaga seperti memfitnah, memaki, menghakimi, menggunjing, dan sebagainya. Aku teringat dengan pernyataan Al-Imam Ibnu Hazm ra. yang berbunyi: "Betapa banyak kita menyaksikan orang yang dibinasakan oleh ucapannya sendiri dan kita belum pernah menyaksikan sama sekali bahwa ada orang yang dibinasakan oleh diamnya. Maka janganlah kamu berbicara kecuali dengan sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Penciptamu."
Buddy, di zaman modern ini ketajaman lisan telah berganti dengan tajamnya jari jemari dalam bentuk tulisan. Media sosial sering kali menjadi riuh dengan berbagai status dan komentar. Aku pernah mengalami kejadian yang sangat buruk tepatnya 3 tahun yang lalu saat fitnahan, tuduhan, kebencian, sumpah serapah bahkan ancaman melalui medsos. Hal ini dikarenakan kedekatanku dengan seorang publik figur yang sudah kuanggap sebagai anakku sendiri.
Fans dia yang berjumlah jutaan orang tiada henti menghujat dan menyerangku dengan berbagai cara. Mereka membenciku dan tidak percaya bahwa ada orang dari Sydney Australia bisa sedekat itu dengan idola mereka, sementara mereka mati-matian ingin dekat dengan idolanya tidak bisa. Mereka tidak percaya bahwa aku sangat mencintai dia sehingga kebencian benar-benar berkarat di hatinya. Padahal aku cuma ingin membantu dia bangkit dari keterpurukan dengan memberi motivasi hidup dalam berbagai hal. Aku juga ingin dia meneruskan sekolahnya lebih tinggi lagi dan memperdalam syariat Islam, maka kucoba bantu dengan mengirimkan buku-buku penunjang pendidikan serta laptop. Cuma itu lho. Tetapi Oh My God, mereka justru menganggap bahwa aku akan mencelakakan idolanya. Kan lucu lho, bagaimana aku bisa mencelakakan idolanya kalau aku sendiri tidak bisa menyentuh kulitnya. Aku hanya bisa komunikasi via Iphone saja lho.
Tapi itulah manusia. Ketika kebencian sudah berkarat maka tak bisa melihat setetes kebaikan orang lain. Jujur lho, aku tak bisa mengerti dengan komen-komen miring serta hujatan penuh kebencian saat aku memosting status atau caption di medsosku walaupun tentang syiar Islam ataupun tentang sastra. Tahu gak, Buddy, sebaik apa pun postinganku tetap saja dijadikan hujatan dan fitnahan yang tiada henti bagi mereka yang benar-benar benci. Lucu saja membaca komen-komen mereka yang penuh kebencian seolah mereka mengerti dan tahu apa yang dimaksud dalam caption yang kubuat tersebut.
Beruntung aku tidak pernah menggubrisnya apalagi sampai mengganggunya, lho. Aku hanya berpikir mungkin mereka belum paham tentang dunia sastra dan makna tentang Islam yang sesungguhnya. Padahal seharusnya kita bisa belajar memahami sebuah tulisan atau postingan seseorang. Tidak perlu mudah tersinggung lho apalagi baper dengan tulisan seseorang yang diposting seolah tulisan itu di tujukan buat kita sendiri.
Tahu nggak, Buddy, kadang kala seseorang menulis sesuatu katakanlah seperti nasihat, motivasi, kutipan ayat suci Al-Qur'an, dakwah dan sebagainya bukan berarti dia alim dan super baik. Tetapi bisa saja nasihat-nasihat itu ditujukan untuk dirinya sendiri lho atau bisa saling mengingatkan dalam kebaikan.
Adakalanya juga lho, seseorang menulis motivasi atau kuota bukan berarti dia sangat hebat tetapi bisa saja untuk mendorong dirinya lebih semangat lagi. Jika dia menulis kalimat-kalimat romantis atau puisi bukan berarti dia sedang lebay atau lagi dimabuk cinta, tapi mungkin saja dia sedang mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya dengan sebuah karya.
Coba tengok karya-karya Kahlil Ghibran, Ernest Hemingway, Sir Walter Scott, Chairil Anwar, atau sastrawan-sastrawan hebat lainnya yang sangat mengagumkan dalam narasi tulisannya. Terlepas dari alur cerita tulisannya tapi makna-makna yang terkandung dalam tiap bait tulisannya sangat indah.
Buddy, yang kutahu orang-orang yang mempunyai jiwa seni baik dalam dunia sastra, musik, dan sebagainya kebanyakan mempunyai hati dan perasaan yang sangat lembut. Jadi teringat ucapan John F, Kennedy "Jika politik itu kotor maka puisi akan membersihkannya. Jika politik itu kotor maka sastra akan meluruskannya."
So, di sini pentingnya belajar memahami sebuah tulisan dalam caption seseorang, jangan mudah baper sampai kebencian memuncak.
Paham nggak sich, Buddy?
Lalu bagaimana dong sikap kita saat menghadapi orang-orang yang membenci kita? Dilawan dengan emosi atau dibiarkan?
Hmm, biasanya aku mendiamkannya karena percuma menerangkannya. Mungkin sekali dua kali kita menerangkannya dengan lembut, tetapi jika mereka tetap keras kepada kita ya sudah biarkan saja. Yang penting kita fokus berada di jalan-Nya. Tahu kan Abu Tholib ra. pernah berpesan: "Tidak perlu menjelaskan siapa dirimu kepada orang lain karena yang membencimu tak memercayainya dan yang menyukai tak perlu itu."
Jadi, Buddy, adakalanya diam itu diperlukan lho. Mungkin ada benarnya kalau diam itu emas, ya. Diam itu jauh lebih elegan dibandingkan menghakimi dan mengumbar kesalahan orang lain seolah diri tidak bercermin. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda: "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam." (HK.Bukhari)
Harus diingat lho, Buddy, terkadang diam itu ibarat teriakan kebenaran yang paling lantang yang tak bisa disangkal. Hehehehehe.[]
Double Bay Sydney, 1 Juni 2022[]
Terkadang diam diperlukan utk urusan personal. Namun berisiklah utk sebuah kebenaran (dakwah) self reminder mb naskahmu keren
Jangan diam terhadap kezaliman dan bawa perubahan besar ‘baper’. Jazaakillah.. self reminder bgt naskah ini Mom
Sebaik-baiknya orang pasti ada yg benci, seburuk-buruknya orang pasti ada yg Cinta. Semoga Allah istikomahkan kita untuk dakwah karena Nya ya mbak. Walau dihujani hujatan juga fitnah.