Maka, mustahil sistem yang berlaku saat ini mampu mengentaskan permasalahan guru honorer yang ada di Indonesia. Sebab, hukum yang berlaku masih berstandar untung rugi.
Oleh: Ong Hwei Fang (Pemerhati Isu Politik)
NarasiPost.Com – Tanggal 25 November dikenal sebagai peringatan Hari Guru Nasional. Namun, persoalan tentang guru dalam urusan kesejahteraan khususnya terhadap status guru honorer selalu menjadi topik yang tak kunjung usai.
Seharusnya, istilah guru honorer tidak relevan lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan, guru adalah pendidik profesional. Namun, dalam praktiknya, pendidikan masih bertumpu pada guru honorer karena kekurangan jumlah pendidik profesional.
Berdasarkan laman statistik.data.kemdikbud.go.id tahun ajaran 2019/2020, jumlah guru tetap dengan status pegawai negeri sipil (PNS) 1.288.336 orang (47,75 persen) dan guru tetap yayasan 420.238 orang (15,57 persen). Sementara jumlah guru tidak tetap meliputi guru bantu 564 orang (0,02 persen), guru honorer daerah 201.242 orang (7,46 persen), dan guru tidak tetap 787.823 (29,20 persen). Proporsi guru honorer di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama lebih banyak lagi. Dari 750.771 guru di tingkat pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah, 624.558 orang atau sekitar 83,2 persen berstatus non-PNS atau honorer. Kondisi ini, menunjukkan bahwa pendidikan masih bertumpu pada tenaga honorer.
Meski sejumlah guru honorer telah memiliki sertifikat pendidik, berdasarkan data Kemendikbud ada 16.655 orang, belum termasuk yang di DKI Jakarta, yang belum bisa dikatakan sebagai pendidik profesional. Setidaknya ada empat poin untuk dikatakan pendidik profesional, yaitu kompetensi, kesejahteraan, pelindungan, dan passion (benar-benar menyukai profesi).
Namun, di sejumlah daerah, guru honorer seringkali justru menjadi pendidik utama karena jumlah guru PNS sangat minim. Mereka direkrut untuk memenuhi kebutuhan guru karena perekrutan guru PNS tidak sebanding dengan jumlah guru yang pensiun. Perbedaan pendapatan yang mereka terima dibandingkan dengan guru PNS terlalu besar, mulai dari upah, tunjangan sertifikasi, hingga akses terhadap jaminan sosial.
Problematika Guru Honorer
Harus diakui bahwa peran guru honorer dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sangat strategis karena banyak wilayah di Indonesia masih mengalami kekurangan guru. Akan tetapi, pemerintah tak punya cukup anggaran untuk menggaji mereka atau mengangkat guru menjadi aparatur sipil negara (ASN). Di sejumlah daerah, rasio guru-murid masih di bawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Solusi daruratnya adalah dengan mempekerjakan guru-guru itu dengan sistem kontrak berjangka dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, guru honorer bisa belasan tahun menjadi guru kontrak.
Sistem Perburuhan
Apa yang dialami oleh para guru honorer ini sebenarnya tak lepas dari sistem perburuhan yang ada di Indonesia. Sistem tersebut sebenarnya adalah sistem yang telah lama ditentang oleh para buruh dalam dunia industri. Karena, dalam sistem kontrak berjangka, pemberi kerja tidak perlu dibebani oleh beban jangka panjang yang melekat pada pegawai tetap. Mereka bisa memutus kontrak ketika masanya sudah berakhir.
Oleh karena itu, kasus-kasus guru honorer yang di-PHK oleh yayasan pemberi kerja kerap tidak jelas alasan PHK-nya dan mereka hanya mendapatkan pesangon 1-3 bulan gaji yang jumlahnya tidak seberapa, karena gajinya memang kecil. Ironisnya, sistem ini justru dijalankan pemerintah, dimana dunia pendidikan memakai sistem perburuhan. Akibatnya, ketika ada sengketa antara guru dan pihak pemberi kerja, seperti pihak yayasan, penyelesaiannya tidak menggunakan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tetapi menggunakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Namun, ketika kontrak kerja dilakukan dengan pemerintah daerah, penyelesaiannya sulit juga menggunakan UU Ketenagakerjaan. Gugatan kepada pihak pemberi kerja pernah dilakukan oleh 116 guru dari yayasan pendidikan Pondok Pesantren al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. Dengan didampingi LBH Bandung, para guru tersebut berhasil memenangi gugatan hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Akan tetapi, putusan pengadilan yang memerintahkan pembayaran pesangon para penggugat sulit dieksekusi, bahkan Kantor Agama Kabupaten Indramayu pun tidak mampu menjadi mediator, apalagi pengawas, terhadap kasus PHK besar-besaran ini. Ketika guru mengadu, tidak diberikan solusi. Juga tidak ada keberanian pemerintah mengingatkan pihak yayasan bawa Kanwil Agama dapat mencabut izin yayasan pendidikan yang melanggar hukum dan tidak mematuhi putusan pengadilan.
Terhitung sejak putusan MA inkrah tahun 2019, hingga akhir 2020 ke-116 guru tersebut belum mendapatkan hak mereka. Kasus yang menimpa 116 guru Al-Zaytun membuktikan betapa lemahnya posisi guru honorer atau guru kontrak ketika bersengketa dengan pihak yayasan. Dalam kasus ini jelas, undang-undang ketenagakerjaan tidak cukup kuat untuk melindungi guru.
Guru Honorer dalam Suara Pemilu
Pilkada pada Desember 2020 akan digelar. Biasanya persoalan guru honorer akan selalu mengemuka ketika terjadi perhelatan politik atau suksesi kepemimpinan, termasuk pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif. Janji meningkatkan kesejahteraan selalu mengemuka sebagai magnet menarik suara guru honorer yang jumlahnya lebih besar daripara guru tetap di yayasan pendidikan dan para guru ASN di sekolah-sekolah pemerintah. Namun, setelah pemilu usai, masalah guru honorer tetap belum terselesaikan karena pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara umum tidak memiliki konsep yang jelas dalam menyelesaikan masalah guru honorer.
Demikian pula dengan persoalan upah. Secara kewenangan dan tanggung jawab, gaji untuk guru honorer merupakan tanggung jawab daerah. Namun, pada kenyataannya selama bertahun-tahun masalah gaji untuk guru honorer masih menjadi problematika yang belum bisa diselesaikan. Hingga hari ini masih ditemukan gaji guru honorer di bawah standar UMR. Padahal salah satu syarat menjadi guru harus berpendidikan minimal S1 atau sarjana. Namun, masih banyak guru honorer bergaji jauh di bawah UMR meskipun mereka berpendidikan tinggi.
Mengutip pada hasil survei singkat tentang gaji guru honorer yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada jaringan anggotanya di sejumlah daerah pada 2020, terlihat besaran gaji per bulan yang diterima guru honorer di Indonesia berkisar Rp600.000 hingga 4,2 juta. Besaran gaji honorer sangat bergantung pada kemampuan daerah dan sekolah. Jika APBD suatu daerah besar, maka APBD dapat dialokasikan untuk memberikan gaji layak bagi guru honorer di daerahnya. Ketidakmerataan inilah yang menyumbang problem bagi standar nilai gaji guru honorer.
Guru dalam Islam
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar. Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah
orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal. (Syaiful Bahri Djamarah, Guru & Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, h. 31).
Guru honorer dapat disimpulkan sebagai orang yang pekerjaannya mengajar dan yang menerima honorium (upah sebagai imbalan jasa). Selain memenuhi kewajiban dan tugasnya, guru juga harus mendapatkan haknya. Hak-hak guru diharapkan dapat memenuhi
kesejahteraan gaji mereka serta diharapkan dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Diantara hak yang harus diterima oleh guru pendidik adalah penghormatan. Pada hakikatnya, pendidik (guru) adalah abu al-ruh (bapak rohani) bagi peserta didiknya. Dialah yang memberikan santapan rohani dan memperbaiki tingkah laku peserta didik. Muhammnad Athiyyat al-Abrasi mengungkapkan, "menghormati guru berarti penghormatan kepada anak-anak."
Disamping itu, hak-hak guru dapat dirincikan sebagai berikut, yakni hak mendapatkan kehidupan yang layak.
Hak mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan tugas maupun dalam aktivitasnya sehari-hari.
Hak untuk bermasyarakat (bersosialisasi).
Hak mengembangkan kemampuan diri (self actualization). Hak untuk mengeluarkan pendapat.
Menyangkut pemberian gaji/upah, syariat Islam tidak memberikan ketentuan yang rinci secara tekstual, baik dalam ketentuan Al-Qur'an maupun Sunnah Rasul. Namun, secara umum ketentuan Al-Qur'an yang ada kaitan dengan pemberian upah ialah, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl 16: 90)
Tingkat upah minimum dalam masyarakat Islam diberikan dengan memperhatikan kebutuhan dasar manusia yang meliputi makanan, pakaian, dan perumahan. Seseorang pekerja haruslah dibayar dengan cukup sehingga ia tercukupi dalam kebutuhan makan, pakaian dan perumahan, baginya dan keluarganya. Pendidikan anak-anaknya pun harus dipenuhi, dan demikian pula layanan kesehatan baginya dan keluarganya.
Maka, mustahil sistem yang berlaku saat ini mampu mengentaskan permasalahan guru honorer yang ada di Indonesia. Sebab, hukum yang berlaku masih berstandar untung rugi. Berbeda dengan sistem Islam, dimana syariah sebagai pondasi aturan dengan menjunjung serta mendudukkan permasalahan secara adil dan merata dalam bingkai hukum Islam. Wallahu a'lam bishawab []
Pictures by google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]