"Upaya pemerintah dalam mengatasi sampah terutama saat lebaran belum mencapai akar masalah. Selama ini pemerintah fokus pada cara mengatasi problem sampah seputar antisipasi dampak. Padahal akar masalah banyaknya sampah tidak lepas dari sistem kapitalisme yang mendorong masyarakat hidup konsumtif."
Oleh. R. Raraswati
(Muslimah Peduli Generasi)
NarasiPost.Com-Setelah dua kali Idulfitri dilalui di masa pandemi, kini euforia hari raya kembali terasa. Seolah keluar dari jeruji, warga merayakan Idulfitri secara bebas. Tradisi mudik, kue lebaran, baju baru, pemberian angpau dan sebagainya, kembali mewarnai perayaan. Tidak ada larangan bagi umat muslim untuk merayakan Idulfitri. Namun, perayaan secara berlebihan dan menimbulkan mudarat tentu tidak dianjurkan syariat. Jalan macet, harga bahan pokok naik, hingga tumpukan sampah menjadi efek dari euforia Idulfitri yang perlu perhatian khusus.
Tradisi Idulfitri di Indonesia dan Dampaknya
Umat muslim di Indonesia memiliki tradisi saat hari raya Idulfitri. Pulang kampung (mudik), hadiah atau oleh-oleh untuk sanak saudara di kampung dan sebagainya menjadi tradisi yang selalu dinanti. Tradisi ini ternyata juga membawa dampak pada kemacetan, lonjakan harga barang karena permintaan yang tinggi. Tidak ketinggalan, tumpukan sampah sebagai dampak sifat konsumtif warga.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, Dudy Prayudi, sampah saat lebaran diperkirakan meningkat hingga 60 ton. (Republika.Co.Id, 2/5/2022). Untuk itulah, perlu antisipasi yang dilakukan guna mencegah terjadinya dampak yang lebih besar.
Di Jawa Barat sendiri telah dilakukan antisipasi dari dampak tradisi ini. Sebagaimana dilansir Republika.Co.Id (2/5/2022) bahwa Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sudah mengantisipasi kepadatan, kemacetan dan lonjakan sampah di hari raya Idulfitri dan pasca lebaran. Ia menyiapkan pasukan kebersihan berlipat ganda dan memastikan hitungan minimal dua jam tempat-tempat yang terlihat tumpukan sampah bisa dibersihkan, termasuk tempat pelaksanaan salat Ied.
Selain itu, masyarakat diimbau bisa memisahkan sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik bisa diolah untuk pupuk. Sementara untuk sampah anorganik, bisa dikirim ke bank sampah yang ada untuk diolah sebagai barang bernilai ekonomi.
Akar Masalah Banyaknya Sampah
Upaya pemerintah dalam mengatasi sampah terutama saat lebaran belum mencapai akar masalah. Selama ini pemerintah fokus pada cara mengatasi problem sampah seputar antisipasi dampak. Padahal akar masalah banyaknya sampah tidak lepas dari sistem kapitalisme yang mendorong masyarakat hidup konsumtif.
Hidup konsumtif ini semakin dipermudah dengan adanya peran media sosial. Penampakan barang hasil jepretan kamera yang diunggah di medsos tentu menambah ketertarikan konsumen untuk membelinya. Kemudahan bertransaksi dengan sekali klik tanpa harus keluar rumah semakin memanjakan masyarakat. Walhasil, konsumen tidak sekadar belanja sesuai kebutuhan, tapi sesuatu yang mewah sampai barang sepele pun akhirnya dibeli untuk memenuhi keinginan.
Dengan sifat konsumtif inilah berdampak pada semakin menumpuknya sampah. Jadi jelas, salah satu akar masalah dari bertambahnya volume sampah adalah gaya hidup konsumtif masyarakat di sistem kapitalis.
Aturan Islam
Islam sebagai agama sempurna telah mengingatkan manusia akan kerusakan lingkungan yang disebabkan perbuatan manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…” (QS Ar-Ruum: 41)
Untuk kelestarian lingkungan, Allah Swt juga telah membuat larangan dengan berfirmannya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf: 56)
Ayat tersebut mewajibkan manusia menjaga lingkungan. Umat harus memperhatikan setiap aktivitasnya agar tidak merusak kelestarian lingkungan. Secara individu, masyarakat harus dapat membedakan kebutuhan dengan keinginan. Hendaknya manusia cukup mengonsumsi sesuai kebutuhan saja, bukan karena keinginan. Dengan demikian, secara otomatis gaya hidup konsumtif bisa ditekan dan berdampak pada berkurangnya sampah yang dihasilkan.
Bukan hanya secara individu, penanganan kelestarian lingkungan terutama sampah juga harus ada peran aktif negara. Pemerintah harus memberikan edukasi pola hidup sederhana dengan mengutamakan kebutuhan bukan keinginan. Memberi sanksi tegas kepada masyarakat yang merusak lingkungan juga salah satu cara menjaga kelestarian lingkungan. Memang Islam tidak membatasi manusia untuk memiliki barang tertentu, tetapi semua diatur agar seimbang dan tetap dapat menjaga lingkungan berdasarkan keimanan.
Rasulullah sendiri seringkali mengingatkan para Sahabat untuk menjaga lingkungan. Bahkan bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, saat hendak melakukan perang pun, Rasulullah memerintahkan agar tidak menebangi pohon dan merusak lingkungan. Jadi, penanganan sampah ini butuh peran individu dan negara dalam membangun paradigma keimanan.
Dengan keimanan, masyarakat beraktivitas sesuai syariat. Dengan demikian, insyallah masalah sampah dan kelestarian lingkungan dapat tersolusi. Allahu a’lam bish showab[]