Social Media, Yes! Social Ills, No!

"Itu berarti penyakit sosial itu memang sengaja diproduksi untuk menghancurkan umat Islam. Nah, kalau sudah begini kan repot urusannya. Umat Islam yang seharusnya mengemban misi agung dari Sang Khalik untuk membumikan syariat kaffah-Nya, justru terpalingkan dengan konten-konten medsos yang nirfaedah bahkan merusak."

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Assalamu’alaikum Sob, apa kabarnya nih? Pasti tambah sibuk ya? Pasca lebaran, aktivitas sudah beranjak normal lagi nih. Yakin deh, selain aktif di media sosial (medsos), Sobat juga sudah rajin nyemplung di dunia nyata juga kan?

Kemajuan teknologi ditambah lamanya pandemi berhasil membuat masyarakat intim banget dengan dunia medsos, betul kan? Kayaknya kalau sehari gak pegang hape, galau banget rasanya. Bahkan, ada di antara para netizen yang tiap detiknya mantengin hape melulu, apalagi kalau ada notifikasi masuk, auto ribut.

Betul, kemajuan teknologi memang memanjakan kita dengan berbagai kemudahan yang tiada tara. Kemudahan akses informasi, memperlancar komunikasi, bahkan jadi sarana bisnis juga. Namun ingat, jika penggunaannya tidak proporsional bisa menjerumuskan pada dampak buruknya juga lho.

Tahu gak, ternyata ada berbagai penyakit sosial yang ditimbulkan dari penggunaan media sosial yang kebablasan. Kalau dibiarkan akan terakumulasi menjadi gangguan mental alias penyakit jiwa lho. Ih horor banget kan, Sob?

Social Ills

Sob, sebagai pengguna medsos yang bijak, tentunya kita harus mewaspadai dampak negatif, khususnya penyakit sosial (social ills) yang berpotensi muncul akibat penggunaannya. Apa saja itu, check it out!

Pertama, Borderline Personality Disorder (BPD) alias gangguan kepribadian yang ambang. Cirinya, orang ini auto iri kalau lihat konten netizen lain lebih keren dan menarik serta menyedot follower yang lebih banyak. Akhirnya, dia kecewa banget dan merasa tersisihkan jika kalah populer. Biasanya sih orang kayak begini tuh disebut anti sosial alias bipolar. Ayo ngaku, siapa yang pernah begini?

Kedua, Social Media Anxiety Disorder (SMAD) alias terobsesi. Netizennya ini kelewat rajin, karena bisa setiap saat, di mana pun dan kapan pun mengecek akun medsosnya. Benar-benar terobsesi dengan akunnya sendiri. Bukan cuma itu, ekspektasinya juga selangit, pengin meraup like, comment, dan follower yang bejibun. Nah, kalau kenyataannya krik….krik…sunyi, auto kecewa dong, karena gak sesuai harapan. Ehm… jangan-jangan itu kamu ya? Ups!

Ketiga, Addiction alias kecanduan. Ketika orang ini suka pada fitur medsos tertentu, misal YouTube, Tiktok, atau bahkan game online, maka dia pasti akan standby terus, gak mau ketinggalan konten ter -update. Parahnya, orang ini bisa sampai susah tidur, gagal fokus, malas-malasan, dan gak produktif, Sob! Akhirnya, menolak berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata alias gak bersosialisasi. Walhasil, menghambat banget kan pada aktivitas sehari-harinya?

Keempat, Munchausen Syndrome (MS) alias berhalusinasi demi sensasi. Sebenarnya, ciri penyakit ini sulit dideteksi oleh diri sendiri. Namun, orang lain yang peka pasti akan menyadarinya. Misalnya, dia berbohong dengan menceritakan peristiwa tragis tentang dirinya agar menarik simpati dan sensasi, padahal itu hanya halusinasi belaka. Seram juga ya?

Kelima, Obsessive Compulsive Disorder (OCD) alias ambisi untuk selalu tampil sempurna. Nah, biasanya ditandai dengan munculnya rasa gak pede saat mengunggah foto tanpa editan. Baginya, tak masalah menghabiskan waktu beberapa jam demi mencapai kesempurnaan pada hasil editan fotonya. Kamu begitu gak?

Keenam, Internet Asperger Syndrome (IAS) alias kondisi yang bertolak belakang antara dunia nyata dengan dunia maya. Misal, komen yang dilancarkannya di medsos selalu kasar, nyinyir, dan pedas, sedangkan di dunia nyata sebenarnya dia seorang yang pendiam, jarang komentar. Bisa juga sebaliknya. Aneh juga kan?

Ketujuh, Fear of Missing Out (FOMO Syndrome) alias kecemasan berlebihan. Nah, kecemasan ini biasanya muncul ketika koneksi internetnya terganggu atau terputus. Auto marah-marah dong, bahkan bisa sampai nangis sesenggukan gegara hal sepele itu. Ih, rempong banget kan orang ini?

Kedelapan, Narcissistic Personality Disorder (NPD) alias mengagumi diri sendiri. Karena merasa diri paling kece badai, sayang banget dong kalau gak dipamerin ke netizen di medsos. Walhasil, berandanya penuh dengan foto dan caption tentang dirinya. Wuih narsis banget kan?

Kesembilan, Voyeurism alias penguntit (stalker). Orang ini kepo banget, sampai-sampai punya kebiasaan intip akun orang lain terus menerus. Bahkan, ujungnya sampai menjelek-jelekkan orang lain di kolom komentarnya. Kurang kerjaan banget kan? Semoga ini bukan kamu ya, Sob?

Terakhir, Low Forum Frustration Tolerance (LFFT) alias terobsesi ingin eksis dan diakui orang lain. Parahnya, bisa sampai nekat bikin konten yang membahayakan nyawa sendiri. Memang dikira, situ punya nyawa sembilan? Tapi seramnya, kalau gak diikuti maunya, orang ini bakal loss control, bisa frustrasi bahkan depresi. Naudzubillahi min dzalik.

Nah, dari sepuluh penyakit sosial paparan medsos ini ada gak yang pernah atau sedang kamu alami? Hati-hati lho, jangan dianggap sepele. Terlambat mendiagnosis, sadar-sadar kamu sudah jadi pasien di RSJ. Ampun deh!

Sekularisme-Kapitalisme Biang Kerok

Tahu gak, Sob? penyakit sosial paparan medsos itu gak muncul tiba-tiba lho. Bukan juga penyakit yang sifatnya kasuistik, karena udah mewabah juga, Sob. Ayo jujur, di antara sepuluh penyakit di atas pasti ada satu, dua atau lebih ciri yang pernah kita alami, walaupun mungkin belum kronis.

Kalau kita telisik lebih jauh, kemunculan penyakit sosial ini disebabkan dua hal yakni sekularisme dan kapitalisme media. Keduanya saling berkelindan. Sekularisme adalah paham yang menyisihkan agama dari kehidupan manusia.

Ehm…jampi-jampi sekularisme itu begini: “Boleh saja agama eksis, tapi cukup di lingkup tertentu saja misalnya di masjid dan madrasah. Itu pun jika permasalahannya berkaitan dengan ibadah mahdloh saja. Nah, jika sudah berinteraksi dengan manusia lain dalam ranah publik, agama harus minggir.” Termasuk dalam interaksi sosial di media, baik itu di dunia nyata maupun dunia maya.

Walhasil, netizen jadi semau gue dong, bebas berpendapat dan berekspresi tanpa mengindahkan norma-norma agama. “Toh ini hidup gue, agama gak usah ikut campur!” Itu… tuh responsnya kalau netizen sekuler diajak kembali on the track. Kita saksikan bagaimana penyakit hati yang dilarang agama justru malah mereka pelihara, contohnya rasa iri, dengki, dendam, senang pamer, sombong, menghina, mem -bully, boros dan lain-lain.

Hal ini diperparah dengan adanya kapitalisme yakni ideologi yang menjadikan kepuasan materi sebagai standar kebahagiaan, siapa yang punya kapital (modal/harta) dia yang berkuasa. Ideologi ini lahir dari Barat lho. Nah, kalau kaitannya dengan media maka kapitalisasi media yakni menjadikan media sebagai corong untuk memopulerkan budaya dan ide-ide Barat yang sekuler dan bertentangan dengan Islam.

Tujuannya apa? Tentu saja untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya serta menjauhkan kaum muslim dari keislamannya sekaligus menghancurkan mental generasinya. Otomatis dampak negatif dari konten media massa termasuk medsos pun tidak diindahkan, yang penting untung dan popularitas yang dikejar.

Itu berarti penyakit sosial itu memang sengaja diproduksi untuk menghancurkan umat Islam. Nah, kalau sudah begini kan repot urusannya. Umat Islam yang seharusnya mengemban misi agung dari Sang Khalik untuk membumikan syariat kaffah-Nya, justru terpalingkan dengan konten-konten medsos yang nirfaedah bahkan merusak.

Atasi dengan Islam, Tertibkan dengan Khilafah

Sebagai seorang muslim yang beriman, sudah selayaknya kita serahkan semua urusan kita kepada Sang Khalik, Sang Penggenggam hidup dan mati kita. Maksudnya, bukan pasrah begitu saja tanpa usaha ya, Sob. Namun, menyelaraskan kehidupan kita dalam koridor syariat Islam.

Baik di dunia nyata, maupun dunia maya ya sama saja harus terikat dengan hukum syarak. Oleh karena itu, kita harus bijak dalam menggunakan media sosial. Boleh saja kita memanfaatkan berbagai fitur media sosial seperti Facebook, YouTube, Tiktok, Twitter dan lainnya, tapi harus proporsional dan ada tujuannya ya Sob. Bukan iseng-iseng, apalagi wasting time. By the way, bagaimana caranya dong? Nih, bocorannya:

Pertama, gunakan media secara proporsional. Batasi waktunya, jangan sampai tenggelam di dunia maya, namun ghosting di dunia nyata. Atur waktu kita, susun skala prioritas, dan buat jadwalnya dalam agenda harian kita.

Kedua, pastikan kita menggunakan media sosial dengan tujuan tertentu. Misalnya untuk mencari suatu informasi, berkomunikasi, atau berdakwah. Jika telah tercapai tujuan kita, maka hentikan berselancar di dunia maya. Hindari scrolling fitur ataupun akun-akun yang bisa melenakan perhatian kita.

Ketiga, deteksi sedini mungkin akan paparan media sosial berupa penyakit hati dalam diri kita. Jika muncul, maka segera recovery. Gejala gangguan jiwa jangan disepelekan, walaupun cuma sedikit. Sebab, jika dihimpun akan menjadi penyakit kejiwaan yang kronis lho, Sob.

Keempat, pandai-pandai memfilter konten media sosial. Jika bermanfaat sikat, jika nirfaedah lempar ke tempat sampah. Namun, untuk mengetahui benar-salah, berfaedah-nirfaedah, konstruktif-destruktif itu gak bisa sim salabim lho, Sob. Perlu usaha dan proses tentunya. Kuncinya, ilmu.

Tentu saja ilmu itu perlu dicari, Sob. Bukan duit saja yang getol dicari. Menghadiri majelis ilmu dan mengikuti kajian intensif itu cara paling efektif dalam mencari dan memahami ilmu. Ehm… bagaimana dengan metode autodidak? Untuk sebagian ilmu, bisa saja ditempuh dengan cara autodidak, namun untuk memahami ilmu agama sangat tidak direkomendasikan pakai cara itu, Sob. Sebab, khawatir ada pemahaman yang keliru dan mispersepsi jika dicerna sendiri.

Talaqqi dengan membentuk halaqah-halaqah (majelis ilmu yang melingkar) merupakan metode pembelajaran paling jitu dalam memahami ilmu agama. Bahkan, ini dicontohkan Rasulullah, para sahabat, dan salafushalih lho. Keren banget kan, Sob?

Nah, dari proses inilah kita akan paham mana yang haq dan bathil untuk memfilter pengaruh medsos. Tapi jangan dulu puas karena kita sudah menemukan kunci untuk mengantisipasinya. Jangan lupa Sob, kita pun punya kewajiban untuk menyelamatkan muslim yang lainnya juga, caranya dengan berdakwah dan saling mengingatkan (amar makruf nahi mungkar).

Nah, pihak yang punya peranan paling strategis untuk membendung pengaruh negatif dan menertibkan media sosial adalah negara. Mengapa? Sebab, negara memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk memberikan atau mencabut izin operasional perusahaan media.

Semua hal yang bisa mengikis akidah, menimbulkan penyakit sosial dan gangguan mental dienyahkan. Sehingga, masyarakat bisa menikmati kemajuan teknologi dengan aman, nyaman, dan tetap syar’i. Mungkinkah itu terjadi? Tentu saja bisa, asalkan negara mau berkomitmen untuk menerapkan Islam kaffah dan menegakkan Khilafah. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 208 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)…”

Khatimah

Derasnya arus informasi di masa kini memaksa kita untuk selalu mawas diri, Sob! Bijak dan proporsional dalam menggunakan medsos kuncinya. Jangan lupa dorong terus masyarakat beserta negara untuk memasang perisai paling efektif untuk melindungi kehidupan kita ini dengan Islam kaffah dan Khilafah. Allahu Akbar!

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Mengatasi Resesi Seks Tak Cukup dengan Pembekuan Sel Telur
Next
LGBT: Mengundang "Fitnah" dan Azab Allah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram