"Tangisku pecah. Ada rasa sesal, mengapa aku tidak menemani ayah? Beberapa kali aku merutuki diri, akulah penyebab ayah pergi. Akulah yang membawa virus Covid-19 itu dan menularkannya kepada ayah. Dalam tangis aku membenci diriku."
Oleh. Irma Sari Rahayu
NarasiPost.Com-Untuk ayah tercinta
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Setiap kali mendengar lagu ini, aku tak pernah mampu membendung air mata. Lagu ini sungguh mewakili perasaan rinduku kepada ayah. Alhamdulillah, Idulfitri tahun ini aku bisa merayakannya di kampung halaman. Ada rasa senang, namun tak mampu menghilangkan mendung di hatiku.
Tahun ini adalah Ramadan dan Idulfitri tanpa ayah. Meski hari raya pada tahun-tahun sebelumnya tidak dapat sungkem dan mencium tangannya secara langsung, paling tidak masih bisa berbincang dengan ayah lewat panggilan video. Senyum terlihat di wajahnya, namun netra tuanya tak mampu berbohong. Beliau sedang menahan air mata. Ya Allah, hatiku berdenyut nyeri. Berulang kali kata maaf ku ucapkan. Bukannya tak rindu, tapi kondisi pandemi dan kebijakan penguasalah yang membuat kita terpaksa terpisah sementara.
Alhamdulillah, saat libur sekolah, aku bisa mengunjungi ayah. Aku sempat ragu karena kasus positif Covid-19 di kotaku dan tempat ayah tinggal semakin tinggi. Namun, keraguanku memudar melihat mata ayah tampak berbinar menyambut kedatangan cucu-cucunya. Celoteh anak bungsuku langsung meramaikan suasana. Namun, siapa yang menyangka jika pertemuan ini adalah yang terakhir.
Dua hari di kampung halaman, aku terserang demam. Badanku panas, kepala dan tenggorokan sakit. Aku berdoa semoga ini bukan gejala Covid-19. Setelah minum obat, demamku berangsur-angsur reda. Tapi, beberapa hari kemudian ayah juga demam. Setelah beberapa hari panas, kondisi ayah memburuk. Segera kami membawanya ke rumah sakit. Dokter mendiagnosis beliau positif Covid-19 dan strok ringan. Namun sayang, rumah sakit yang pertama kami datangi tak bisa merawat ayah. Tak ada kamar kosong katanya. Rumah sakit lain pun kondisinya sama. Akhirnya ayah kami rawat di rumah.
Beberapa hari dirawat, kondisi ayah tidak membaik. Aku pun mulai merasa hilang penciuman. Setelah melakukan tes, ternyata aku pun positif Covid-19. Aku berusaha tenang, bagaimanapun ada anak-anak dan ibu yang harus aku jaga. Segera aku kabari suami tentang kondisiku, dan beliau pun menyusul untuk menjaga anak-anak.
Di saat aku berusaha pulih, kondisi ayah justru semakin memburuk. Beliau mulai hilang kesadaran. Dibantu ambulans milik puskesmas, ibu dan saudara laki-lakiku membawa ayah ke rumah sakit. Sampai tengah malam semua rumah sakit disambangi, namun jawabannya sama, tidak ada kamar yang kosong. Ya Allah, dalam keadaan lelah dan putus asa akhirnya ayah harus kembali dibawa pulang. Hatiku hancur. Tapi aku coba menguatkan ibu, kita sudah berupaya maksimal, kataku.
Aku masih sempat membasuh wajah dan tangannya, juga merapikan alas tidurnya. Berulang kali kuucapkan kata maaf karena khawatir menyakiti kulitnya yang semakin keriput. Kupandangi wajahnya. Napasnya masih tersengal-sengal. Selang oksigen masih terpasang di hidungnya. Kubiarkan ayah istirahat. Tubuhku juga terasa sangat lelah. Hingga akhirnya pukul dua dini hari, ayah mengembuskan napas terakhir. Tangisku pecah. Ada rasa sesal, mengapa aku tidak menemani ayah? Beberapa kali aku merutuki diri, akulah penyebab ayah pergi. Akulah yang membawa virus Covid-19 itu dan menularkannya kepada ayah. Dalam tangis aku membenci diriku.
Ayah sudah tenang sekarang. Tuntas sudah tugasnya sebagai suami, ayah, dan kakek. Beliau mungkin bukan ayah terbaik, tapi ayah terhebat bagiku. Tak pernah sekalipun ayah berkata kasar, meskipun ayah kerap marah jika anak-anaknya lalai belajar. Ayah adalah potret muslim kebanyakan, tidak terlalu memahami hukum syariat. Namun beliau tak melarang, saat aku memutuskan untuk mengenakan jilbab. Kata ayah, kalau itu sesuatu yang baik, maka lakukan dan jangan dilepas lagi. Ayah juga mendukung dakwahku. Tak jarang kami berbincang tentang masalah politik, tapi lebih banyak aku mendengarkan keluh kesah ayah tentang penyakit atau apa pun yang beliau rasakan. Aku hanya bisa meminta beliau bersabar.
Di depan nisan ayah, aku hanya bisa melantunkan doa, berharap agar doaku bisa menerangi rumah abadinya sekarang. Ada kalanya aku ingin menangis dan bercerita sepuasnya untuk menumpahkan rasa rindu yang menggebu. Namun, aku hanya bisa menahannya di dalam hati. Selamat beristirahat ayah, insyaallah kita akan dipertemukan kembali di surga-Nya kelak.
"Ya Allah, ampunilah, rahmatilah, bebaskanlah, dan lepaskanlah dia. Dan muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah jalan masuknya, cucilah dia dengan air yang jernih lagi sejuk, dan bersihkanlah dia dari segala kesalahan bagaikan baju putih yang bersih dari kotoran, dan gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada yang ditinggalkannya. Masukkanlah dia ke dalam surga, dan lindungilah dari siksanya kubur serta fitnahnya, serta dari siksa api neraka."
Aamiin.[]
Membaca cerita ini membuatku menangis.. rinduku juga untuk ayah yg telah lama tiada.. Al-Fatihah untuk beliau2 di sana.. semoga tenang di sisi-Nya..
aamiin. ditunggu naskah2 kerenmu dalam family dan mottivasi.
ajak juga bujangmu untuk giat jadi editor video