Polemik Hukuman Mati, Tanda Sistem Gagal

"Faktanya, kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kekerasan seksual dianggap belum mendapat hukuman yang menjerakan. Ini terbukti kasus semakin merebak di mana-mana. Namun, saat hukuman mati diajukan timbul polemik antara ingin menjerakan dan komitmen penegakan HAM."

Oleh. Nurul Bariyah

NarasiPost.Com-Seperti kita tahu, kasus Herry Wirawan, seorang pemilik dan pengasuh Madani Boarding School yang memerkosa 21 santriwatinya sudah masuk pada persidangan. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menuntut Herry Wiryawan dengan hukuman mati. Atas perbuatannya, Herry dikenakan pasal 81 ayat(1), ayat (2), ayat (3) dan (5) Jo pasal 76D UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Namun, ternyata hukuman mati dinilai tidak tepat. Hal ini diungkap oleh Maidina Rahmawati seorang peneliti Institude for Criminal and justice Reform (ICR). Beliau menilai sanksi hukuman mati bagi pelaku kekerasan seperti Herry tidak selaras dengan pasal 57 KUHP. Yang berisi, "Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhi pidana lain lagi kecuali hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim." Sementara dalam pidana pokok, jaksa menuntut Herry dengan hukuman mati dan memberikan sejumlah pidana tambahan membayar denda, membayar restitusi, dan kebiri kimia.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, juga mengemukakan pendapat yang sama, bahwa sanksi hukuman mati bagi Herry tidak efektif untuk mencegah tindak kekerasan seksual.
Di pihak lain, Wakil ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, mengkritisi pernyataan ketua Komnas HAM yang tidak setuju pemberlakuan hukuman mati terhadap Herry wirawan. Beliau mengkritik Komnas HAM dan pihak lain yang ngotot agar RUU TPKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual, tapi menolak tuntutan dan vonis hukuman mati terhadap pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Menurut HNW, "Sanksi hukuman mati itu diakui dalam sistem hukum di Indonesia, melalui UU perlindungan anak, yang malah dikuatkan Presiden Jokowi dengan Perppu yang menjadi UU No.17/2016 tentang Perubahan Kedua UU Perlindungan Anak. Apalagi berdasar prinsip hukum dan HAM di Indonesia, ada pasal 28 j ayat(2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemberlakuan hak asasi manusia di Indonesia harus tunduk pada pembatasan yang dibuat oleh UU.

Faktanya, kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kekerasan seksual dianggap belum mendapat hukuman yang menjerakan. Ini terbukti kasus semakin merebak di mana-mana. Namun, saat hukuman mati diajukan timbul polemik antara ingin menjerakan dan komitmen penegakan HAM. Padahal yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam kasus kekerasan seksual pada anak adalah hak asasi para korban yang terenggut oleh pelaku. Bagaimana masa depan mereka, bagaimana perkembangan psikis mereka akibat kekerasan yang mereka alami dan bagaimana cara mereka menghilangkan trauma. Melihat beratnya penderitaan yang timbul akibat ulah pelaku, maka hukuman kepada pelaku haruslah dikenakan hukuman yang seberat-beratnya dan menjadikan pelajaran bagi yang lain agar berpikir panjang untuk melakukan hal sama.

Dalam kasus lain seperti korupsi, yang juga merupakan kejahatan tingkat berat, hukuman mati menjadi pilihan yang paling tepat. Karena pelaku korupsi semakin hari semakin bertambah banyak. Hal ini disebabkan karena hukuman yang tidak membuat efek jera, sehingga mereka seolah berlomba melakukan kecurangan dan korupsi karena tidak takut pada hukum. Padahal penderitaan yang dirasakan akibat korupsi para pejabat sangatlah menyusahkan rakyat jelata. Rakyat diharuskan membayar ini itu, sedangkan pejabat dengan seenaknya memakan uang mereka. Hak- hak yang seharusnya didapat rakyat diabaikan dan tidak terpenuhi akibat dana yang masuk dicurangi oleh mereka. Inilah bukti cacat sistem sekuler demokrasi hari ini, selain menggantungkan solusi kejahatan pada sanksi dan hukuman, juga tidak mampu menciptakan lingkungan yang mendukung agar kejahatan tidak merajalela.

Bentuk Sanksi atau Hukuman Menurut Pandangan Islam

Perlu diketahui, tujuan dari adanya hukuman dalam syariat Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam itu sendiri, ykni sebagai pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus, serta perlindungan terhadap hak-hak si korban.

Sanksi yang ada berupa sanksi had yaitu ketetapan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunah. Hukuman berupa rajam, jilid atau potong tangan, penjara/kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh pengasingan/deportasi, dan salib, disesuaikan dengan kesalahan yang diperbuat.

Dalam Islam tidak mengenal istilah pemerkosa tetapi mengenal zina. Dalam konsepsi pidana fikih (Al hudud), pemerkosa digolongkan tindak pidana kejahatan atas kehormatan (hak Al ardh) yang berupa perzinaan dengan ancaman hukum cambuk 100 kali atau rajam sampai mati. Jika pelaku belum menikah, hukumannya cambuk 100 kali, sedangkan jika sudah menikah maka hukum rajam bisa dilaksanakan. Dalam kasus pemerkosaan ada pengecualian bagi korban, yaitu korban tidak dikenakan hukuman bagi pezina. Bedanya, jika tindakan zina maka dua pelakunya sama-sama mendapat hukuman had. Hal ini terdapat dalam Al Qur'an surat Al An'am ayat 145.

Sedangkan yang menyangkut kasus korupsi tidak ada dalil yang secara langsung menyebutkannya seperti halnya syirik, zina, minum khamar dan lainnya. Dalam hukum Islam, meski tidak ada nas Al- Qur'an dan hadis tentang bentuk hukuman bagi pejabat yang melakukan korupsi, masih ada hukuman ta'zir. Sehingga dalam sistem Islam tetap bisa memberi hukuman setimpal kepada para koruptor bahkan hukuman mati.

Semua hukum dalam Islam mempunyai tujuan yang mencakup dua aspek dasar yaitu :

  1. Aspek ganti rugi/ balasan, "Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik. Atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. 5:33).
  2. Aspek penjeraan. Penjeraan menjadi alasan rasional dijatuhkannya suatu hukuman. Tujuan yang utama adalah mencegah terulangnya perbuatan pidana tersebut di kemudian hari. Dan masyarakat lain juga tidak melakukan hal serupa.

Dengan demikian hal ini menjadi kontrol dalam masyarakat Islam agar setiap individu berhati-hati dalam bertingkah laku dan bertindak. Melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi yang dilarang oleh Allah Swt. Maka, rasa aman, tenteram, dan juga rasa nyaman akan tercipta dalam kehidupan masyarakat karena hukum syariat Islam yang tegak.
Wallahu a'lam bishawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Nurul Bariyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Baiat Untuk Khalifah
Next
Muslimah Afganistan Teriak Keadilan, Islam Kaffah Solusi Riil
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram