Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe), Dr. Fika Komara, mengungkapkan AS sudah lama memosisikan Taiwan sebagai pressure tools bagi Cina. AS sebagai negara predator, mengendus peluang bisnisnya melalui konflik kedua negara ini.
Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kemelut antara Cina dan Taiwan kian memanas. Beijing makin represif dan ngotot mengklaim Formosa atau Pulau Taiwan sebagai konstituen dari wilayahnya. Bahkan, Presiden Cina Xi Jinping bersuara lantang akan menjelmakan unifikasi antara Cina-Taiwan. Namun, Taiwan tak bergeming. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen bersumpah tak akan membuat negaranya bertekuk lutut pada Cina.
Di tengah pertikaian tersebut, AS mulai mencari muka pada Taiwan. Presiden AS Joe Biden memastikan jajarannya bakal pasang badan untuk membela Taiwan dari agresi Cina. Biden yakin, pihaknya dapat bersaing dengan militer Cina lantaran posisinya sebagai punggawa militer dunia. Berkaca dari perjanjian lamanya dengan Presiden Xi Jinping, Biden menegaskan bahwa AS tak ingin menginisiasi Perang Dingin baru dengan Cina. Sehingga, pihaknya tak akan angkat kaki dari Pulau Formosa tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Jubir Kemenlu Cina, Wang Wenbin mengultimatum AS untuk berhati-hati dalam merespons isu Taiwan, karena hal tersebut berisiko mematahkan hubungan Cina-AS. Menurutnya, AS tak seharusnya menyepelekan kekuatan militer Cina dalam menjaga kedaulatan negaranya dari ancaman separatis. Padahal, selama ini AS tidak mempunyai afiliasi yang sah dengan Taiwan, kecuali menyokong Taiwan dalam aspek pertahanan dari berbagai serangan seperti yang tertuang dalam perjanjian Taiwan Relation Act (TRA). Dalam TRA diketahui landasan AS merajut hubungan diplomatik dengan Cina atas dasar pertimbangan masa depan Taiwan yang akan diputuskan dengan jalan damai. (cnnindonesia.com, 23/10/2021)
Inkonsistensi AS dalam menyikapi kisruh Cina-Taiwan ini telah menodai kebijakan lama AS yang dikenal dengan “ambiguitas strategis”, di mana AS hanya mengulurkan tangan untuk menopang pertahanan Taiwan, namun tidak secara vulgar berniat melindungi pulau tersebut dari invasi Cina. Di tengah ketegangan Cina dan Taiwan, AS seolah sengaja mengail di air keruh dengan ‘merangkul’ pulau tersandera tersebut. Lantas, bagaimanakah sebenarnya konflik Cina-Taiwan ini bermula? Akankah kehadiran AS dapat ‘menyelamatkan’ Taiwan dari cengkraman Cina?
Sejarah Konflik Cina-Taiwan
Konflik panjang Cina-Taiwan diawali dengan terjadinya perang saudara antara keduanya pada tahun 1927-1949. Ketika itu Partai Komunis Cina berambisi untuk memegang tampuk kekuasaan Cina yang berada di bawah kendali Koumintang. Menyadari hal itu, Koumintang yang berideologi nasionalis berusaha mendepak kaum komunis. Sayang seribu sayang kubu Koumintang harus takluk di tangan Partai Komunis Cina, hingga akhirnya mereka melarikan diri ke Pulau Formosa atau Taiwan dan mendeklarasikan pemerintahan sendiri pada tahun 1949.
Namun, arogansi Komunis Cina tak pernah surut, mereka terus mengusik Taiwan dan melakukan klaim kedaulatan sepihak, meskipun tak pernah memerintah pulau tersebut. Hingga akhirnya, status quo muncul pasca terbitnya Konsensus 1992 yang mengukuhkan sikap 'Satu Cina' antara Beijing dan Nasionalis Taiwan. Sejak saat itu, terjadi penafsiran yang bertolak belakang antar kedua belah pihak. Presiden Taiwan beserta partainya sudah lama memveto konsensus tersebut dan mendesak Beijing untuk mengakui kedaulatan Taiwan. (cnnindonesia.com, 6/10/2021)
Berbeda dengan Cina, yang terus bernafsu mencaplok Taiwan. Pada tahun 2019 Presiden Cina Xi Jinping secara terang-terangan meminta Taiwan untuk kembali ke pangkuan Beijing. Cina juga semakin gencar melakukan tekanan militer, ekonomi, dan diplomatik untuk melemahkan kekuasaan Tsai dan mengancam akan menyatukan pulau itu di bawah kekangan Partai Komunis Cina. Bahkan, Pakar Hubungan Cina-Taiwan, Sung, mengungkapkan bahwa rakyat Taiwan sudah ‘akrab’ dengan berbagai provokasi militer dan diplomatik Cina sejak Taiwan melakukan pemilihan presiden pada 1996.
Ketegangan kedua negara semakin memanas dalam seminggu terakhir, menyusul serangan 150 pesawat militer Cina ke wilayah barat daya Taiwan pada awal bulan selama akhir pekan Hari Nasional. Situasi ini akhirnya memantik Taiwan untuk mengobrak-abrik senjata dan mengaktifkan sistem rudal pertahanan miliknya (cnbcindonesia.com, 11/10/2021)
Manuver AS ‘Bela’ Taiwan
Pasca berakhirnya perang saudara antara Cina-Taiwan pada 1949, AS resmi mengakhiri hubungan diplomatiknya dengan Taipei pada tahun 1979 demi mengukuhkan Bejing. Tak lama berselang AS merumuskan Taiwan Relation Act (TRA) demi mengakomodasi kepentingan AS dan Taiwan. Relasi AS-Cina merupakan relasi harmonis yang rentan konflik tersebab perbedaan sikap antara keduanya dalam merespon isu Taiwan. Pemerintah AS tidak secara vulgar menentang klaim sepihak Cina atas Taiwan, namun di sisi lain AS tetap berkomitmen untuk melindungi Taiwan berdasarkan amanat TRA. AS harus memastikan Taiwan dapat membentengi diri dari berbagai serangan yang dapat mengancam pulau tersebut. (detik.com, 23/10/2021)
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, AS makin telanjang membela Taiwan. Bahkan, pada Agustus lalu, Biden berkomitmen untuk melindungi sekutu utama AS, termasuk Taiwan. Komitmen tersebut makin menguat tatkala Cina meningkatkan serangannya di Selat Taiwan. AS begitu 'perhatian' pada Taiwan dan selalu mengecam setiap kali militer Cina melakukan manuvernya di selat itu. Tak hanya itu, setiap bulan kapal AS selalu berjaga di Selat Taiwan dan menyerukan negara lain untuk menggelar latihan di sana demi mendukung Taiwan di tengah provokasi China. (cnnindonesia.com, 23/10/2021)
Sebuah laporan yang dilansir dari AFP (8/10/2021), menguak manuver AS yang secara diam-diam telah mengirimkan pasukan militernya untuk melatih tentara Taiwan. Ada sekitar 24 pasukan operasi khusus dan sejumlah marinir yang tengah melatih tentara Taiwan. Hal ini diungkapkan oleh seorang pejabat Pentagon dan mengatakan pelatihan ini telah berjalan selama kurang lebih setahun. Merasa ditikam dari belakang, Cina pun berang dan langsung memperingatkan AS untuk mengakui sensitivitas terkait isu Taiwan. Negara 'Tirai Bambu' itu juga menekankan 'Negeri Paman Sam' untuk segera memutus perdagangan senjata dan hubungan militernya dengan Taiwan. Pihaknya juga bersikeras akan tetap mempertahankan integritas teritorial dan kedaulatannya. (kompas.com, 9/10/2021)
Di Mata AS : Taiwan, Pressure Tools bagi 'Negeri Panda'
Menanggapi manuver AS yang mengutus militernya secara sembunyi-sembunyi dalam rangka melatih pasukan Taiwan, Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe), Dr. Fika Komara, mengungkapkan AS sudah lama memosisikan Taiwan sebagai pressure tools bagi Cina. AS sebagai negara predator, mengendus peluang bisnisnya melalui konflik kedua negara ini. Relasi Cina-Taiwan yang kian memburuk ditangkap AS sebagai sinyal untuk melemahkan Cina dan meraup profit maksimal dari perseteruan dua negara Asia Timur tersebut.
Fika juga menambahkan, pelatihan militer 'Negeri Paman Sam' di Taiwan merupakan manifestasi dari bisnis industrial millitary complex yang diciptakan negara tersebut. Kapitalisasi perang memang menjadi mesin bisnis bagi industri militer AS. Dampak eskalasi konflik Cina-Taiwan juga diprediksi akan semakin meluas karena keterlibatan AS, termasuk menguatnya skenario perang dunia ke-3. Indikasinya, terlihat dari ketegangan yang kian memuncak akibat gertakan kapal selam nuklir AS di perairan Laut Cina Selatan yang merespon agresi Cina ke wilayah pertahanan udara Taiwan. Ditambah lagi dengan keterlibatan negara-negara AUKUS, seperti Australia yang secara terang-teramg diminta Taiwan untuk membantunya. Andaikan perang benar-benar meletus, imbasnya pasti akan semakin meluas. (mediaumat.id, 9/10/2021)
Dalam konstelasi geopolitik Asia Timur, dinamika relasi AS-Cina kerap dipengaruhi oleh perkembangan isu Taiwan beserta sikap kedua negara adidaya ini terhadap isu tersebut. Cina memiliki kepentingan untuk menyatukan Taiwan dalam wilayah teritorial demi menguatkan tali kekangnya, selalu dihadang oleh berbagai manuver AS. Keduanya saling berebut pengaruh di Taiwan. Taiwan menjadi arena pertarungan abadi bagi dua raksasa global yang sama-sama memiliki kepentingan strategis di Taiwan. Melihat letak geografis stategis Taiwan yang berada di antara Asia Timur dan Asia Tenggara, tak pelak lagi Taiwan akhirnya dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan sekaligus basis ekonomi di Asia bagi AS juga Cina.
Lebih jauh lagi, dampak perseteruan AS-Cina ini juga mempersulit kaum muslimin yang kian terjepit antara dua adidaya tersebut. Sebab, kaum muslimin hari ini bukanlah negara mandiri yang memiliki ekonomi dan militer yang kokoh. Maka, jika kedua belah pihak meminta dukungan, kaum muslimin akan terombang-ambing di antara dua kubu. Alhasil, potensi derivat masalah juga akan mengancam domestik negeri muslim, seperti Indonesia dan Malaysia yang sudah tercengkram kuat dengan berbagai kerjasama, baik AS maupun Cina.
Dunia yang disetir oleh ideologi kapitalis memang selalu menghendaki adanya perebutan kepentingan dan kekuasaan. Asas manfaat dipertontonkan dalam hubungan luar negeri, nyatanya telah memasung kedaulatan negara-negara yang berada di bawah ketiak mereka. Alhasil, superioritas negara adidaya makin menghegemoni dunia dan membuat negara lemah kian bertekuk lutut pada mereka. Lantas bagaimanakah suprasistem Islam dalam menjalin hubungan dengan berbagai negara? Asas apakah yang mendasari hubungan luar negeri dalam Islam?
Berlepas Diri dari Belenggu Negara Adidaya
Di tengah ideologi kufur hari ini, posisi kaum muslim kian berada di ujung tanduk. Umat Islam bagaikan makanan yang siap dilahap kapan saja oleh negara-negara superior. Mereka tak kuasa melawan bahkan melepaskan diri dari jeratan negara kapitalis. Di tengah angkara murka negara predator, umat Islam semakin terpuruk mendekati kehancurannya. Hal ini tidak akan pernah terjadi ketika kaum muslimin memiliki perisai tangguh bernama Khilafah. Khilafah akan menyatukan seluruh negeri-negeri muslim di bawah komando seorang pemimpin bergelar Khalifah yang akan merealisasikan hukum-hukum Islam dan menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Khilafah akan mengikat negeri-negeri muslim dengan ikatan akidah bukan ikatan nasionalis seperti hari ini. Di dalam negeri, Khilafah tak akan membiarkan asing dan aseng menguasai aset-aset strategis. Sehingga, Khilafah bisa menjadi negara yang berdaulat dengan memaksimalkan semua potensi negeri-negeri muslim berdasarkan pengaturan sistem Ilahi. Melepaskan semua belenggu penjajahan yang ditancapkan negara kapitalis di semua lini kehidupan.
Demikian pula, politik luar negeri Khilafah bertujuan untuk menyebarkan syiar Islam ke seluruh dunia. Khilafah melandasi hubungan luar negerinya berdasarkan akidah Islam, baik di bidang ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Penyebaran Islam sebagai prinsip politik luar negeri Khilafah ini sesuai dengan tujuan diutusnya Rasulullah saw. untuk seluruh umat manusia, dalam surah Saba ayat 28, Allah Swt. berfirman, “Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan.”
Sedangkan, negara Barat dalam kiprahnya di dunia internasional hanya bervisi untuk menyebarkan ide-ide sesat mereka, seperti sekularisme, demokrasi, HAM dan sebagainya. Tampilnya kapitalis di panggung internasional adalah sebagai negara penjajah yang mengeruk kekayaan SDA dan memanfaatkan posisi strategis negeri muslim demi melanggengkan hegemoninya.
Selain itu, negara Khilafah akan menjalankan politik luar negerinya dengan dakwah dan juga jihad. Maka, Khilafah akan membekali para mujahid negara pelatihan dan senjata militer yang mumpuni demi merealisasikan tugasnya meratakan dunia dengan syariat Islam. Melumat segala kemungkaran dan keserakahan negara punggawa kapitalis. Sungguh, hanya dalam naungan Khilafah kaum muslimin akan kembali menggelari dirinya sebagai umat terbaik, menjadi mercusuar peradaban yang akan melahirkan keberkahan dari langit dan bumi.
Wallahu a’lam bish shawwab