"Regulasi yang digulirkan pemerintah kerap kali tak menyolusi, malah semakin memberi kelonggaran pada pengusaha untuk mengeruk kekayaan alam negeri. Lihat saja, bagaimana AMDAL kehilangan ‘kesaktiannya’ karena dipangkas dalam draf UU Ciptaker dan UU Minerba yang justru semakin memberi karpet merah pada pengusaha untuk mengeksploitasi lahan produktif. Pun aturan perpajakan berbelit-belit membuat para pelaku tambang seringkali lolos dari jerat pajak."
Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Wacana perubahan iklim tengah menjadi isu seksi yang diperbincangkan di dunia internasional. Bagaimana tidak, eksploitasi kekayaan SDA energi ala kapitalis nyatanya menimbulkan ancaman mengerikan bagi lingkungan. Masifnya pembakaran energi fosil telah menstimulasi emisi gas rumah kaca yang berimbas pada pemanasan global. Demi membenahi masalah tersebut, akhirnya pemerintah menggulirkan pemberlakuan pajak karbon bagi perusahaan batu bara di negeri ini.
Sebagaimana diwartakan dari beritasatu.com (8/10/2021), mulai April tahun depan, sektor PLTU batu bara akan dikenai pajak karbon secara bertahap. Beleid ini termaktub dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah selesai digodok pada Sidang Paripurna hari kamis (7/10). Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), mengungkapkan bahwa mekanisme pajak karbon akan diberlakukan pada batas emisi sesuai cap dan tax dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Program ini merupakan irisan dari roadmap green economy yang disejajarkan dengan carbon trading dalam rangka mengurangi emisi karbon, namun tetap memberi iklim yang nyaman bagi dunia usaha. Adanya regulasi tersebut seolah mempertegas keseriusan pemerintah dalam menangani problem perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan. Pemerintah juga diklaim sebagai pioner pertama pajak karbon di dunia yang berasal dari negara ekonomi baru. Namun, akankah pemberlakuan pajak ini benar-benar dapat merealisasikan target net zero emission? Bagaimanakah cara Islam mengelola SDA melimpah dalam rangka kemaslahatan masyarakat?
Indonesia Bidik Emisi Bersih Tahun 2060
Indonesia termasuk negara yang rawan terhadap perubahan iklim tersebab daerah kepulauan yang melingkupinya. Seiring dengan menguatnya tren perubahan iklim, pada tahun 2016, Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang memuat kesepakatan Nationally Determined Contribution (NDC) dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai target utama pemerintah dalam agenda dan realisasi pembangunan 2020-2024. Dalam manuskrip NDC, Indonesia bertekad untuk meminimalisasi emisi gas rumah kaca (GRK) yang membahayakan lingkungan, dengan persentase 29 persen diatur secara mandiri dan 41 persen melalui bantuan internasional pada 2030. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membidik Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060.
Sebelumnya, Indonesia telah mereformasi agenda kebijakan fiskal dalam rangka percepatan investasi hijau dengan berbagai insentif fiskal, penerbitan green sukuk serta penyusunan Kerangka Kerja Perubahan Iklim yang melibatkan masyarakat dan swasta. Dalam rangka memantapkan perangkat regulasi pengendalian climate change, pemerintah akhirnya menggulirkan kebijakan nilai ekonomi karbon termasuk di dalamnya penetapan pajak karbon yang tertuang dalam UU HPP, terutama bagi perusahaan batu bara.(tirto.id, 13/10/2021)
Adanya pajak karbon ini diklaim akan menstimulasi pertumbuhan pasar karbon, investasi yang rendah karbon dan ramah lingkungan serta inovasi teknologi. Penetapan pajak karbon akan mengutamakan dasar keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan mempertimbangkan iklim usaha dan masyarakat bawah. Selain itu, pemerintah juga memfasilitasi peta jalan pajak karbon dengan dua strategi, yaitu pajak karbon (cap and tax) dan perdagangan karbon (cap and trade). (beritasatu.com, 8/10/2021)
Regulasi Lemah, Masalah Lingkungan Makin Bertambah
Masifnya eksploitasi SDA energi, tak pelak akan berimbas pada kerusakan lingkungan dan juga mengganggu kehidupan masyarakat sekitar. Disampaikan oleh Nur Hidayati selaku Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), industri pertambangan yang ada di Indonesia sering kali tak memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Aktivitas pertambangan justru malah memicu masalah, mulai dari skema perizinan, konflik masyarakat serta kerusakan lingkungan. Bahkan, hingga berakhirnya penambangan masih saja menyisakan ‘dosa-dosa lingkungan’ seperti lubang tambang yang tak kunjung direklamasi. Belum lagi, banyak pengusaha pertambangan yang melanggar dari aturan perpajakan sehingga semakin memperburuk citra industri tambang. (kontan, 3/1/2021)
Dari sini, tampak aktivitas pertambangan merupakan industri yang buruk. Sebab, potensi kerusakan lingkungan dan munculnya berbagai problem yang berasal dari eksploitasi tambang ini, nyatanya berlangsung dari hulu hingga ke hilir. Di samping itu, regulasi yang digulirkan pemerintah kerap kali tak menyolusi, malah semakin memberi kelonggaran pada pengusaha untuk mengeruk kekayaan alam negeri. Lihat saja, bagaimana AMDAL kehilangan ‘kesaktiannya’ karena dipangkas dalam draf UU Ciptaker dan UU Minerba yang justru semakin memberi karpet merah pada pengusaha untuk mengeksploitasi lahan produktif. Pun aturan perpajakan berbelit-belit membuat para pelaku tambang seringkali lolos dari jerat pajak. Maka, adanya pajak karbon bagi perusahaan batu bara belum tentu bisa meminimalisasi emisi gas rumah kaca serta mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Sebab, pada faktanya masih banyak perusahaan yang melakukan penambangan secara ugal-ugalan, tanpa peduli dampak negatif yang ditimbulkan. Ditambah lagi, pengusaha tersebut juga sering mangkir dalam pembayaran pajak dan terus melaju produksinya tanpa peduli terhadap kelestarian lingkungan. Jangan sampai adanya aturan pajak karbon ini, justru malah menambah masalah baru. Alih-alih menyolusi, justru memberi celah adanya penyelewengan kembali.
Kesalahan Fatal pada Sistem Ekonomi Kapitalis
Kerusakan lingkungan dan berbagai masalah yang membuntutinya akan terus terjadi ketika negeri ini masih berada dalam cengkraman sistem kapitalis. Sebab, penguasa dalam sistem ini hanya berdiri sebagai regulator yang memuluskan ambisi korporasi dalam mengeruk kekayaan negeri. Sementara kesejahteraan rakyat sama sekali tak jadi prioritas, mereka hanya diperas tenaganya demi mengamankan bisnis kapitalis. Wajar, hasil kekayaan alam yang melimpah justru mengalir deras ke kantong-kantong para kapitalis, sedangkan rakyat tetap saja sengsara. Karena sebanyak apa pun kekayaan negeri ini, mereka hanya menjadi penonton yang mengais puing-puing ekonomi hasil ketamakan para kapitalis.
Dengan regulasi apa pun para pengusaha tak akan mungkin memperhatikan dampak ekologis di setiap aktivitas penambangan yang dilakukannya. Sebab, tujuan korporasi dalam naungan kapitalisme adalah merealisasikan profit semaksimal mungkin. Adanya lingkungan hanya dijadikan lahan bancakan yang harus dieksploitasi, bukan untuk dilindungi. Maka, keberadaan pajak karbon untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan, tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Karena, kesalahan fatalnya ada pada sistem ekonomi negara yang berlandaskan sistem kapitalistik. Sistem rakus yang tak peduli terhadap sesama, apalagi alam raya.
Pengelolaan Kepemilikan Umum dalam Islam
Selamanya kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat tak akan pernah usai ketika pengelolaan SDA masih dikuasai korporasi. Maka dari itu, butuh ketegasan pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan SDA berlimpah dan strategis dari swasta asing dan aseng. Sehingga, tak akan terjadi eksploitasi SDA yang akan mengundang berbagai ancaman bagi lingkungan dan masyarakat. Pengelolaan seperti ini hanya akan terjadi dalam sistem pemerintahan yang melandaskan aturannya pada akidah Islam, yakni Khilafah.
Khilafah Islam akan mengatur pengelolaan harta kepemilikan umum dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan optimalisasi hasilnya untuk kepentingan masyarakat. Dalam Islam, kekayaan SDA merupakan bagian dari kepemilikan umum. Umat merupakan pemilik yang sah, sementara negara berkewajiban untuk mengelola SDA dengan profesional. Hasil pengelolaannya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi untuk kebutuhan pokok, pendidikan, fasilitas umum dan kesehatan. Haram hukumnya ketika pengelolaan diserahkan kepada segelintir orang. Hal ini merujuk pada hadis Rasulullah saw. yang bersumber dari riwayat Ibnu Majah, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput dan api.”
Mengenai kepemilikan umum ini, berdasarkan HR At-Tirmidzi, diceritakan bahwa Abyadh bin Hammal bermaksud meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk mengelola tambang garam. Kemudian, Rasulullah memperbolehkannya. Namun, beliau saw. ketika itu diingatkan oleh sahabat,“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang telah engkau berikan kepada dia? Sungguh engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.”
Dari hadis tersebut, dibaratkan tambang garam seperti halnya air mengalir. Rasulullah saw. yang semula mengizinkan tambang tersebut dikelola oleh Abyadh, kemudian mengurungkan niatnya ketika mengetahui tambang itu memiliki deposit yang besar. Karena kandungannya yang melimpah, tambang tersebut digolongkan ke dalam kepemilikan umum, sehingga tidak boleh dikelola oleh individu, baik itu swasta lokal maupun asing. Maka, dalam pandangan Islam tambang yang depositnya besar, baik itu garam atau selainnya seperti batu bara, minyak bumi, emas, tembaga, perak dan sebagainya merupakan hak milik umum harus dikelola negara bukan justru dialihkan kepada asing.
Mengenai kerusakan lingkungan, hal ini tidak akan terjadi pada sistem Islam, sebab mekanisme pengelolaan SDA dalam Islam akan dilakukan dengan penuh tanggungjawab, tak akan menimbulkan ancaman mengerikan bagi lingkungan. Landasan ruhiyah akan terpatri ketika mengelola SDA, bukan ruh bisnis seperti kapitalis yang hanya mengejar keuntungan pribadi dengan menafikan segala dampak buruk terhadap lingkungan. Sebab, menjaga kelestarian lingkungan adalah salah satu prioritas Islam dalam pemanfaatan SDA. Dalam surah Al-A’raf ayat 56, Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…”
Dengan mekanisme seperti ini, maka negara Islam akan mengelola SDA secara profesional demi kemaslahatan rakyat dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sementara kapitalis hanya menambah penderitaan rakyat dan menghasilkan kerusakan lingkungan yang tak berkesudahan. Maka, sudah saatnya kita beralih kepada sistem Islam yang terbukti mampu memakmurkan rakyat dengan pengelolaan SDA berdasarkan syariat, sehingga keberkahan dapat terwujud di dalamnya.
Wallahu a’lam bish shawwab[]
Photo : Pinterest