"Keberadaan profesi guru dalam sistem kapitalisme hanya mencetak potret kolektif ketidaksamaan frekuensi antara kemuliaan dengan apresiasi atas jasa pengabdiannya. Sebab, memperjuangkan kesejahteraan atas pengabdiannya berada di tempat yang salah. Tak ayal, perjalanan panjang dan berliku hingga potret suram mewarnai kenestapaan kehidupan sang pelita yang notabene penerang dalam gulita."
Oleh. Witta Saptarini, S.E.
NarasiPost.Com-Sejenak kita hayati sepenggal lirik lagu “Jasamu Guru: Gurulah pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara.” Salah satu lagu anak yang cukup populer di Indonesia. Liriknya menceritakan tentang jasa guru yang tiada tara karena telah mengajarkan kita berbagai bidang ilmu dan membuat kita menjadi pintar. Makna amat dalam juga bisa kita dapati pada lirik lagu "Hymne Guru: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.” Seakan menjadi lagu wajib yang dinyanyikan saat peringatan Hari Guru Nasional.
Kedua lagu ini diciptakan secara khusus untuk para guru yang telah mentransfer ilmu, mencurahkan waktu, dan tenaga untuk mengajar anak didiknya. Sebagai bentuk penghargaan, karena dinilai sangat berjasa untuk pendidikan di Indonesia. Sudah semestinya gelar pahlawan tanpa tanda jasa pantas disematkan. Bahkan, seantero dunia mengakui, banyak quotes yang menggambarkannya sebagai salah satu profesi yang paling mulia. Satu di antaranya, “Teaching is one of the noblest of professions “, (Calvin Coolidge, 30st President of the United States).
Memilukan, fakta pengakuan atas kemuliaan profesinya terkonfirmasi oleh minimnya apresiasi jasa pengabdiannya, khususnya di tanah air tercinta. Kehidupan di bawah garis kemiskinan pun masih banyak di jalani sang pencetak generasi. Hingga kini, kita masih saja disodorkan pemandangan yang mengiris hati, menyaksikan kisah perjuangan para guru honorer demi mendapat pengakuan negara. Meskipun, sebatas status kontrak dan harapan perbaikan nasib. Tak sedikit pula rintangan yang dihadapi turut mewarnai alur cerita seputar pelaksanaan seleksi PPPK yang begitu mengusik nurani (pikiran-rakyat.com, 21/9/2021).
Terbukti, pengangkatan guru honorer dengan program PPPK menegaskan buruknya sistem yang kini diadopsi. Negara tak mampu menyelenggarakan layanan pendidikan bagi rakyat, memfasilitasi pendidikan setara secara kualitatif antara guru dan peserta didik, berkualitas, sistem pembiayaan yang menunjang kebutuhan pendidikan, termasuk dengan penempatan terhormat dan memberi gaji yang layak bagi tenaga pendidik.
Memang, bila kita cermati problematika guru tidaklah melulu honor yang rendah. Tidak semua guru memiliki nasib serupa tergantung jenjang, status serta tunjangan yang menyertai. Tidak dimungkiri, kesejahteraan memang belumlah merata. Bila dilihat dari kacamata sistem saat ini, guru yang dikatakan sudah sejahtera masih belum bisa dikatakan sejahtera yang sesungguhnya. Bahkan, sangatlah jauh dari kata layak untuk mengapresiasi pahlawan tanpa tanda jasa bila dibandingkan pada masa kejayaan peradaban Islam.
Apalagi, problematika guru honorer yang tak kunjung menemui solusi. Ditinjau dari status kepegawaian berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, terkuak sudah peran signifikan mayoritas guru honorer. Saat ini baru 1.607.480 (47,8 persen) guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan 62,2 persen sisanya merupakan guru honorer. Mirisnya, pembiayaan yang buruk jelas menempatkan guru honorer sebagai korban sistem kapitalisme.
Tak sedikit pula pihak yang menyuarakan hati nurani atas nasib guru honorer. Muncul berbagai aspirasi masyarakat yang turut memperjuangkan nilai afirmasi tambahan. Melihat kondisi itu Mendikbudristek Nadiem Makarim berjanji, bahwa beliau akan berjuang dalam upaya penambahan afirmasi yang dinilai layak diperjuangkan bagi guru honorer yang usianya di atas 35 tahun dengan masa kerja bertahun-tahun lamanya. Sekaligus mendapat apresiasi Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda atas Nadiem yang mendukung Komisi X tentang perlunya menambah afirmasi.
Cukupkah dengan afirmasi yang dinilai belum pasti diraih? Mampukah menutup mata dan telinga akan nasib perjuangannya? Afirmasi yang kini diperjuangkan belumlah cukup. Nyatanya, kemuliaan profesinya sebagai bagian bentuk apresiasi yang disematkan pun menjadi serba paradoks di sistem saat ini.
Banyak yang memandang salah esensi kemuliaan profesi guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Ya, tanpa tanda jasa yang kerap disalahartikan. Sering kali terdengar auto kritik datang dari jiwa yang minim empati, ketika jeritan hati para guru menuntut kenaikan upah, tunjangan bahkan pengukuhan status. Dengan narasi seolah pahlawan tanpa tanda jasa tak berhak menuntut apresiasi dalam bentuk riil atas pengabdiannya untuk menunjang kehidupan.
Seperti yang kita pahami afirmasi dan apresiasi adalah hal yang berbeda. Namun, dalam konteks ini memiliki korelasi yang kuat, karena keduanya secara manusiawi patut diperoleh untuk menyinergikan keberlangsungan profesinya yang mulia, sekaligus menjadikannya sumber penghidupan yang layak. Sehingga, diperlukan mindset dan metode sahih untuk memperjuangkan sistem yang benar sebagai wadah di mana apresiasi dan afirmasi akan mewujud sempurna.
Berjuang dalam Sistem Fasad Berbuah Nestapa
Bila dianalogikan dengan prinsip “the right man on the right place." Faktanya, keberadaan profesi guru dalam sistem kapitalisme hanya mencetak potret kolektif ketidaksamaan frekuensi antara kemuliaan dengan apresiasi atas jasa pengabdiannya. Sebab, memperjuangkan kesejahteraan atas pengabdiannya berada di tempat yang salah. Tak ayal, perjalanan panjang dan berliku hingga potret suram mewarnai kenestapaan kehidupan sang pelita yang notabene penerang dalam gulita.
Jelaslah, kondisi ketidaksamaan frekuensi ini disebabkan sistem yang salah menaungi perjalanan perjuangannya menggapai kesejahteraan. Ya, sistem yang menjadi satu-satunya alasan yang kerap menemui jalan buntu dan berbuah nestapa. Selama sistem politik-ekonomi kapitalis yang dijadikan dasar pengambilan kebijakan, maka dukungan pembiayaan pendidikan tidak akan maksimal, karena sistem kapitalis tidak pernah berpihak kepada rakyat.
Tak heran, sistem ini pun terus menciptakan jiwa yang minim empati serta ampuh mematikan nurani. Sungguh, semua kebijakan ala kepemimpinan kapitalistik sangat membingungkan publik dan kerap tak berbuah solusi pasti. Ketidakmampuan kepemimpinan kapitalis mengakhiri perjuangan sang pelita meraih kesejahteraan adalah keniscayaan.
Berjuang dalam Sistem Sahih Berbuah Kemuliaan Dunia dan Akhirat
Semestinya umat sadar dan menjadikan cerminan bahwa nasib umat Islam di bawah dominasi sistem selain Islam, akan jauh dari kemuliaan. Ketika sistem Islam diterapkan dalam konteks negara, karakter pemimpin peduli akan benar-benar muncul bukan sekedar angan belaka. Maka, negara yang berpijak pada asas akidah Islam akan menghasilkan kebijakan selaras dengan fitrah manusia.
Satu-satunya sistem yang akan menempatkan pendidikan sebagai hak dasar publik serta sistem politik ekonomi yang mendukung pembiayaan pendidikan secara maksimal. Fakta sejarah peradaban Islam, mencatat di era kekhalifahan Umar bin Al Khathab, kisaran pendapatan seorang guru 15 dinar setara dengan 33 juta/bulan. Sebuah nominal yang sangat fantastis jika direalisasikan untuk kehidupan saat ini.
Mari kita renungkan, agar perjuangan tak berbuah nestapa, maka perjuangan ini menjadi titik penting menghadapi berbagai problematika. Oleh sebab itu, perjuangan harus ditujukan demi perubahan untuk kembali kepada apa yang Allah tetapkan. Perjuangan akan bernilai pahala, meraih berkah dan berpotensi menjadi penduduk surga. Dengan keimanan dan ketakwaan sebenar-benarnya, yaitu melalui penerapan syariat Islam secara kaffah.
Perjuangkan, wadah yang meniscayakan kesempurnaan hidup. Sehingga, sang pelita akan bersinar dengan cahaya Islam dan siap mencetak generasi Islam cemerlang. Kemuliaan pun akan menghiasi akhlak yang terpancar atas ilmu yang dimiliki. Maka, sistem pendidikan dengan metode dan kurikulum berbasis akidah Islam serta didukung oleh sistem politik ekonomi Islam mampu mewujudkan kesempurnaan hidup. Berpaling dari sistem Islam hanya akan membawa nestapa. Tidak bernaung di bawah ideologi yang sahih adalah satu-satunya alasan terpuruknya kondisi dunia Islam.
Ketahuilah, menurut Imam Al Mawardi “Sesungguhnya ilmu adalah kemuliaan yang paling dicari oleh orang yang mencari kemuliaan.” Karena dengan ilmu kemuliaan-kemuliaan yang lain akan didapatkan. Ilmu akan tampak pada orang yang memilikinya dan menjadi cahaya baginya bila diamalkan. Orang yang memiliki ilmu akan dimuliakan kedudukannya dan diangkat derajatnya oleh Allah Swt. Oleh karena itu wahai pelita, ilmu akan berdaya jika dikaitkan dengan tujuan perubahan.
Maka, seorang guru hendaknya menyertai kemuliaan ilmu yang dimiliki dengan iman yang tinggi. Tidak diam pada perkara yang dimuliakan, kecuali orang itu memiliki himmah (tekad) yang rendah. Karena, hanya orang yang memiliki himmah yang tinggi sanggup melakukan perkara-perkara yang mulia. Bila perjuangan sang pelita sudah 'on the track' dalam arti berjuang dengan metode yang sahih sesuai yang dicontohkan Rasulullah saw., maka istikamahlah.
Berdakwahlah dengan ikhlas dan benar, jadikan kemuliaan profesi sebagai momentum mengedukasi umat. Sebab, harapan perubahan itu ada di tangan umat terbaik yaitu umat Islam. Jiwa yang mulia hanya rida dengan kemuliaan. Maka, orang yang memiliki iman yang tinggi jiwanya tunduk patuh, dia tetap mendapat bimbingan dan senantiasa memenuhi panggilan Rabb-nya dari pancaran cahaya akal yang diisi kemuliaan. Dikutip dari kitab ‘Shalahu Al-Ummah Fi Uluwwi Al Himmah’ Sayyidina Umar mengatakan “Kalian harus berpegang teguh pada perkara-perkara yang tinggi dan mulia.”
Wallahu a’lam Bish Shawwab[]
MasyaAllah keren mba witta, putri juga calon guru jadi cemas dengan gaji guru yang kecil, rata2 pun temen putri calon guru juga jadi gak berminat jadi guru dan nyari profesi lain walau lulusan pendidikan
Jazaakillah Mba Putri , masih calon kan ? Tenaang, sambil melayakkan diri sbg guru di era Kekhilafahan yg gak lama lg tegak...optimis Aamiin
wuih keren, masyaAllah