"Semestinya mengangkat guru honorer tidak lagi berdasarkan kontrak. Apalagi, melalui seleksi dengan sistem ujian online yang berbelit-belit. Selain menyulitkan bagi guru yang tak muda lagi, hal ini juga menegaskan PPPK merupakan kebijakan perhitungan."
Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sungguh nahas nasib guru honorer di negeri ini. Pengabdian selama puluhan tahun, tak serta merta membuat mereka hidup sejahtera. Jangankan untuk hidup layak, honor yang terima saja selalu tekor. Bahkan, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup pun, harus ditentukan oleh lolos tidaknya tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hal ini seolah menegaskan buruknya sistem hari ini dalam melayani fasilitas pendidikan bagi rakyat, termasuk memosisikan pendidik dalam keadaan terhormat dan hidup layak.
Dilansir dari detik.com (19/9/2021), pemerintah memutuskan melakukan pengangkatan guru honorer dengan program PPPK dengan kuota sebanyak 1.002.616 formasi. Guru honorer yang dinyatakan lulus akan memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan level jabatan seperti halnya PNS. Dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK dijabarkan terkait besaran gaji dan tunjangan bagi guru PPPK. Gaji terendah berada di kisaran Rp1,7 juta dan gaji tertinggi berkisar Rp6,7 juta. Selain itu mereka juga akan memperoleh tunjangan keluarga, tunjangan jabatan struktural, tunjangan pangan, tunjangan jabatan fungsional serta tunjangan lainnya. Pengangkatan ini bukan berdasarkan masa pengabdian seorang guru, melainkan dilakukan melalui sejumlah tes. Sehingga, yang berhak menerima gaji PPPK adalah yang berhasil lolos dari tes tersebut.
Sekilas, adanya program ini seolah menunjukkan apresiasi pemerintah terhadap nasib guru honorer yang selama ini terkatung-katung tak terurus. Tak heran, raut kebahagiaan pun terpancar di mata mereka manakala secercah harapan itu mulai terlihat. Banyak dari mereka akhirnya menggantungkan harapan perbaikan hidup pada tes PPPK ini. Namun, bagaimanakah sebenarnya potret kehidupan guru honorer di negeri ini? Apakah PPPK akan menuntaskan permasalahan kesejahteraan guru honorer?
Dilema Guru Honorer
Rasanya sudah terlalu lama guru honorer dininabobokan dengan jargon pahlawan tanpa tanda jasa. Kenyataannya, hidup mereka sungguh memprihatinkan. Walaupun pengabdian mereka sudah belasan bahkan berpuluh tahun, namun gaji yang mereka terima masih jauh dari kata layak. Padahal, tugas dan tanggungjawabnya sama seperti guru PNS. Sayangnya, mereka seolah dianaktirikan hanya karena belum mendapat status pegawai pemerintah. Satu-satunya alasan mereka tetap bertahan menjadi guru adalah karena kecintaan mereka terhadap profesi ini. Meskipun tak jarang untuk sekadar menyambung hidup, mereka harus terpaksa rangkap jabatan menjadi buruh harian lepas.
Pengamat Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, mengungkapkan problematika guru honorer dipicu oleh ketiadaan grand design pemerintah tentang guru. Dalam UU ASN, UU Guru dan Dosen, hanya ada guru ASN dan guru Yayasan. Sementara guru honorer tidak ada. Guru ASN sendiri ada yang berstatus PNS dan PPPK. Pengangkatan guru berlabel honorer ini diakibatkan oleh kelalaian pemerintah yang tak segera mengangkat guru menjadi ASN ketika banyak guru yang pensiun. Sementara dalam penggajiannya guru honorer hanya menggantungkan pada anggaran dana BOS yang ala kadarnya, sehingga, hal ini berujung pada ketidaklayakan gaji guru honorer. Kondisi inilah yang dikhawatirkan akan menimbulkan bom waktu.
Maka dari itu, untuk mengatasi masalah kekurangan guru, kesejahteraan serta perlindungan kerja guru honorer akhirnya pemerintah melalui Kemendikbud menyelenggarakan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dengan target merekrut satu juta guru tanpa mempertimbangkan batas usia dan lamanya bekerja. Guru honorer yang diperkenankan mendaftar, yakni mereka yang terdaftar di Dapodik serta lulusan pendidikan profesi guru (PPG) yang tidak mengajar. Kesempatan yang diberikan untuk ujian seleksi ini sebanyak tiga kali. Selain itu, Kemendikbud juga memfasilitasi materi pembelajaran online dan negara juga akan menanggung seluruh biaya penyelenggaraan program ini. (bbc.com, 21/2/2021)
Kebijakan Perhitungan, Memupus Harapan
Menanggapi proses seleksi guru honorer menjadi PPPK ini, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Irwan Fecho, mengungkapkan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK semestinya diberlakukan berdasarkan masa pengabdian seorang guru honorer. Dirinya berpendapat, guru yang telah lama masa pengabdiannya, akan kesulitan untuk bersaing dengan guru yang baru sebentar pengabdiannya ketika harus melakukan seleksi. Guru honorer yang sudah mengabdi sejak lama dan mengajar di pelosok daerah, seharusnya menjadi fokus pemerintah untuk melakukan pengangkatan secara langsung menjadi PPPK tanpa proses seleksi. (sindonews.com, 19/9/2021)
Apalagi saat ini guru honorer memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, mayoritas guru yang mengajar saat ini adalah guru honorer. Guru berstatus PNS hanya sejumlah 1.607.480 (47,8 persen), sementara sebanyak 62,2 persen sisanya adalah guru honorer. Selain itu, berdasarkan data Kemendikbud ada sebanyak 72.976 guru yang pensiun pada tahun 2020. Dengan angka tersebut, kebutuhan guru diprediksi mencapai 1.020.921 orang. Kemudian, pada 2024 kebutuhan guru ditaksir mencapai 1.312.759 orang.
Jika memang pemerintah berniat untuk mengatasi kekurangan guru dan menyejahterakan guru honorer, bukankah seharusnya guru honorer bisa langsung diangkat menjadi PPPK? Toh, mereka juga sudah memiliki banyak pengalaman, terlalu naif rasanya jika dikatakan kompetensinya kurang hanya karena tak lolos seleksi. Jika pun masih ada kekurangan dalam pengajaran, bukankah guru tersebut bisa diberikan pelatihan yang dapat meng-upgrade kompetensinya? Terlebih kebutuhan guru saat ini begitu tinggi. Semestinya mengangkat guru honorer tidak lagi berdasarkan kontrak. Apalagi, melalui seleksi dengan sistem ujian online yang berbelit-belit. Selain menyulitkan bagi guru yang tak muda lagi, hal ini juga menegaskan PPPK merupakan kebijakan perhitungan. Padahal, meskipun tidak lolos seleksi bisa dipastikan mereka telah melahirkan siswa berprestasi nan membanggakan.
Jangan sampai kebijakan ini hanya angin segar sesaat, yang pada faktanya jauh dari harapan. Alih-alih menyejahterakan justru memupus harapan guru hononer untuk mendapat kehidupan lebih baik, hanya karena tidak mencapai nilai passing grade. Mereka pun harus kembali menelan pil pahit, karena impian kesejahteraan nyatanya hanyalah pepesan kosong belaka.
Pendidikan Hilang Arah di Sistem Salah
Problematika yang mengiringi pengangkatan guru honorer menjadi PPPK semakin menegaskan buruknya sistem kapitalis dalam menyediakan layanan pendidikan bagi rakyat. Negara tak mampu memfasilitasi pendidikan dengan jumlah guru yang mumpuni dan berkualitas serta membiayai kebutuhan pendidikan, termasuk dengan menempatkannya secara terhormat dan menggaji pendidik secara layak. Negara seolah tak menganggap pendidikan sebagai investasi masa depan generasi yang butuh untuk diprioritaskan. Gambaran pendidikan untuk mencetak generasi pun seolah hilang arah. Wajar, ketika pemerintah tampak setengah hati dalam memperbaiki nasib guru honorer.
Sungguh, penerapan kapitalis sekuler hari ini telah menyebabkan kondisi pendidikan kian terpuruk. Perampokan SDA yang ditopang oleh pilar kebebasan di dalamnya membuat negeri ini tak mampu menyejahterakan rakyat termasuk para guru di dalamnya. Semua problem pendidikan seolah sengaja dibiarkan berlarut-larut. Lihatlah, bagaimana anggaran pendidikan fantastis namun nyatanya hanya secuil yang telah tersalurkan, sedangkan sebagian besarnya masih mengendap tak tersentuh. Mirisnya, semua itu masih kalah jauh jika dibandingkan dengan anggaran fantastis yang digelontorkan untuk proyek infrastruktur demi melanggengkan kekuasaan. Maka dari itu, selama sistem kapitalis masih diterapkan di negeri ini, dapat dipastikan nasib guru honorer tak akan pernah berubah. Jangankan untuk sejahtera, yang ada hanya memperpanjang bait-bait nestapa.
Perhatian Khilafah Terhadap Pendidikan
Berkebalikan dengan sistem Khilafah yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar publik serta memiliki sistem politik-ekonomi yang mendukung pembiayaan pendidikan secara maksimal. Sehingga, negara Khilafah akan memprioritaskan pelayanan pendidikan dan menyiapkan semua fasilitas dengan baik demi mewujudkan hasil pendidikan sesuai dengan target. Negara akan menyediakan infrastruktur sekolah yang mumpuni secara merata, merekrut tenaga pengajar profesional dan berkualitas, memberikan gaji yang layak bagi para pendidik, menyediakan perangkat kurikulum berbasis akidah Islam, serta akses pelayanan pendidikan diberikan dengan mudah bahkan gratis bagi seluruh rakyat.
Semua anggaran pendidikan negara Khilafah diambil dari kas Baitul Mal, yakni dari pemasukan fa’i dan kharaj serta pos kepemilikan umum, yang kesemuanya boleh digunakan untuk pembiayaan sektor pendidikan. Sehingga, negara tidak akan memungut biaya pendidikan dari rakyat. Pengaturan inilah yang menjadikan Khilafah mampu menyediakan tenaga pengajar yang memadai serta menjamin kesejahteraannya sebagai abdi negara. Semua guru dijamin oleh Khilafah, sehingga tidak memerlukan adanya guru honorer. Negara Khilafah juga memberikan apresiasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan. Hal ini karena Khilafah sangat memahami bahwa pembangunan manusia yang berkualitas diawali dengan sistem pendidikan yang unggul.
Dalam sejarah peradaban Islam dapat kita saksikan betapa besarnya perhatian Khilafah terhadap pendidikan, dalam hal penetapan gaji guru misalnya. Pada masa Khalifah Umar bin Khatab r.a, beliau pernah memberikan gaji kepada pendidik anak-anak di Madinah sebesar 15 dinar (sekitar 51 juta) setiap bulannya. Tunjangan pendidikan yang tinggi juga pernah tercatat pada masa Daulah Abbasiyah. Ketika itu, seorang guru bernama Zujaj pernah mendapat gaji sebesar 200 dinar. Sedangkan Ibnu Duraid diberikan gaji sebesar 50 dinar per bulan. Dengan penerimaan gaji yang begitu tinggi, para pendidik tidak akan lagi disibukkan dengan mencari pekerjaan sampingan seperti halnya guru honorer hari ini. Mereka akan fokus mendidik anak-anak umat untuk mencetak generasi unggul demi membangun peradaban yang mulia. Ketika Islam diterapkan dalam seluruh sendi kehidupan, maka akan dapat menjamin seluruh pelayanan pendidikan. Hanya negara Khilafah yang dapat menyejahterakan guru. Sementara sistem kapitalisme hanya memberikan angan-angan kesejahteraan yang tak akan pernah terwujud sampai kapan pun.
Wallahu a’lam bish shawwab[]