Kemenangan Geert Wilders dikhawatirkan akan meningkatkan islamofobia di Belanda.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Riak Literasi)
NarasiPost.Com-Kabar mengejutkan datang dari negeri kincir angin. Geert Wilders, politisi kontroversial karena telah menghina Rasulullah saw. itu memenangkan pemilu di sana. Partij voor de Vrijheid (PVV) atau Partai untuk Kebebasan yang dipimpinnya berhasil meraup 37 dari 150 suara di majelis rendah parlemen.
Wilders berhasil menang tipis dari partai sayap kiri pimpinan Frans Timmermans yang mendapatkan 25 suara. Agar dapat membentuk pemerintahan, Wilders harus membentuk koalisi dengan partai lain. Ia menargetkan 76 kursi di parlemen dari total 150 kursi. (bbc.com, 23/11/2023)
Anti-Islam
Geert Wilders lahir di Venlo, Belanda pada tahun 1963. Antropolog Belanda, Lizzy van Leeuwen menjelaskan bahwa Wilders mempunyai darah campuran Belanda dan Indonesia. Kakeknya bernama Johan Ording. Ia lahir di Utrecht, Belanda dan bekerja di Hindia Belanda selama belasan tahun. Kemudian, sang kakek menikah dengan seorang perempuan keturunan Indo bernama Johanna atau Annie Meijer.
Menurut Satrio Dwicahyo, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, keluarga Wilders menerapkan cara hidup Indisch (indis) atau budaya Eropa tropis. Yakni, budaya yang terbentuk dari penggabungan antara budaya Belanda dengan Indonesia, khususnya budaya Jawa. Budaya ini terbentuk karena saking lamanya mereka tinggal di Hindia Belanda sehingga hampir tidak mengenal Belanda sebagai tanah air mereka.
Orang-orang yang memiliki darah campuran seperti Wilders, disebut sebagai orang Indo. Mereka diusir dari Hindia Belanda dan kembali ke Belanda. Sayangnya, mereka tidak sepenuhnya diterima sepenuhnya oleh orang-orang Belanda totok. Agar keberadaan mereka diterima, mereka berusaha untuk lebih Belanda dari orang Belanda.
Antropolog politik, Prof. dr. Nico G. Schulte Nordolt yang menjadi pengajar di Universitas Twente pun menyatakan hal yang sama. Pada tahun 70-an, saat Wilders tumbuh dewasa, ia merasakan perlakuan diskriminatif. Sebagaimana orang-orang Indo lainnya, ia pun memiliki haluan politik ekstrem kanan, ideologi fasisme, dan ultranasionalisme. Ia ingin menunjukkan dirinya sebagai orang kulit putih. Ia juga berusaha untuk menghapus jejaknya sebagai orang Indo, salah satunya adalah dengan mengecat warna rambut cokelatnya menjadi putih. (bbc.com, 25/11/2023)
Geert Wilders adalah politisi yang terkenal dengan kebenciannya terhadap Islam. Hal itu dikatakannya secara terus terang. Ia menyatakan bahwa ia membenci Islam, bukan orang Islam. Ia menyatakan bahwa Islam adalah agama yang terbelakang.
Kebenciannya pun ditampakkan dalam berbagai cara. Misalnya, ia pernah memerintahkan kepada umat Islam untuk menyobek sebagian Al-Qur'an karena isinya dia anggap berisi hal-hal yang buruk. Ia juga pernah membuat film berjudul Fitna yang menghina Islam. Ia juga akan menutup pintu bagi imigran, terutama dari Timur Tengah dan memulangkan para pencari suaka dari Suriah. Wilders juga akan melakukan deislamisasi dengan cara menutup masjid, melarang Al-Qur'an, dan menutup sekolah Islam. Di samping itu, pemakaian jilbab akan dilarang di kantor serta gedung pemerintah.
Kemenangan Geert Wilders dikhawatirkan akan meningkatkan islamofobia di Belanda. Umat Islam di sana merasa sangat khawatir dengan masa depan mereka. Meskipun Wilders menyatakan bahwa ia akan menjadi pemimpin bagi semua, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Islamofobia di Eropa
Selama ini, islamofobia telah terjadi di negara-negara Eropa. Open Society Foundation menggambarkan islamofobia sebagai tindakan permusuhan, kebencian, serta ketakutan yang irasional terhadap kaum muslim serta budaya Islam. Hal ini diwujudkan dengan cara melakukan diskriminasi terhadap individu maupun kelompok.
Ada beberapa bentuk islamofobia di Eropa. Pada tahun 2009, Swiss melarang adanya menara masjid. Meskipun Human Rights Watch menyatakan hal ini sebagai bentuk intoleransi, Swiss tidak peduli. Bahkan, negara-negara Eropa lainnya membela keputusan ini.
Berikutnya, Belgia melarang burkak pada tahun 2011. Larangan ini diikuti oleh 12 negara Eropa lainnya, di antaranya adalah Swiss, Jerman, dan Prancis. Pada tahun 2021, Prancis mengesahkan RUU Separatisme. Sebanyak 89 masjid diawasi dan diperiksa. Kemudian, 20 masjid ditutup dengan alasan menyebarkan radikalisme.
Berdasarkan survei dari Open Society Foundation, 33% muslim di Eropa mengalami diskriminasi dan 27% mengalami kejahatan rasis. Di samping itu, sejak tahun 2014 telah terjadi serangan terhadap 800 masjid di Jerman. Sedangkan 42% masjid di Inggris juga mendapat serangan pada tahun 2022.
Semua fakta itu menunjukkan Islamofobia di Eropa. Padahal, para pemimpinnya menyerukan toleransi. Namun, hal itu tidak berlaku bagi kaum muslim. Mereka menginginkan kaum muslim di Eropa berubah menjadi muslim versi Eropa. (kumparan.com, 28/07/2023)
Sikap islamofobia lahir dari kekhawatiran akan bangkitnya Islam politik di sana. Hal ini akan sangat membahayakan eksistensi mereka. Padahal, jika Islam diterapkan secara kaffah, mereka akan mendapatkan kebaikan. Sebab, Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Anbiya [21]: 107.
وَمآ أرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Artinya: "Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Pentingnya Junnah bagi Umat Islam
Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa kaum muslim membutuhkan pelindung. Setelah runtuhnya kekuasaan Turki Usmani yang merupakan kekhilafahan terakhir, umat Islam bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mereka mendapatkan kezaliman dari para pembenci Islam. Tidak ada lagi yang memedulikan nasib mereka.
Demikian pula, saat ada yang menghina Islam, Rasulullah saw., atau melecehkan Al-Qur'an, umat Islam tidak mampu berbuat apa-apa. Jika pun ada yang mendapatkan hukuman, hal itu belum membuat jera atau mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama. Terlebih, jika pelakunya tinggal di negara yang mendukung aksi-aksi mereka.
Berbeda sekali dengan kondisi ketika ada sistem Islam. Seperti yang terjadi ketika Sultan Abdul Hamid II berkuasa. Saat itu, di Prancis hendak diadakan pementasan teater karya Voltaire yang berisi penghinaan terhadap Rasulullah saw. Sultan Abdul Hamid II kemudian memerintahkan kepada pemerintah Prancis untuk membatalkan pementasan drama tersebut. Perintah yang disampaikan kepada duta besar Prancis itu juga disertai ancaman berupa konsekuensi politik jika pementasan itu tetap dilanjutkan.
Gagal di Prancis, teater itu hendak dipentaskan di Inggris. Sultan Abdul Hamid II pun meminta Inggris untuk membatalkannya. Awalnya Inggris menolak hal itu dengan alasan tiket pementasan telah dijual. Di samping itu, hal tersebut dianggap sebagai bentuk kebebasan. Namun, setelah Sultan Abdul Hamid II mengatakan bahwa ia akan menyerukan jihad kepada Inggris karena telah menghina Rasulullah saw., Inggris serta-merta membatalkan pementasan teater tersebut.
Inilah pentingnya sistem Islam yang kuat. Sistem yang kekuatannya membuat gentar musuh-musuh Allah Swt. Sistem yang akan menjaga kemuliaan Islam dan Rasulullah saw. dari berbagai pelecehan. Dengan demikian, tidak ada lagi orang-orang seperti Geert Wilders yang berani menghinakan Rasulullah saw. atau ajaran Islam.
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab. []
Miris yaa, ternyata 33% muslim di Eropa mengalami diskriminasi dan 27% mengalami kejahatan rasis. Semoga Allah Swt membuka wajah-wajah kemunafikan musuh-musuh Islam yang zalim ini.
Keren tulisannya Mbak.
Memang orang ini dari zaman lalu sudah bwnci sekali dengan Islam. Namun, semoga ia malah log in.
Islamofobia memang menjadi anak emas Dalam sistem kapitalisme. Adanya kebebasan yang digagas HAM tidak berlaku untuk Islam. Naudzubillah
Betul, mereka selalu menggunakan standar ganda ketika berhadapan dengan umat Islam.
Islamofobia di Barat memang sudah sangat mengkhawatirkan. Apalagi ditambah dengan propaganda media Barat yang mencitaburukkan Islam. Omong kosonglah namanya kebebasan di bawah demokrasi. Kebebasan hanya untuk pemuja demokrasi sekuler, tidak untuk Islam.
Sayangnya umat Islam masih banyak yang memuja-muja sistem ini.