”Namun, sebenarnya alur tatanan ekonomi kapitalisme yang menjadi basis utama pemicu krisis dan resesi, sebab penggeraknya bertumpu pada sektor nonriil, seperti ULN berbasis ribawi, bunga, spekulasi (perjudian), dan uang kertas.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Negara Bangladesh memiliki jumlah penduduk muslim terbanyak, yakni 90,1% dari total populasinya, dan sempat mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Namun, beberapa bulan terakhir, harga energi bahan bakar dan makanan mengalami inflasi. Pembayaran tagihan impor memaksa pemerintah untuk mencari pinjaman dari agensi global dan terpaksa menaikkan harga BBM. Hal ini sangat berdampak pada masyarakat akibat harga semua jenis kebutuhan pokok meningkat.
Akibatnya, ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan menyerukan pembubaran parlemen, dan menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina, di Dhaka, Bangladesh. Unjuk rasa ini digelar oleh BNP (Partai Nasionalis Bangladesh) yang menuduh Hasina gagal mengatasi kenaikan harga bahan bakar, dan menyerukan agar segera digelar pemilihan baru. (CNN Indonesia, 12/12/2022)
Tampaknya, negara di bawah sistem kapitalisme menyebabkan beban ekonomi yang ditanggung rakyat kian terasa berat. Menanggapi hal ini, masih layakkah negeri-negeri muslim untuk mempertahankan sistem kapitalisme yang terbukti rapuh? Apakah sistem pemerintahan Islam mampu menjadi alternatif terbaik untuk menggantikan ekonomi kapitalisme yang telah terbukti menciptakan inflasi bahkan resesi?
Bangladesh Terancam Resesi
Di tengah perekonomian yang tertatih dan berupaya untuk kembali pulih akibat pandemi, membuat pemerintah Bangladesh dalam kurun waktu 9 bulan ini, sudah dua kali menaikkan harga BBM. Para ekonom menilai bahwa kenaikan BBM 50% akan menyusahkan masyarakat miskin, karena semakin meningkatkan pengeluaran mereka. Sebab, harga BBM yang mahal akan menyebabkan ongkos transportasi meningkat tajam, dan berimbas pada mahalnya kebutuhan pokok lainnya.
Bangladesh diperkirakan akan mengalami resesi karena hanya bergantung pada satu barang ekspor tunggal yaitu pakaian jadi, dan pengiriman uang dari para pekerja asing berpenghasilan rendah. Selain itu, para kapitalis yang rakus akan memanfaatkan krisis ini untuk meminjam dana dari lembaga keuangan internasional dan menyalahgunakannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam sistem kapitalisme rawan terjadi tindakan korupsi. Utang hanya digunakan pada proyek-proyek di bidang infrastruktur, meskipun terkadang tidak terlalu dibutuhkan rakyat, bahkan tidak menyentuh hajat hidup rakyat banyak. Akibatnya, bantuan keuangan tidak akan menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan.
Bangladesh Terjadi Krisis Listrik
Berawal dari pasokan energi yang langka akibat pandemi dan diperparah oleh konflik Rusia-Ukraina. Sebab, kedua negara tersebut adalah pemasok komoditas energi dan pangan besar dunia. Akibatnya, ketika pasokan dari kedua negara tersebut mengalami gangguan, dampaknya langsung dirasakan oleh negara-negara di seluruh dunia, termasuk Bangladesh.
Alhasil, beberapa bulan terakhir, Bangladesh dikabarkan mengalami krisis listrik akibat tidak mampu mengimpor bahan bakar fosil yang cukup. Hal ini dipicu akibat harga energi yang melambung, dan diperparah dengan mata uang yang melemah, serta akibat cadangan devisa yang makin menipis. Demi menghemat energi, pemerintah terpaksa memangkas penggunaan listrik dengan menutup pembangkit listrik diesel, dan membiarkan beberapa pembangkit listrik tenaga gas menganggur.
Setidaknya lebih dari 80% wilayah Bangladesh mengalami pemadaman listrik, dimulai pukul 14.00 hingga pukul 20.00, di kota Dhaka (4/10/2022). Sebelumnya, pada November 2014, pernah terjadi pemadaman listrik sekitar 70% wilayah Bangladesh, selama hampir 10 jam. (CNN Indonesia, 4/10/2022)
Mengapa Resesi Terus Berulang dalam Sistem Kapitalisme?
Resesi merupakan bagian integral dan tidak bisa dipisahkan dalam sistem kapitalisme. Berdasarkan textbook Pengantar Ilmu Ekonomi, suatu negara penganut sistem ekonomi kapitalisme akan mengikuti suatu pola yang disebut siklus ekonomi. Siklus ini dimulai dari ekspansi ekonomi, lalu mencapai puncaknya, kemudian menurun dan mengalami resesi, setelah itu kembali berekspansi lagi, dan begitu seterusnya. Di mana yang berbeda hanya durasi masing-masing siklus pada setiap negara.
Berdasarkan laporan World Bank edisi Juni 2022, dalam Global Economic Prospects menyatakan bahwa sejak 1970, telah terjadi krisis keuangan sebanyak 417 kali di negara dan pasar berkembang. Sedangkan, di negara-negara Eropa yang notabene sebagai negara maju, sejak 1973, telah terjadi krisis keuangan sebanyak 51 kali.
Pada umumnya resesi disebabkan oleh peristiwa eksternal, misalnya kenaikan harga minyak, akibat pandemi, dan resesi yang ditimbulkan oleh peperangan. Namun, sebenarnya alur tatanan ekonomi kapitalisme yang menjadi basis utama pemicu krisis dan resesi, sebab penggeraknya bertumpu pada sektor nonriil, seperti ULN berbasis ribawi, bunga, spekulasi (perjudian), dan uang kertas.
Realitasnya, mata uang kertas sangat rawan mengalami pelemahan nilai tukar karena nilainya yang terus melemah dari waktu ke waktu. Sebab, setiap kenaikan suku bunga dolar AS akan memengaruhi mata uang negara berkembang, termasuk Bangladesh. Kondisi inilah yang mengakibatkan beban ULN akan semakin berat karena pembayaran utang dengan dolar jauh lebih besar nilainya.
Berbahayanya lagi, paradigma kapitalis menganggap ULN sebagai satu-satunya cara untuk membangkitkan dan memulihkan ekonomi. Akibatnya, negara-negara berkembang akan terus disuntik dengan utang agar dapat bertumbuh kembali, mencapai puncak, kemudian akan jatuh lagi. Demikian seterusnya, hingga skala utangnya semakin besar, dan kemudian periode kejatuhannya akan semakin cepat juga.
Terakhir, krisis energi dan pangan disebabkan oleh ego nasionalisme. Ide nasionalisme yang tumbuh subur menyebabkan manusia berkumpul dan berperang untuk sekadar mempertahankan teritorial. Akibatnya, kerja sama ekspor-impor dilakukan hanya sekadar untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, dan bukan karena kepedulian terhadap kondisi hidup manusia. Selain itu, paham nasionalisme menyebabkan negeri-negeri muslim menjadi terpecah, dan akan memudahkan para penjajah untuk menguasai SDA milik mereka.
Kekuatan Energi dan Pangan Dunia Islam
Ketidakmampuan dan ketergantungan suatu negara untuk mencapai kemandirian energi dan pangan merupakan bentuk kelemahan sistem kapitalisme. Padahal, berharap pada impor energi dan pangan bukanlah pilihan yang bijak untuk suatu negara yang ingin tumbuh kuat dan mandiri. Sudah sepatutnya negeri-negeri muslim mengukur kemampuan, dan berusaha menggagas kemandirian pangan maupun energi.
Dalam sistem pemerintahan Islam, membangun kemandirian energi dan pangan merupakan persoalan mendasar, sebab hal ini merupakan pilar negara. Bukankah secara alamiah negeri-negeri muslim merupakan negeri yang kaya dan memiliki ketersediaan energi dan pangan dalam jumlah yang cukup. Misalnya, Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan Uni Emirat Arab merupakan negara penghasil minyak terbesar. Di mana cadangan gas mereka sebesar 117 triliun meter kubik, dengan produksi per tahun sekitar 1,3 triliun meter kubik atau setara 8,8 miliar barel.
Adapun negeri-negeri muslim dengan penghasil pangan terbesar adalah Indonesia, Pakistan, Turki, Iran, dan Mesir. Di mana masing-masing negara memiliki ketersediaan pangan bervariasi seperti daging unggas, ikan, atau protein nabati pengganti daging seperti tahu dan tempe.
Berdasarkan realitas tersebut, sebenarnya negeri-negeri muslim tidak butuh negara kafir dalam hal energi dan pangan, serta tidak sepatutnya menjadi negara yang miskin akibat kekurangan energi dan pangan.
Sistem Pemerintahan Islam Anti Resesi
Sistem pemerintahan Islam memiliki cara jitu dan unik untuk mewujudkan suatu negara menjadi anti kritis dan independen. Implementasi sistem pemerintahan Islam secara totalitas akan menjadi negara auto mandiri.
Pertama, sistem pemerintahan Islam bertujuan untuk memanusiakan manusia. Sehingga, politik ekonomi Islam bertujuan untuk menjamin pemenuhan semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) setiap orang, serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing individu.
Kegiatan ekspor dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan umat secara keseluruhan, demi memastikan ketersediaan energi dan pangan tersedia dalam jumlah cukup. Untuk merealisasikan hal ini, negara melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pangan dan energi dengan mengembangkan SDM, serta mendukung penelitian teknologi dan pengembangan industri, sehingga semua kebutuhan rakyat dapat dipenuhi tanpa bergantung pada impor.
Kedua, pengaturan kepemilikan. Dalam sistem pemerintahan Islam, konsep kepemilikan dibagi menjadi tiga, yakni milik pribadi, milik umum, dan milik negara. Energi masuk dalam kategori milik umum, sedangkan bisnis pangan masuk dalam kategori milik individu.
Terhadap kepemilikan individu, pemerintah hanya memastikan agar tidak terjadi distorsi pasar, dan negara akan menghukum pebisnis yang curang dan zalim akibat melakukan penimbunan terhadap produk pangan.
Terkait energi, misalnya listrik, Islam memandang hukum asalnya adalah milik umat. Artinya, produk energi bukanlah barang yang boleh diperdagangkan, melainkan harus dinikmati oleh masyarakat dengan harga yang murah dan mudah. Negara akan menolak segala bentuk penguasaan korporasi terhadap sektor energi dan tidak akan pernah mengizinkan perusahaan swasta menguasai apalagi swasta asing. Sektor energi akan diambil alih sepenuhnya oleh negara dan hasilnya diberikan seluruhnya kepada masyarakat. Selain itu, negara berupaya mengembangkan teknologi untuk menghasilkan sumber-sumber energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan.
Tidak seperti sistem kapitalisme yang melegalkan privatisasi SDA, sehingga perputaran kekayaan hanya dinikmati segelintir orang. Sebaliknya, Islam melarang perputaran kekayaan semacam itu dan mewajibkan perputaran terjadi di antara semua rakyat, sebagaimana dalam surah Al-Hasyr ayat 7, Allah Swt. berfirman, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Ketiga, menggunakan mata uang emas dan perak karena memiliki nilai tukar yang stabil dan tahan terhadap inflasi, serta membuat dominasi dolar Amerika akan tergeser.
Keempat, menggunakan pasar yang berbasis sektor riil. Islam memandang bahwa kegiatan ekonomi hanya terdapat dalam sektor riil seperti industri, pertanian, jasa dan perdagangan. Yang kemudian sektor-sektor ini akan didorong untuk berkembang maju.
Namun, harus disadari bahwa penerapan SEI secara kaffah membutuhkan sistem politik Islam yang menaunginya, yakni Khilafah. Menerapkan syariat Islam kaffah adalah sebuah kewajiban, sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 208, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.”
Demikianlah gambaran singkat SEI dalam Khilafah. Di mana negara akan mengelola dan membangun ekonomi yang anti krisis dan berkeadilan, serta mendorong untuk mewujudkan ekonomi yang berkah, berkembang, dan berkelanjutan. Wallahu a'lam bishawwab.[]