"Bahwasanya, demokrasi lagi-lagi menjadi biang konflik yang mengantarkan suatu negara pada jurang kehancuran. Sistem demokrasi yang berasaskan sekularisme, memuaskan syahwat kekuasaan penguasa dalam meraup untung, tak peduli bencana apa pun yang ditimbulkannya."
Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Etiopia, negeri yang bersemayam di benua hitam kini nyaris porak-poranda. Belum usai hantaman bencana kelaparan dan kemiskinan yang terus menderu, kini kengerian perang saudara menyeruak. Tak ayal, ribuan nyawa melayang dilumat rentetan senjata dan gempuran bom yang menghiasi kehidupan mereka saat ini.
Dilansir dari Kompas.com (24/11/2021), bahwa pemerintah Etiopia mengumumkan kondisi darurat setelah pasukan pemberontak Tigray mulai merangsek masuk ke jantung negara ini, Addis Ababa. Sejumlah negara menarik warga negaranya dari wilayah itu atas dasar keamanan. Konflik bersaudara ini sudah berlangsung setahun lamanya.
Amerika Serikat menyarankan Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed agar menghentikan perang dan melakukan langkah diplomasi. Jika hal tersebut tidak diindahkan, maka AS akan memberikan sanksi ekonomi dengan cara mengeluarkan Etiopia dari perdagangan utama AS (Bisnis.com, 03/11/2021).
Apa sebenarnya yang sedang terjadi di daerah tanduk Afrika ini? Apakah Amerika Serikat sungguh-sungguh menginginkan perdamaian atas negeri ini? Lantas, solusi terbaik apa yang mampu atasi konflik yang berkepanjangan ini?
Sejarah Konflik Etiopia
Etiopia merupakan negara dengan populasi penduduk terbanyak peringkat kedua di Afrika setelah Nigeria. Agama Islam mendominasi sekitar 33,9% setelah kepercayaan Ortodok Etiopia sekitar 43,5%. Adapun etnis yang mendiami wilayah Etiopia adalah Oromo (34,4%), Amara (27%), Somali (6,2%), dan Tigray (6,1%). Bahasa Amharic merupakan bahasa resmi nasional negara ini. Di samping ada pula bahasa Oromo, Somali, dan Tigrigna yang menjadi bahasa resmi negara bagian (wikipedia.com)
Miris, negara yang kaya akan potensi pertanian dan barang tambang seperti perak, emas, tembaga, timah, bijih besi, platinum, dan gas alam. Ternyata, harus mengalami bencana kelaparan hebat pada tahun 1983-1985 yang merenggut nyawa 400.000 penduduk. Bahkan, julukan negara miskin masih melekat erat pada negara ini.
Etiopia menjadi sasaran empuk negara-negara kapitalis dalam hal ekonomi. Jerat utang atas nama ‘bantuan kemanusiaan’ tak bisa dihindari, membelit hingga sendi-sendi vital. Nahas, kini diperparah dengan perang saudara yang telah berlangsung setahun lamanya. Konflik horizontal ini melibatkan dua pihak yakni pemerintahan federal Etiopia dengan Tigray People’s Liberation Front (TPLF).
Diwartakan oleh BBC (20/11/2021), konflik horizontal ini bermula pada 4 November, kala itu PM Etiopia Abiy Ahmed menginstruksikan serangan militer terhadap TPLF di Tigray. Ia berdalih, itu adalah balasan atas penyerangan TPLF ke kamp militer pemerintah di Tigray. Eskalasi ini menjadi puncak dari perseteruan Abiy dengan pemimpin TPLF.
TPLF bukanlah partai politik baru dalam kancah perpolitikan di negara Etiopia. Bahkan, usia kekuasaannya hampir mencapai 30 tahun. Disinyalir, sistem pemerintahan Etiopia yang menjadi akar dari konflik ini. Sejak 1994, Etiopia menganut sistem pemerintahan federal sehingga kelompok-kelompok etnis berbeda diberikan kewenangan untuk mengontrol 10 wilayah. Partai politik terkuat masa itu di Tigray adalah TPLF. Dalam sistem federal ini, Etiopia dianggap lebih stabil dan sejahtera. Namun, isu HAM dan demokrasi deras diaruskan oleh pihak lain hingga menimbulkan protes, dan mengantarkan pada reshuffle di tahun 1998. Inilah momen Abiy Ahmed diangkat menjadi perdana menteri Etiopia. Abiy yang liberal membentuk partai politik baru yakni Partai Kemakmuran. Ia melakukan sterilisasi pada para pejabat yang berafiliasi pada TPLF dengan memecat mereka dengan tuduhan korupsi dan penindasan.
Setahun kemudian, Abiy semakin tenar saat meraih penghargaan Nobel Perdamaian dari PBB. Sebab, ia telah berhasil menghentikan persengketaan wilayah yang berkepanjangan antara Etiopia dengan Eritrea, negara tetangganya. Ini semakin menambah keresahan rivalnya, para pemimpin Tigray memandang reformasi Abiy kebablasan dan berimbas pada penghancuran sistem federal Etiopia. Sebab, Abiy tampak sangat berambisi memusatkan kekuasaannya pada dirinya saja.
Perselisihan mencuat pada September 2020, saat Tigray menentang keputusan pemerintah pusat dan bersikeras menyelenggarakan pemilu secara regional. Padahal, pemilu nasional ditunda tersebab pandemi. Oleh karena itu, pemerintah pusat menyatakan itu sebagai pemilu ilegal. Imbasnya, sejak Oktober pendanaan untuk Tigray ditangguhkan, bahkan terjadi pemutusan hubungan.
Inilah yang memantik amarah Tigray karena pemerintah pusat dianggap telah menabuh genderang perang. Mereka mendatangi kamp militer pemerintah di Tigray. Abiy mengklaim itu sebagai sebuah penyerangan militer demi mencuri senjata. Inilah yang membuat Abiy nekat melakukan konfrontasi militer pada Tigray. Ini sudah berlangsung selama 12 purnama.
Demokrasi Menjadi Biang Konflik
Konflik yang terjadi di Etiopia mengajarkan kita akan banyak hal. Bahwasanya, demokrasi lagi-lagi menjadi biang konflik yang mengantarkan suatu negara pada jurang kehancuran. Sistem demokrasi yang berasaskan sekularisme, memuaskan syahwat kekuasaan penguasa dalam meraup untung, tak peduli bencana apa pun yang ditimbulkannya. Rakyat yang selalu menjadi tumbal sekaligus korban dari kebiadaban sistem ini.
Konflik Etiopia yang telah memakan ribuan korban jiwa dari rakyat sipil sebenarnya adalah imbas dari keegoisan dan keserakahan para elite politik. Partai Kemakmuran yang dipimpin Abiy Ahmed sang PM Etiopia yang ingin menguatkan dominasi kekuasaannya dengan rivalnya TPLF yang hendak merebut kembali kejayaan mereka selama 30 tahun berkuasa. Mereka halalkan segala cara demi mencapai puncak kenikmatan dari sebuah dominasi kekuasaan. Padahal sebelumnya mereka persatu dalam satu partai yang sama yakni Ethiopian People’s Revolutionary Democratic Front (EPRDF).
Hadiah Nobel Perdamaian bukankah semata-mata hadiah politik dalam arti yang sebenarnya. Namun, sebuah lisensi bagi penerima untuk melakukan tindakan militer membabi-buta dengan dalih apa pun. Sejak penganugerahan Nobel Perdamaian itu pada 2019 ditambah sokongan dana dan senjata, bahkan drone dari AS pada pasukan militer Etiopia membuat Abiy semakin percaya diri ada di garda terdepan memberangus partai pemberontak di Tigray.
Namun, jangan dikira pemberontak Tigray berdiri sendiri. Sebagaimana diketahui, wilayah Tigray merupakan daerah tertutup. Wilayah itu diapit oleh Sudan dan Eritrea dari barat dan utara, serta wilayah Etiopia dari arah yang lainnya. Oleh karena itu, pihak yang paling berpeluang untuk mengalirkan kekuatan dana dan senjata kepada mereka adalah Amerika Serikat (AS), melalui agen-agennya. Hal ini wajar, mengingat pemimpin Sudan dan Eritrea pun ada di bawah ketiak AS.
Awalnya, AS khususnya pada masa pemerintahan Trump telah memberikan dukungan penuh pada Abiy Ahmed hingga ia berhasil duduk di singgasana kekuasaan Etiopia. Dengan harapan, Abiy mampu memaksakan stabilitas di Etiopia. Namun, seiring dengan pergantian pemimpin AS, terjadi perubahan strategi politik pada tanduk Afrika. Biden membuka celah-celah kemenangan kepada para pemberontak khususnya Tigray, sebaliknya berusaha melemahkan pemerintahan pusat Abiy Ahmed di Addis Ababa.
Oleh karena itu, wajar ketika AS mengancam Abiy, bahwa AS akan menghentikan bantuan ekonomi pada Etiopia jika pemerintah pusat tidak segera melakukan gencatan senjata. Semua itu merupakan grand design AS untuk memecah-belah Etiopia menjadi negara-negara kecil sebagaimana Sudan. Disintegrasi merupakan resep jitu dalam menghancurkan suatu bangsa dan merampok kekayaan SDA-nya.
Lantas, apa tindakan yang diambil PBB dan negara-negara tetangga Etiopia? Nothing. Mereka hanya menonton adegan pertumpahan darah dan krisis kemanusiaan yang sangat menyedihkan. Mereka pun masuk dalam pusaran kendali AS dan menjadi alat untuk mewujudkan agenda Amerika. Untuk menutupi rasa malu atas ketidakberdayaan ini, mereka membuka akses nonhambatan ke wilayah Tigray untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan, namun membiarkan kejahatan keji itu terus berlangsung di bawah pengawasannya.
Inilah kejahatan politik AS berikut negara-negara kapitalis imperialistik yang tega menumpahkan darah manusia demi syahwat kekuasaan dan keserakahannya. Negara-negara lemah khususnya negara dunia ketiga (negeri muslim) yang biasanya menjadi objek penderita. Muslim di negara mana pun tidak akan diberi tempat dalam pentas politik. Identitas keislamannya seakan menjadi sebuah dosa yang tak terampuni serta pantas diganjar dengan penistaan dan genosida.
Habasyah Tempat Hijrah Perdana
Kelamnya Etiopia saat ini berbanding terbalik dengan kondisi Etiopia dahulu. Habasyah, siapa tak kenal negeri ini. Negeri unik nan istimewa yang terkenal dengan kebijaksanaan sang pemimpinnya, yakni Raja Negus Armah (Najasyi), wilayah paling aman di mana tak ada seorang pun dari rakyatnya yang terzalimi. Inilah negara Abesinia atau yang kini dikenal dengan sebutan Etiopia.
Negeri ini cukup memikat hati Rasulullah saw., sehingga beliau saw. menjatuhkan pilihan pada negeri ini sebagai tempat hijrah perdana para sahabat Rasulullah dalam menghindari penyiksaan fisik oleh kaum Quraisy kepada penduduk Makkah yang dengan sukarela memeluk agama Islam. Peristiwa ini terjadi tahun 615 M tepatnya pada tahun ke-5 setelah deklarasi kenabian atau tujuh tahun sebelum memutuskan hijrah ke Madinah untuk menerapkan Islam kaffah.
Dahulu wilayah Habasyah yang meliputi Etiopia dan Eritrea dikuasai oleh Kerajaan Aksum yang beragama Nasrani. Rajanya bernama Ashama bin Anjar bergelar Negus atau Najasyi. Rombongan Muhajirin pertama berjumlah 11 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Langsung diterima dan ditempatkan di Negash (sebelah Utara Tigray). Wilayah ini menjadi cikal bakal pusat penyebaran Islam di Etiopia. Setelah tiga bulan lamanya, mereka kembali ke Makkah karena menyangka kondisi sudah lebih aman. Namun tak disangka, situasi makin panas dan mencekam pasca masuk Islamnya dua ‘singa padang pasir’ yakni Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Kaum Muslim dan kabilah pendukungnya justru mengalami pemboikotan.
Membaca kegentingan itu, Rasulullah saw. kembali memerintahkan para sahabat dan kaum muslim lainnya untuk kembali ke Habasyah. Kali ini jumlahnya lebih banyak yakni 83 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Menyaksikan gelombang hijrah yang cukup besar, kaum Quraisy khawatir rombongan itu tak sekadar mencari perlindungan, namun menghimpun kekuatan dan menyiapkan kaum muslim untuk gebrakan yang lebih dahsyat lagi.
Oleh karena itu, kaum Quraisy bergerak cepat mengirimkan 2 orang utusan yakni Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah untuk menghasut sang Raja Najasyi agar mengusir kaum muslim dari tanah Habasyah. Namun, sang Raja tidak mau berat sebelah, ia memanggil perwakilan kaum muslim untuk menyampaikan argumentasi atau sanggahan atas apa-apa yang disampaikan dua orang utusan itu.
Ja’far bin Abdul Muthalib hadir sebagai juru bicara yang menjelaskan hakikat ajaran Islam dan Nasrani yang dianut Raja Najasyi. Hal itu menjadi bumerang untuk utusan Quraisy, karena justru itulah yang menjadi pintu hidayah yang mengantarkan sang Raja pada keislaman. Dua utusan Quraisy diusir, sementara kaum muslim diberikan perlindungan dan penghormatan tertinggi. Semenjak itu banyak penduduk Habasyah yang masuk Islam.
Islam berkembang pesat di Etiopia, walaupun sempat mendapat perlawanan dari Nasrani Oromo dan Amhara. Mereka berupaya memberangus Islam dari tanah Habasyah. Pada abad ke-16 Khilafah Utsmaniyyah menggelar futuhat ke wilayah ini di bawah pimpinan etnis Somalia Iman Ahmad bin Ibrahim Al-Ghazi. Perkembangan Islam mengalami pasang surut. Kondisi memburuk sepanjang abad ke-19 akidah kaum muslim dipertaruhkan. Runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah tahun 1924 menjadi pukulan telak dan nestapa bagi kaum muslim dunia. Sebab, mereka kini tak lagi memiliki perisai dari buasnya serangan musuh-musuh Islam.
Butuh Institusi Pemersatu Umat
Afrika mulia dengan Islam dan menjadi hina tanpanya. Afrika dan negeri-negeri muslim lainnya menjadi objek kejahatan dan kebiadaban barat dalam memuaskan syahwat 3G (gold, glory, gospel) AS dan negara-negara kapitalis imperialis. Sesungguhnya kejahatan ini tidak bisa dilawan dengan kelompok, keluarga, apalagi individu semata. Butuh Institusi pemersatu umat muslim sedunia yakni Khilafah Rasyidah ala Minhaj An-Nubuwwah.
Khilafah bernyali vis to vis dengan negara adidaya kapitalis, membongkar makar-makar Barat, melindungi kaum muslim dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, menerapkan syariat Islam kaffah, menyebarkan dakwah dan menggantikan posisi kesukuan dan sektarian yang rendah dan temporal. Akan tiba masanya dunia dengan lantang meneriakkan firman Allah Swt. dalam TQS. Al-Isra ayat 81 yang berbunyi,
وَقُلْ جَآءَ ٱلْحَقُّ وَزَهَقَ ٱلْبَٰطِلُ ۚ إِنَّ ٱلْبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Duhai kaum muslim di seluruh penjuru dunia, jangan lagi termakan dengan janji palsu dan solusi demokrasi yang utopis. Tidak ada pilihan lain, selain merapatkan barisan dan ikut dalam perjuangan penegakan Khilafah. Rekomendasi apa pun yang ditawarkan Barat sejatinya demi mengadang kebangkitan Islam dan kaum muslim. Sadarlah, kuatkan azzam dan bergerak menuju perubahan hakiki. Allahu ma’ana. Allahu Akbar! []