Umat muslim hendaknya tetap berpandangan dan memiliki prinsip yang tegas mengenai tata cara memilih pemimpin.
Oleh. Kembang Wangi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pada 5 November 2024 lalu, Amerika Serikat menghelat pemilihan umum presiden. Pemilihan umum merupakan metode untuk memilih pemimpin di dalam pemerintahan demokrasi. Di ajang pemilu Amerika kemarin akhirnya Donald Trump keluar sebagai pemenang. Presiden terpilih dari Partai Republik itu berhasil mengalahkan rivalnya, Kamala Harris, dengan selisih raihan 54 suara.
Kemenangan Trump ini sekaligus mematahkan dominasi Partai Demokrat selama 20 tahun terakhir. Adapun bagi Trump sendiri, ini adalah periode kedua menjabat Presiden Amerika Serikat setelah sebelumnya pada periode 2017—2021 lalu.
Salah Memilih Pemimpin Berakibat Buruk
Memilih pemimpin adalah hak warga negara termasuk di Amerika. Warga Amerika disuguhkan dua kandidat. Mereka adalah Trump dan Harris. Kamala Harris yang sempat diunggulkan dalam masa kampanye pemilu tersebut nyatanya gagal meraih kemenangan. Berbagai kemungkinan menjadi penyebab ditengarainya kekalahan Harris.
Kinerja Biden yang berasal dari kubu yang sama dengan Harris, yaitu Demokrat memperlihatkan rapor merah di pemerintahan sebelumnya. Rapor merah tersebut, di antaranya masalah dalam bidang ekonomi. Itu karena Amerika mengalami inflasi yang cukup tinggi, yaitu kurang lebih 7%, masalah imigran yang membeludak, dan yang paling vital adalah dukungan Biden terhadap Zionis dalam melakukan genosida Gaza. (jawapos.com, 21-1-2021)
Selain faktor kesalahan Biden dalam kinerja pemerintahannya, dari pihak Harris juga memiliki kelemahan sehingga kubunya gagal menarik suara warga Amerika. Kekalahannya disinyalir karena Harris mengikuti jejak pendahulunya dengan memberikan dukungan penuh kepada Zionis. Hal inilah yang membuat warga Amerika tidak mau memilih Harris. Begitu pula muslim Amerika tidak bersimpati kepadanya. Komunitas muslim Amerika pun menyatakan kekecewaan terhadap Harris karena ia dianggap mengabaikan permintaan untuk mempertimbangkan kembali keputusannya tersebut.
Selain itu, pelaksanaan kampanye Harris yang tidak terorganisasi dengan baik, hubungan dengan media besar yang minim, dan Harris dinilai tidak bisa menjalin hubungan dengan pejabat negara bagian menambah daftar panjang rakyat tidak memilihnya. (cnbcindonesia.com, 7-11-2024).
Faktor Utama Kemenangan Trump
Dari kubu Trump sendiri, keberhasilan kemenangan mereka tidak lepas dari peran muslim Amerika. Mengapa demikian? Itu karena dalam kampanyenya Trump sesumbar mampu mengatasi peperangan. Direktur Eksekutif Nasional Dewan Hubungan Amerika-Islam Nihad Awad mengatakan bahwa Trump berjanji untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Gaza. (cnbcindonesia.com, 10-11-2024)
Dampak pernyataan tersebut mendongkrak peraihan suara bagi Trump sehingga ia unggul dari Harris. Slogan kampanye Trump untuk memulihkan perdamaian, stabilitas, dan harmoni di seluruh dunia (AFP, 10-7-2024), menjadi senjata utama dalam menarik simpati warga Amerika. Kepiawaian Trump dalam mengelola opini publik di media besar juga berpengaruh pada hasil raihan suara Trump.
Amerika Serikat Pendukung Utama Zionis
Ditinjau dari sejarahnya, hubungan dua negara kafir Amerika-Israel yang harmonis ini diawali sejak Deklarasi Balfour tahun 1917. Presiden AS Woodrow Wilson saat itu mendesak Inggris untuk menunjukkan dukungannya kepada Zionis sebagai langkah strategis dalam memenangkan Perang Dunia I. Sayangnya Inggris tidak bisa menjalankan mandat tersebut sehingga pusat dukungan Zionisme digeser ke Amerika Serikat.
Kala itu Amerika memiliki jumlah populasi Yahudi cukup besar dan makmur (Media Umat edisi 367). Hingga saat ini, hubungan keduanya makin erat dengan dikeluarkannya kebijakan Amerika yang memberikan dana cukup besar untuk Zionis dalam melancarkan aksinya menghancurkan Gaza.
Selain dilihat dari faktor historisnya, ternyata Amerika Serikat memiliki dalih lain untuk mendukung Zionis. Amerika Serikat tidak akan pernah melepaskan sokongannya untuk Zionis.
Dalih tersebut adalah:
a. Banyaknya taipan Yahudi dan organisasinya yang berperan penting dalam ekonomi Amerika dan pemerintahannya sehingga pejabat Amerika memiliki mandat untuk memprioritaskan kepentingan Zionis.
Sudah menjadi rahasia umum, di balik pemerintahan yang tidak menganut sistem Islam maka akan terjadi lobi politik oleh segelintir kekuatan besar. Kekuatan besar yang ada di Amerika Serikat adalah Zionis itu sendiri, yaitu taipan Yahudi dan organisasi Zionis. Mereka mempunyai kekuatan luar biasa untuk mengendalikan laju jalannya pemerintahan.
Seorang profesor dari University of Chichago Benjamin Ginsberg dalam tulisannya "The Fatal Embrance: Jews and the State", pada tahun 1993 menyatakan bahwa meski jumlah populasi Yahudi hanya kisaran dua persen, tetapi mereka memiliki peran yang signifikan. Peran Zionis di sektor budaya, ekonomi, politik, dan pendidikan di Amerika dimulai sejak 1960-an. Akibatnya, para pejabat Amerika dan jajarannya tunduk dan patuh kepada taipan Yahudi dan organisasinya.
Salah seorang taipan Yahudi adalah Sheldon Adelson, di mana ia sering mendanai proyek yang berkaitan dengan aktivitas Zionis. Berikutnya ada AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) yang memegang peran utama karena pada kenyataannya setiap kandidat Presiden Amerika berkewajiban menyampaikan visi misi kepada organisasi ini.
b. Kepentingan Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki kepentingan yang perlu diwujudkan berkaitan dengan Timur Tengah karena ambisinya yang ingin menguasai minyak. Amerika juga dengan rencana yang tadi bermaksud untuk mengendalikan Arab. Adanya kelompok yang bertujuan memperjuangkan Islam menjadi ancaman bagi Amerika Serikat. Hal itu juga menjadi dalih untuk menggalang kekuatan dengan Zionis.
Pemimpin Baru, Tidak Mendamaikan Dunia
Presiden terpilih yang baru, yaitu Trump memiliki slogan di perhelatan kampanye pemilu Amerika. Salah satu slogan tersebut adalah menghentikan perang di Palestina. Slogan inilah yang membuat Trump mampu meraih kemenangan telak. Akan tetapi, Trump tidak memiliki catatan yang baik juga dalam memimpin pemerintahan Amerika.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan merah bagi Trump. Salah satunya adalah ketika ia berpidato di hadapan petinggi Yahudi Partai Republik pada tanggal 28 Oktober 2023. Trump mengatakan bahwa ia akan memberlakukan kembali larangan masuk ke Amerika Serikat bagi muslim dan rencananya teroris Islam radikal akan diusir.
Baca juga: ilusi-pembebasan-palestina-di-tangan-trump/
Di periode pertamanya pada tahun 2017, Trump juga memberikan pernyataan mengenai pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Bahkan, Trump memindahkan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat ke sana. Tidak hanya itu, Trump juga membuat rencana perdamaian pada tahun 2020 berupa Peace and Prosperity. Di mana ia mengizinkan Israel untuk mengambil alih sebagian besar wilayah Tepi Barat dan Yerusalem.
Faktanya pada saat rencana perjanjian ini dibuat, pihak Palestina tidak diundang sehingga kemungkinan besar isi rencana perdamaian tersebut sebagian besarnya menguntungkan Zionis. Adanya catatan merah Trump di periode 2017—2021 membuktikan bahwa Trump tidak jauh berbeda dengan Biden. Meski mengusung slogan baru, tidak bisa menjamin ia akan mendamaikan dunia.
Dilarang Keras Memilih Pemimpin Kafir
Dunia sekarang ini tidak menjadikan syariat Islam sebagai asas pemerintahannya. Sistem yang dijalankan adalah kapitalisme sekuler. Asas dari sistem ini adalah kebebasan tanpa mengindahkan nilai agama. Oleh karenanya, dalam bernegara pun syariat agama dilarang keras untuk dijadikan asas dasarnya.
Fakta ini berbanding terbalik dengan Islam. Di mana Islam adalah agama yang memiliki aturan lengkap, komprehensif, dan sempurna sehingga wajib bagi kita untuk menerapkannya di semua aspek kehidupan.
Tidak ada hal yang tidak diatur dalam Islam terutama kaitannya dengan muamalah. Memilih pemimpin termasuk bermuamalah. Bagaimana Islam mengaturnya? Sudah jelas termaktub di dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 51, "Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi."
Otomatis dengan perintah ini jelas hukumnya haram ketika seorang muslim memilih sosok kafir sebagai pemimpin umat. Karena itu, bagai pungguk merindukan bulan ketika muslim berharap penuh dan percaya kepada pemimpin kafir. Hanya harapan kosong saja yang diberikan mereka kepada umat.
Alih-alih memberikan hak dan kewajiban umat, kenyataannya mereka menindas, menghancurkan, dan menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi umat saat ini. Tengok saja kasus genosida Gaza yang sampai saat ini tidak ada solusi yang riil.
Umat muslim hendaknya tetap berpandangan dan memiliki prinsip yang tegas mengenai tata cara memilih pemimpin. Wajib hukumnya bagi umat untuk memilih pemimpin muslim. Pemimpin kafir akan tetap menjalankan agenda tersembunyi mereka untuk menghancurkan Islam dengan menimpakan penderitaan kepada umatnya.
Bahkan, Allah Swt. di dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 118 menegaskan agar kita tidak memilih mereka sebagai teman kepercayaan. Terkait hal memilih pemimpin, tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan kekhilafahan di masa lalu dipimpin oleh seorang nonmuslim.
Institusi Sahih dalam Memilih Pemimpin
Islam pernah memimpin dunia dengan Khilafah. Kurang lebih 1300 tahun pada era tersebut, dunia dalam keadaan damai dan sejahtera. Khilafah berdiri dengan kokohnya karena kekuatannya di segala bidang. Dengan demikian, Khilafah muncul sebagai negara adidaya dan mampu menguasai dua pertiga wilayah dunia.
Istimewanya, Khilafah tidak memiliki ketergantungan dengan negara kafir. Potensi negara dimanfaatkan secara maksimal sesuai tuntunan Islam sehingga penyelewengan dan pelanggaran dapat diminimalisasi. Hal inilah yang seharusnya dijadikan contoh bagi umat untuk bersatu padu dalam ukhuwah Islamiah sehingga kekuatan muslim menjadi berlipat ganda. Ukhuwah Islamiah yang diterapkan di skala kenegaraan, yaitu Khilafah Islamiah.
Kendala yang masih mengganjal adalah pemahaman nasionalisme, tapal batas, dan kepentingan sektoral yang menyebabkan umat terpecah belah. Ketiga hal inilah yang wajib dihapuskan dalam benak umat. Membangkitkan pemikiran umat untuk beralih menerapkan syariat Islam dalam aspek kenegaraan adalah agenda penting bagi kita semua.
Khilafah Islamiah adalah cara yang sahih dalam mewujudkan persatuan umat. Institusi kenegaraan yang berbasis Islam ini akan memproteksi umat dari serangan negara kafir mana pun. Pada akhirnya, dengan kehadiran Khilafah umat pun tidak akan tertindas lagi.
Wallahualam bissawab.[]