Tanpa disadari, cengkeraman sekularisme dan adanya sekat nasionalisme di negeri-negeri muslim, justru membuat penguasa muslim tidak dapat menolong warga Palestina.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Meraki Literasi)
NarasiPost.Com-Perang di Timur Tengah selalu menjadi sorotan dan isu yang paling sering mendapat perhatian dunia, terutama konflik antara Israel dan Palestina. Kali ini, Israel tidak hanya menyasar Gaza dan pejuang Hamas, kini IDF (Israel Defense Forces) berani menyerang Tepi Barat, Lebanon, Suriah, dan Mesir. Israel berdalih bahwa penyerangan tersebut untuk mencegah pasukan Hizbullah dan negeri Timur Tengah lainnya untuk ikut campur dalam perang melawan Hamas.
Dilansir dari internasional.republika.co.id, pada Kamis malam (26/10), hutan dan kebun di dekat perbatasan selatan Lebanon mengalami kebakaran akibat bom fosfor dari militer Israel. Serangan tersebut membakar lahan pertanian dan hutan di kota perbatasan Aita Al-Shaab. Pada hari yang sama, Petugas Palang Merah Lebanon juga menemukan dua mayat pejuang Hizbullah yang dibunuh militer Israel di dekat kota Yaroun. Kasus tersebut menambah daftar jumlah korban menjadi 40 orang dalam dua pekan terakhir. Serangan ini diakui Israel dan telah diumumkan melalui surat kabar Israel, Yedioth Ahronoth.
Berdasarkan kantor berita Suriah, SANA, Israel juga melakukan serangan ke Suriah yang menewaskan delapan tentara dan melukai tujuh lainnya, pada Rabu (25/10). Jet tempur Israel menyerang infrastruktur militer dan peluncur mortir Suriah. Kasus ini diakui Israel sebagai respons atas peluncuran roket dari Suriah ke Israel. Terbaru, pada Senin (30/10), sekitar pukul 01.35 waktu setempat, militer Israel telah meluncurkan serangan udara di pedesaan Daraa. (news.detik.com, 30/10/2023)
Adapun di Mesir, sebuah drone dari militer Israel telah menghantam bangunan dan fasilitas kesehatan di kota resor Taba, pada Jumat (27/10). Pesawat tak berawak tersebut jatuh dan menyebabkan enam orang mengalami luka ringan. Padahal sebelumnya, Pengadilan Mesir bersama AS dan Uni Eropa resmi menyatakan bahwa kelompok militan Hamas sebagai organisasi teroris.
Menanggapi fakta di atas, mengapa Israel semakin berani melawan negeri-negeri Arab yang membantu Palestina? Mengapa Israel begitu kebal dari kecaman dan hukum internasional? Melihat adanya serangan roket dan drone Israel yang menyerang Lebanon, Suriah, dan Mesir, akankah negeri-negeri Arab mampu menghentikan kejahatan perang yang dilakukan Israel? Dan bagaimana Islam menghentikan tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Palestina?
Israel The Real Terrorist
Seiring memanasnya konflik Israel-Palestina, berbagai simpati internasional muncul, baik dari pihak pro-Palestina maupun pro-Israel. Namun, harus dipahami bahwa fakta konflik Israel-Palestina adalah penjajahan dan pendudukan Israel atas kaum muslim Palestina. Dengan memahami fakta ini, maka apa yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober lalu adalah bentuk perlawanan atau perjuangan rakyat Palestina untuk mempertahankan tanah airnya dari pendudukan entitas penjajah Yahudi.
Meski mengaku hanya membalas serangan Hamas, nyatanya serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 8.000 orang, dan 3.000 di antaranya adalah anak-anak. Selain serangan besaran-besaran yang membabi buta tersebut, Israel juga memutus akses bahan logistik, air, listrik, dan obat-obatan ke wilayah Gaza. Kondisi ini jelas akan mengancam nyawa warga sipil di Gaza karena banyak korban yang tidak mendapat perawatan intensif akibat keterbatasan obat-obatan dan makanan. (CNCB Indonesia, 30/10/2023)
Agresi Israel ke Gaza jelas telah melanggar aturan dasar hukum humaniter internasional. Di mana dalam konflik atau peperangan, semua pihak harus membedakan antara kombatan dan warga sipil. Berdasarkan hukum internasional, pihak-pihak yang berkonflik harus mengambil tindakan pencegahan untuk meminimalisasi kerugian terhadap warga dan objek-objek sipil. Oleh karena itu, serangan udara maupun serangan roket oleh Israel yang menargetkan warga sipil, rumah sakit, sekolah, dan pusat perbelanjaan yang dilakukan tanpa pandang bulu tersebut, sebenarnya telah melanggar hukum internasional dan termasuk kejahatan perang.
Terlebih lagi, pasukan Israel telah menggunakan bom fosfor putih dalam serangannya di Gaza dan di Lebanon Selatan (10/10). Diketahui bahan fosfor putih adalah bahan kimia berbahaya dan akan terbakar jika terkena oksigen. Bom fosfor yang diledakkan di lingkungan padat penduduk dapat menyebabkan luka bakar hingga ke tulang, bahkan menyebabkan kematian akibat keracunan fosfor. Karena itu, penggunaan bom fosfor putih sebenarnya telah dilarang oleh hukum internasional.
Pihak Israel tercatat telah menembakkan sekitar 200 amunisi fosfor putih ke wilayah Palestina selama Operation Cast Lead, pada 2008 hingga 2009. Untuk itu, Human Rights Watch telah mendokumentasikan pelanggaran serius terhadap hukum perang yang dilakukan Israel terhadap Palestina sejak 2021 lalu. Pemerintah Israel juga telah dicap sebagai negara “apartheid” atas penganiayaan sistematis terhadap jutaan warga Palestina. (hrw.org, 21/10/2023)
Namun, faktanya, tak satu pun hukum internasional yang mampu mengentikan kekejaman dan pelanggaran HAM yang dilakukan Israel. Justru saat Israel melakukan “playing victim”, Presiden AS Joe Biden, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kansiler Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, dan PM Inggris Rishi Sunak langsung berjanji mendukung penuh Israel. Lalu, AS dengan sigap mengirimkan bantuan militer beserta kapal-kapal perang dan jet tempur menyeberangi Mediterania Timur.
Alhasil, Israel yang didukung penuh polisi dunia dan Uni Eropa, semakin arogan melakukan pembersihan etnis sistematis terhadap warga Palestina. Pemerintah Israel ngotot mengusir warga Gaza ke daerah Sinai untuk masuk ke teritori Mesir. Sementara warga Tepi Barat dipaksa berpindah ke wilayah Dataran Tinggi Golan, lalu masuk teritori Yordania. Tujuan akhirnya, Palestina harus kosong dari penduduk asli agar sepenuhnya dikuasai Israel.
Semua ini membuktikan betapa rapuhnya lembaga keamanan internasional yang dibentuk oleh Barat. Lemahnya PBB dalam menciptakan perdamaian dunia bisa dilihat dalam kegagalannya menghentikan perang antara Rusia dan Ukraina. Karena itu, berharap pada Dewan Keamanan PBB untuk mendamaikan Israel-Palestina ibarat pungguk merindukan bulan.
Padahal, telah jelas bahwa kejahatan perang secara berulang yang dilakukan Israel karena mendapat dukungan AS dan sekutunya, baik secara politik, ideologi, taktis persenjataan, dan ekonomi. Terbukti, demi mendukung Israel, AS telah menggunakan 88 kali hak vetonya untuk melindungi Israel. Oleh karena itu, sampai kapan pun, standar ganda dan sikap paradoks AS dan Uni Eropa, tidak mungkin dapat mewujudkan perdamaian dan keamanan dunia.
Sikap Penguasa Negeri-Negeri Muslim
Semua tahu bahwa Israel dengan bantuan AS dan Uni Eropa bukanlah lawan seimbang bagi kelompok Hamas. Semua juga tahu bahwa Palestina sangat membutuhkan pasukan militer dan peralatan perang agar mampu melawan serangan Israel. Namun, tetap saja penguasa negeri-negeri muslim hanya mengirimkan beberapa bantuan logistik ke Palestina. Padahal, sebagai penguasa/pemimpin negara, tentu mereka memiliki kapasitas lebih dari sekadar berdonasi dan mengecam, yakni memobilisasi pasukan militer. Lantas, mengapa negeri-negeri Arab yang mayoritas muslim tersebut, tidak membantu Palestina seperti halnya AS dan Uni Eropa membantu Israel?
Rupanya alasan mereka cukup beragam. Namun, satu hal yang pasti, negeri-negeri Arab saat ini tidak mungkin bersatu karena telah terbagi atas beberapa negara. Sehingga, akan sulit bahkan mustahil untuk membentuk satu kesepakatan konkret untuk membantu Palestina. Terpecahnya negeri-negeri Arab akibat nasionalisme, makin memperburuk keadaan jika mereka berani melawan negara adidaya yang juga merupakan sekutu Israel, yakni Amerika Serikat.
Alhasil, antara kecaman dan kenyataan sangat jauh berbeda. Di bawah hukum sekuler, dukungan mayoritas kaum muslim kerap kali bertentangan dengan kebijakan dan keputusan para pemimpinnya. Negeri-negeri Arab satu per satu mengkhianati suara mayoritas rakyatnya dengan menormalisasi hubungan dengan Israel. Misalnya, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain telah membuka hubungan dengan Israel sejak 2020 lalu. Bahkan, Arab Saudi sebagai negeri muslim paling berpengaruh di Timur Tengah juga memberi “restu” atas keputusan kedua negara tersebut. Kemudian, Sudan dan Maroko juga mengikuti langkah kedua negara tersebut. (CNBC Indonesia, 23/8/2022)
Semua itu selaras dengan program Abraham Accords atau kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel dan negeri-negeri Timur Tengah yang telah dimediasi AS pada 2020. Semua ini dilakukan AS untuk mempertahankan pengaruh imperialismenya di Timur Tengah. Sehingga, tidak heran jika Pengadilan Mesir sebagai salah satu negeri muslim, justru menyebut Hamas sebagai teroris. Bahkan, pemerintah Kairo sengaja mencegah eksodus atau perpindahan besar-besaran warga Gaza ke Semenanjung Sinai (10/10). Hal ini merupakan imbas dari adanya hubungan Mesir dan Israel yang telah terjalin sejak 1979.
Tanpa disadari, cengkeraman sekularisme dan adanya sekat nasionalisme di negeri-negeri muslim, justru membuat penguasa muslim tidak dapat menolong warga Palestina. Ketakutan mereka terhadap ancaman AS membuat nyali penguasa negeri-negeri muslim ciut, sehingga memilih mengirimkan bantuan dana kemanusiaan saja.
Mengapa Hanya Khilafah dan Jihad?
Sudah satu abad, muslim Palestina mengalami penindasan oleh agresor Israel. Namun, reaksi kecaman mencuat hanya saat Israel melakukan serangan-serangan besar saja. Seperti aksi boikot terhadap produk-produk Israel hanya dilakukan ketika peperangan sedang berkecamuk, namun setelah perang kembali redup, semua kembali seolah tidak ada yang terjadi.
Melihat realitas politik hari ini, sangat “bodoh” jika masih ada kaum muslim yang berharap pada AS, negara-negara Barat, PBB, dan pihak lain untuk menghentikan kekejaman Israel. Terbukti, hingga saat ini, tidak ada satu pun solusi konkret yang mampu mengakhiri gejolak perang antara Israel dan Palestina. Kita sadar bahwa Yahudi Zionis menjadi kuat karena dukungan negara-negara adidaya, pun Palestina akan semakin kuat jika didukung kekuatan besar kaum muslim. Jika kafir Barat bersatu mendukung Israel, lantas mengapa para pemimpin negeri-negeri muslim hanya sekadar mengoceh?
Apakah sedangkal itu akidah mereka, sampai-sampai tidak mengindahkan perintah Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 191:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian.”
Berdasarkan perintah Allah Swt., maka Khilafah akan menganggap Israel dan sekutunya sebagai kafir harbi fi’lan yang harus diperangi, sehingga haram untuk melakukan hubungan kerja sama dengan mereka beserta sekutunya. Tidak seperti negara sekuler, dengan dalih politik, mereka dapat menentang hukum syarak untuk melegalkan hubungan normalisasi dengan Israel dan sekutunya.
Berdasarkan aturan politik luar negeri Islam, jihad hukumnya fardu ain jika kaum muslim diserang oleh musuh. Hukum fardu ain tidak hanya berlaku bagi muslim Palestina, tetapi juga untuk seluruh kaum muslim di sekitar agresi militer terjadi. Artinya, kaum muslim terdekat seperti Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir wajib mengirimkan pasukan untuk mengusir kaum Yahudi yang memerangi Palestina.
Berdasarkan hukum tersebut, maka Khilafah dan jihad adalah satu-satunya solusi mewujudkan persatuan negeri-negeri muslim yang telah terpecah. Dengan begitu, kaum muslim mampu mengumpulkan kekuatan militer yang equal footinguntuk melawan Israel. Sebagai perbandingan, kekuatan militer Mesir berjumlah 450.000 personel militer aktif dengan tank perang 2,16 ribu, sedangkan anggota IDF hanya berjumlah 169.500 orang dengan 1.300 tank. Itu baru Mesir, bagaimana jika ditambah kekuatan militer negeri-negeri muslim lainnya? Maka, insyaallah kekuatan entitas Yahudi dapat dipukul mundur oleh pasukan militer Khilafah.
Oleh karena itu, jihad dan bersatunya kaum muslim dalam institusi Khilafah adalah satu-satunya solusi untuk menyelamatkan Palestina. Sebagaimana Khilafah pernah melindungi Palestina, ketika Theodor Herzl melakukan tipu daya kepada Khalifah Abdul Hamid II untuk mendirikan negara Israel. Khilafah telah terbukti selama 1.300 tahun menjadi perisai yang mampu menyatukan negeri-negeri muslim dalam satu ikatan akidah, satu kepemimpinan, dan satu kekuatan untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan.
Wallahu a’lam bishawwab.[]
Zionis adalah teroris sejati. Penjajah yang tidak punya perikemanusiaan sama sekali. Mereka itu ibarat benalu yang numpang hidup di tanah Pelestina.
Betul sangat, solusi untuk Palestina adalah jihad, baik sebelum maupun sesudah tegaknya Khilafah. Tidak ada solusi lain.
iya Mba, tawaran solusi-solusi yang dimediasi Barat, PBB, maupun yang lainnya selama ini terbukti hanya menguntungkan pihak Israel. alhasil Palestina akan terus dijajah, dan tanahnya sedikit demi sedikit menyusut.
Hanya dengan membuang sekat-sekat nasionalisme, kaum muslim bisa bersatu dalam satu kepemimpinan. Di bawah komando khalifah, Palestina bisa dibebaskan dari penjajah Israel. Semoga pertolongan Allah segera tiba dengan tegaknya sistem Islam (khilafah).
aamiin ya Rabbal 'alamiin...
Sedih, geram, marah, perasaan itu bercampur jadi satu ketika membaca tulisan ini. Ya Allah, sampai kapan negara-negara yg tergabung dlm liga Arab mendiamkan kekejaman yg dilakukan zionis? Padahal ketika umat Islam seluruh dunia bersatu, maka tidak ada yg bisa untuk mengalahkannya. Apalagi cuma Israel, walaupun dapat dukungan negara adidaya sekalipun, perkara mudah untuk menghancurkannya. Saat ini hanya bisa berdoa dan mengecam.
kadang kita menangis karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Palestina. bener Mba saya juga mersakan hal yang sama ketika melihat realitas pahit yang menimpa saudara kita di Palestina..